Kamis, 15 Desember 2011

Perlindungan Anak, Perspektif Konvensi PBB Tentang Hak-hak Anak


Perlindungan Anak
Anak merupakan buah cinta perkawinan yang tidak ternilai harganya. Lahirnya seorang anak, adalah harapan dan keinginan kedua orang tuanya agar ada generasi penerus sesudah mereka. Tidak ada pembedaan, baik laki-laki maupun perempuan, kehadiran anak tentu sangat mewarnai kehidupan berumah tangga. Kelak anak, bisa mewarisi orang tua, bangsa dan agamanya untuk terus menjadi khalifah di muka bumi sebagai pribadi manusia utuh yang mempunyai hak dan kewajiban serta perlindungan melekat sejak lahir hingga nanti dewasa.

Dalam Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember tahun 1989, dalam pasal 2 ayat 2 menyebutkan “negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang layak untuk menjamin bahwa anak dilindungi terhadap semua bentuk diskriminasi atau hukuman berdasarkan kedudukan, kegiatan, pendapat yang dinyatakan, atau keyakinan orang tua anak, wali, atau anggota-anggota keluarga anak.”

Bila melihat konvensi tersebut, ada pesan yang disampaikan, seperti salah satunya adalah negara berkewajiban untuk melindungi anak dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman. Pada tataran ini, pemerintah telah melakukan langkah yang dipandang perlu dengan membuat aturan perlindungan terhadap anak.

Sebagai salah satu negara peserta yang turut menandatangani konvensi hak-hak anak, sebelumnya Indonesia pernah membuat Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang ini dengan tegas merumuskan, setiap anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan sampai dengan sesudah dilahirkan. Artinya, terhadap anak tidak dibenarkan adanya perbuatan yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Seorang anak yang tidak dapat diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat mengakibatkan pembatalan hak asuh orang tua.

Dengan kata lain, sepuluh tahun sebelum lahir Konvensi tentang Hak-hak Anak, Indonesia sudah selangkah lebih maju merumuskan aturan tentang perlindungan anak sebagai suatu hal yang sangat penting bagi kelangsungan generasi bangsa. Memang, diakui masih minim catatan adanya pelanggaran terhadap hak anak ketika itu. 

Mungkin sebagian kita masih teringat kasus ‘Ari Hanggara’ yang mendapat perlakuan kekerasan dari orang tuanya hingga tewas. Kasus heboh ditahun 1984 ini, serentak membuka mata masyarakat terhadap perlakuan tak pantas orang tua anak berusia 8 tahun tersebut. Ketika itu, media massa dan masyarakat ramai-ramai menghujat perbuatan oknum orang tuanya, hingga pihak Kepolisianpun turut dibuat repot untuk mengungkapnya. Beruntung, 5 tahun setelah kasus yang menghebohkan seantero nusantara tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara anggota segera membuat konvensi tentang Hak-hak Anak. Terhadap hal ini, Indonesia kemudian mengambil langkah maju dengan membuat aturan yang lebih spesifik, terutama dalam hal peradilan yang disangkakan kepada anak. 

Pemerintah Indonesia membuat UU Pengadilan Anak (UU No 3 Tahun 1997) yang diharapkan dapat membantu anak yang berada dalam proses hukum tetap untuk mendapatkan hak-haknya. Undang-undang jika dilihat secara spesifik, sangat jelas mengacu pada Konvensi tentang Hak-hak Anak (pasal 2, ayat 2, yang menyebutkan negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang layak untuk menjamin bahwa anak dilindungi terhadap semua bentuk diskriminasi atau hukuman berdasarkan kedudukan, kegiatan, pendapat yang dinyatakan, atau keyakinan orang tua anak, wali, atau anggota-anggota keluarga anak ). 

Dengan kata lain, Indonesia sudah meratifikasi aturan yang dianggap penting dan menjadi sejarah bahwa anak meskipun diputus bersalah oleh pengadilan, tetapi cara peradilannya beda dengan peradilan pada umumnya. Sisi ini dikedepankan, mengingat anak merupakan pribadi yang masih labil dan belum matang. Secara psikologis, anak adalah pribadi yang sedang mencari jati diri, apalagi ketika memasuki usia remaja.
Perhatian pemerintah terhadap perlindungan anak tidak cukup hanya dengan membuat Undang-undang Peradilan Anak. Pada tahun 2002, pemerintah kembali membuat sejarah penting dengan membuat undang-undang perlindungan anak. Bersama DPR hasil pilihan pemilu yang kredibel, pemerintah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 

Undang-undang ini menegaskan secara tegas  menggariskan bahwa anak adalah penerus generasi bangsa yang harus dijamin perlindungannya dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Sama akan halnya, UU Peradilan Anak, UU Perlindungan Anak juga merupakan bagian dari amanat Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak. 

Berlakunya Undang-undang ini, jelas merupakan sinyal kuat bagi orang tua, wali maupun dunia pendidikan pendidik agar berhati-hati mendidik dan mengarahkan anak dalam upayanya memenuhi hak-hak anak. Namun begitu, baik orang tua, wali maupun dunia pendidikan harus pula bisa mengarahkan anak agar bisa mengerti hak dan kewajiban anak sebagaimana diatur dalam beleid tersebut.

Mindset atau pandangan bahwa urusan anak adalah urusan orang tua, wali ataupun dunia pendidikan setidaknya harus diseimbangi dengan pengetahuan hukum tentang perlindungan anak. Jangan sampai, budaya mentang-mentang menjadi momok yang menakutkan bagi generasi penerus bangsa, hingga akhirnya bangsa ini melahirkan generasi yang paranoid dan tidak mempunyai kepribadian yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.



Selasa, 13 Desember 2011

Bajaj-Bajaj di Tepian Jaman


Melintasi jalan raya Sultan Agung dari Manggarai Jakarta Selatan, menuju arah Slipi Jakarta Barat menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi sebagian karyawan perkantoran di kawasan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur saat pulang kerja dan hendak menghindari kemacetan di jalan HR Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan yang sedang dibangun jalan layang non tol Kampung Melayu Tanah Abang.

Bajaj Tua yang dikandangkan
Sejak memasuki lampu merah Gang Kelor Matraman Jakarta Timur, hingga menyusuri kompleks Stasiun Manggarai, kita sudah disuguhi suasana jalan yang cukup nyaman. Pemandangan di kanan dan kiri jalan turut menghibur mata, bahkan rindangnya pohon besar disekitar komplek perumahan PJKA membuat udara semakin sejuk.
 
Terus menyusuri jalan sampai depan stasiun Manggarai, barulah pengguna jalan dihadapkan pada kebalikan suasana yang asri dan nyaman. Tepat di depan pintu stasiun Manggarai, berjejer puluhan bajaj (kendaraan roda 3) buatan India yang pernah jaya pada tahun 1970-an. Bajaj-bajaj ini sedianya menepi di stasiun Manggarai bukan sembarang menepi, tetapi menunggu dan menanti pelanggan tetapnya sepulang kerja yang turun dari kereta komuter. Disinilah cerita bajaj mengalir ditepian jaman dan peranannya terhadap kesehatan lingkungan hidup.

Bajaj merupakan kendaraan yang dikenal masyarakat luas, terutama masyarakat pinggiran yang sering menggunakan jasanya. Sejarah bajaj tentu panjang jika dikupas tuntas, tetapi disini penulis hanya mengambil sample tentang bagaimanan peranan bajaj tua terhadap kesehatan lingkungan hidup. 

Seperti halnya ditempat lain, menumpuknya bajaj tua, tentu memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kualitas udara, apalagi di sekitar stasiun Manggarai yang tetap menyalakan mesin. Sebenarnya ini dimaksudkan untuk menandakan kesiapannya bajaj segera berangkat, ketika penumpang atau pelanggan tetapnya menghampiri. Dan ini biasanya dimaklumi, karena calon penumpang tidak mau menumpang kendaraan yang doyan ngetem.

Tapi, bagi pengguna jalan yang lain seperti pengendara sepeda motor, pesepeda dan pejalan kaki, keberadaan bajaj-bajaj yang ngetem sambil menyalakan mesin, tentunya membuat tidak nyaman. Siapa yang suka, jika disekitar pengguna jalan banyak mengepul asap putih pekat dengan bau khas menusuk rongga dada bahkan mungkin hingga paru-paru. 

Asap yang terhirup dengan suara bisingnya tersebut kini menjadi buah penderitaan batin pengguna jalan yang melewati jalan alternatif itu. Bak sebuah mesin pengasapan anti nyamuk (Fogging), knalpot bajaj terus meraung-raung tidak peduli keberadaan pengguna jalan lainnya, termasuk, ketidakpedulian sopir bajaj yang mendahulukan kepentingan setoran ketimbang berbagi nyaman sesama pengguna jalan.

Terhadap keberadaan kendaraan roda tiga ini, bukannya penulis tidak mendukung. Tetapi mbok ya, kualitas pemeliharaan bajaj-bajaj tersebut diperhatikan si empunya. Jangan hanya menangguk untung tinggi tetapi mengabaikan kepedulian sesama apalagi terhadap kesehatan lingkungan. Jikalau tua, segera saja diregenerasi seperti halnya beberapa pemilik bajaj yang telah menggantinya dengan bajaj baru yang berbahan bakar gas. 

Dukungan terhadap keberadaan bajaj baru, saya rasa sangat besar. Apalagi bajaj jenis ini tidak menimbulkan polusi, baik itu asap putih pekat dan suara bising yang menjadi ciri khas bajaj. Kendaraan nyentrik generasi baru ini, jauh lebih halus dan lebih nyaman untuk ditumpangi.

Terhadap keberadaan bajaj berbahan gas, tentunya pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah khusus Ibu Kota Jakarta harus terus berperan aktif mensosialisasikannya. Bajaj model ini bisa didukung dengan regulasi yang pro dengan masyarakat pinggiran. Selain itu pemberian fasilitas kredit yang murah, bisa menjadi pemicu pemilik bajaj berlomba-lomba mengganti bajaj-nya yang tua. Sudah pasti, beralihnya bajaj yang tua ke generasi bajaj yang ramah lingkungan menciptakan kualitas udara di Jakarta semakin baik. Meningginya angka polutan bisa dicegah dan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta turut membantu memelihara lingkungan dari polusi asap knalpot dan suara bising bajaj tua. 

Dengan demikian tidak perlu lagi ada cacian dan makian terhadap sopir bajaj oleh pengguna jalan yang lain. Sopirpun bisa konsentrasi mencari nafkah bagi keluarganya dengan tenang tanpa harus mengganggu kenyamanan orang lain. Semuanya menjadi berkah dan satu yang pasti tidak ada lagi adagium yang mengatakan ”kalau bajaj belok, yang tahu hanya Tuhan dan Sopirnya”, karena bajaj generasi baru sudah tentu dilengkapi dengan alat kelengkapan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Senin, 12 Desember 2011

Nasib Petak Umpat dan Hompimpah


Ilustrasi
Cerita itu bermula dari ketertarikan terhadap permainan tradisional yang bernama ‘petak umpat’. Dulu di era penulis saat usia kanak-kanak, sekitar tahun 1980-an ‘petak umpat’ merupakan permainan favorit anak sekampung. Permainan ini diikuti oleh beberapa anak yang jumlahnya tidak dibatasi.
Cara permainannyapun sangat simple dan mudah dipahami anak-anak. Ada yang berperan sebagai ‘jaga’ benteng dan ada juga yang berperan sebagai ‘yang ngumpat’. Yang jaga biasanya, kalah setelah diundi dengan cara ‘hompimpah’ (banyak-banyak jumlah telapak tangan bagian dalam atau luar) atau ketika tersisa dua yang sedikit maka dilakukan apa yang namanya ‘suit’. Nah hasil ‘suit’ inilah menentukan siapa yang harus ‘jaga’, sisanya berperan sebagai ‘yang ngumpat’.
Setelah itu, dimulailah permainan tersebut dengan memberikan tugas kepada yang ‘jaga’ untuk mencari ‘yang ngumpat’ dan mendapatkan sebanyak-banyaknya peserta ‘yang ngumpat’ agar yang ‘jaga’  terhindar dari peran jaga selamanya. Hanya terhadap ‘yang gumpat’ terakhir harus ekstra hati-hati. Lengah sedikit, maka benteng si ‘jaga’ bisa dikuasai pengumpat terakhir, maka gugurlah si ‘jaga’ dari keinginannya menghindar dari tugas jaga benteng.
Namun demikian, apabila si ‘jaga’ berhasil mendapati semua ‘yang ngumpat’ maka ia terbebaskan dari tugas jaganya untuk selanjutnya diberikan kepada peserta yang pertama kali tertangkap oleh yang ‘jaga’. Begitu seterusnya hingga akhir kesepakatan anak-anak yang dibuat dalam permainan.
Permainan petak umpat biasanya dilakukan saat bulan purnama. Malam ketika terang bulan, sengaja dilakukan karena biasanya malam purnama adalah malam dimana anak-anak sekampung berkumpul di tengah lapangan dan bermain sepuasnya, apalagi malam tersebut jatuh pada malam liburan. Bisa dibayangkan, serunya suasana tersebut.
Petak umpat sangat dekat dengan permainan rakyat. Beberapa catatan yang pernah dipublikasikan, petak umpat adalah permainan yang dimulai dengan Hompimpa untuk menentukan siapa yang menjadi "kucing" (berperan sebagai pencari teman-temannya yang bersembunyi). Si kucing ini nantinya akan memejamkan mata atau berbalik sambil berhitung sampai 10, biasanya dia menghadap tembok, pohon atau apasaja supaya dia tidak melihat teman-temannya bergerak untuk bersembunyi (tempat jaga ini memiliki sebutan yang berbeda di setiap daerah, contohnya di beberapa daerah di Jakarta ada yang menyebutnya INGLO, di daerah lain menyebutnya BON dan ada juga yang menamai tempat itu HONG). Setelah hitungan sepuluh (atau hitungan yang telah disepakati bersama, misalnya jika wilayahnya terbuka, hitungan biasanya ditambah menjadi 15 atau 20) dan setelah teman-temannya bersembunyi, mulailah si "kucing" beraksi mencari teman-temannya tersebut.
Jika si "kucing" menemukan temannya, ia akan menyebut nama temannya sambil menyentuh INGLO atau BON atau HONG, apabila hanya meneriakkan namanya saja, maka si "kucing" dianggap kalah dan mengulang permainan dari awal.
Yang seru adalah, pada saat si "kucing" bergerilya menemukan teman-temannya yang bersembunyi, salah satu anak (yang statusnya masih sebagai "target operasi" atau belum ditemukan) dapat mengendap-endap menuju INGLO, BON atau HONG, jika berhasil menyentuhnya, maka semua teman-teman yang sebelumnya telah ditemukan oleh si "kucing" dibebaskan, alias sandera si "kucing" dianggap tidak pernah ditemukan, sehingga si "kucing" harus kembali menghitung dan mengulang permainan dari awal.
Permainan selesai setelah semua teman ditemukan. Dan yang pertama ditemukanlah yang menjadi kucing berikutnya.
Ada satu istilah lagi dalam permainan ini, yaitu 'kebakaran' yang dimaksud di sini adalah bila teman kucing yang bersembunyi ketahuan oleh si kucing disebabkan diberitahu oleh teman kucing yang telah ditemukan lebih dulu dari persembunyiannya.
Hanya sayangnya, permainan tersebut kini seakan tenggelam dimakan zaman. Entah di perkampungan kecil, ataupun kota besar ‘petak umpat’ sudah tidak menarik anak kecil lagi. Ekspansi permainan modern seperti, gameonlines yang dikemas dalam perangkat canggih seperti komputer, atau handphone telah menjadi penyebab ‘petak umpat’ punah dan tidak dikenal anak-anak. Belum lagi serbuan produk mainan anak-anak dari Cina. Serbuan mainan produk Cina ini bisa dibilang luar biasa, bahkan beberapa diantaranya teridentifikasi terbuat dari bahan yang berbahaya dan bisa mengancam kesehatan anak.
Terhadap hal ini, semestinya orang tua dan pemerintah bertanggung jawab dan berupaya keras menangkal model mainan yang berbahaya. Tidak itu saja, keterlibatan orang tua dan pemerintah harus berperan aktif melestarikan permainan tradisional macam ‘petak umpat’. Karena permainan tradisional merupakan budaya turun temurun yang diwariskan nenek moyang kita di nusantara. Di dalamnya terdapat banyak unsur nilai positif yang mengajarkan anak supaya hidup mandiri.
Salahkah bila orang tuan dan pemerintah harus memproteksi warisan kebudayaan untuk diturunkan kepada anak cucu bangsa ini ?
Seperti halnya petak umpat yang mengajarkan anak untuk belajar, bekerjasama, bekerja keras dan kreatif. Itu baru petak umpat, bagaimana dengan permainan anak yang lainnya. Sungguh, negeri ini banyak sekali budaya yang bisa di eksplore untuk dikembangkan bagi kelangsungan ciri hidup suatu bangsa besar. Kalau tidak sekarang, kapan lagi.