Jumat, 26 Agustus 2011

Kecrek Usang dan si Budi Kecil

Ilustrasi
Sebut saja Budi. Usianya masih belia, tapi tangan kekarnya terus mengayun “kecrek”, sebuah alat musik sederhana rakitan tangan yang kreatif, buatan siapa, tidak ada seorangpun yang mengerti. Kecrek yang terbuat dari limbah tutup botol atau biasa disebut dengan “kerop” dengan apitan batangan patahan kayu tidak teratur, biasa menemani pengamen jalanan di seputaran kota besar di Indonesia.

Cukup dengan delapan buah kerop yang sudah diratakan dengan palu, kemudian dibagi menjadi dua bagian, masing-masing bagian berjumlah empat buah dan ditempelkan pada sebuah potongan patahan kayu, dengan jepitan tiga buah paku, kecrek sudah berfungsi seperti yang diinginkan sang pemain. Kecrek sudah bisa menghasilkan bunyi, mengiringi lagu bait per bait yang dilantunkan untuk menghibur calon pendengar.

Kecrek bisa menjadi alat yang sakti. Sakti bukan sembarang sakti. Dengan kecrek, uang bisa datang menghampiri, persis yang diinginkan sang empunya. Tapi dengan catatan, hentakan kecrek harus padu dengan lagu agar terdengar merdu mendayu. Jika tidak, jangan harap uang datang, makian dan cacian silih bergantir mampir meskipun dihati. Belum lagi kerutan wajah pendengar yang tidak suka, wajah yang bisa berbentuk prisma menyerupai segilima dalam ilmu aljabar.

Kecrek si Budi adalah gambaraan seorang seniman jalanan. Budi kecil tidak peduli dengan sekolah. Sekolah, katanya mahal. Budi malah mengajarkan bagaimana mencari uang. Budi menunjukkan bagaimana mendapatkan uang, apa itu peluh dan serak suara. Budi sudah kadung sakit hati. Budi sering menghela nafas, saat melihat anak seusianya berdandan rapi, pergi mencari ilmu ditemani papi dan mami.

Budi kecil terdiam melamun dengan topang dagu. Dua tangannya masih erat menggenggam kecrek. Pengalaman di jalan membuatnya berpikir matang. Berpikir bertahan hidup dan berpikir mengobati emaknya yang sakit.

Dilahirkan dalam keluarga yang tak mampu, Budi kecil tidak bisa berdiam diri. Dia pergi pagi, pulang selepas maghrib. Perempatan lampu merah menjadi tempat tujuannya. Dengan luas 2000 meter persegi, perempatan lampu merah, habis disinggahi kaki kecilnya yang kekar. Gurat mimik wajahnya, menunjukkan si Budi tekun dan teliti. Bernyanyi adalah bidang yang dikuasai, meskipun sering menyanyikan lagu yang sedang hits, Budi kecil mengakui, hanya dengar dari radio usang milik kakaknya.

Budi kecil tiada ragu menyanyi, dihapal dan difasihkannya lagu sambil menghayati. Kecrek kesayangannya, mampu menemani hati si Budi. Dari suara dan kecreknya, mengalirlah uang pemberian hati baik sang pendengar. Merasa terhibur, sang pendengar bahkan mengajaknya makan. Budi kecil senang bukan kepalang dan banyak cerita pengalamannya kepada sang pendengar.

Itulah kisah Budi dan kecrek di tahun 2000. Tahun Millenium, kata orang.

Tidak ada komentar: