Seransum makan siang menemani dirinya berangkat kerja. Panganan
bikinan sang istri tersebut sedianya dihidangkan saat waktu jam makan
siang tiba, bukan saat tiba di kantor kemudian disantap segera. Tidak,
tidak seperti itu.
Sebut saja Doni. Seorang pria
berkeluarga dengan anak satu, sehari-harinya bekerja di sebuah unit
kerja pemerintah. Saban senin sampai jum’at, Doni selalu berangkat kerja
bersama istrinya, pegawai di salah satu instansi swasta. Rutinitas
kegiatan, biasanya dimulai sejak pagi pukul 06.00. Dengan bermodalkan
motor tua, Doni bersama istrinya berangkat kerja menyusuri kepadatan
lalulintas dan bernasib sama dengan pengendara lainnya. Selalu terjebak
kemacetan dan selalu begitu berulang-ulang. Riak-riak keringat tanda
kepanasan, disekatnya perlahan-lahan. Sepasang muda-mudi ditepi jalan,
tak luput memandangnya dengan nanar. Melihat semangatnya yang tinggi,
boleh dibilang semangat pantang menyerah bahkan lekat dalam ingatan
seperti semangat ‘45 pejuang tempo dulu.
Demi menyiasati
pengeluaran ongkos yang besar, Doni dan istrinya tiap hari berboncengan.
Panas dan hujan, perubahan cuaca yang mendadak serta aneka rupa
wewangian di jalan menjadi santapannya berulang-ulang. Benar memang,
dengan berkendaraan berdua, banyak penghematan dilakukan. Selain itu,
nyaman meski berdebu dan berpegal pinggang. Jauh dari tangan jahil yang
menyesaki kendaraan umum. Boleh dibilang, anti pelecehan. Terhadap yang
satu ini, Doni bisa bernafas lega ketimbang istrinya menumpang bus.
Doni
bukanlah type pria yang banyak makan. Belakangan, setelah lebaran nafsu
makannya kian meningkat tajam. Keinginan makan yang banyak, diakuinya
tidak datang dari pembawaan. Teman-teman dikantornyalah yang menjadi
perangsang nafsu makannya kian menjulang. Betapa tidak, menurutnya seisi
ruangan penuh dengan makan. Akhirnya Donipun ketularan.
Saat
tiba makan siang, ransum makanpun dibuka. Didahului dengan doa, Doni
kemudian memandang ransumnya yang berisikan butiran nasi yang membumbung
tinggi makin indah dengan hiasan bertahta ikan, sayuran, sambal kentang
dan tempe.
Untuk tempe, Doni selalu tidak ketinggalan.
Sekeping tempe pasti dicarinya hingga ke pojok warteg, jika panganan
tersebut tidak tersedia di meja makan. Kecanduannya terhadap tempe tidak
bisa dihilangkan. Seperti beberapa waktu yang lalu, saat harga kedelai
naik, Doni termasuk orang yang meradang. Maklum, kedelai merupakan bahan
baku salah satu makanan yang bernama tempe. Tempe selesai, urusan perut
selesai, begitu mungkin di dalam benak pikirannya.
Ransum
yang dibawanya kini siap untuk disantap. Layaknya orang yang selesai
olahraga, makan siang cepat selesai disantap Doni. Tanpa sedikitpun
tersisa. Ingatannya melayang kepada nasihat bundanya agar membiasakan
menghabiskan makan. “Jangan sampai tersisa. Kasian !,” mengenang pesan
bundanya.
Selesai makan, segelas air diburunya dengan
dengan segera. “Banyak-banyak minum air putih,” ujarnya. Selidik punya
selidik, kebiasaan Doni membawa air putih banyak, ternyata terkait
dengan kesehatan. Katanya, untuk melarutkan makanan agar mudah cerna dan
menetralkan zat yang terkandung di dalam makanan.