Perlindungan Anak |
Anak merupakan buah cinta perkawinan yang tidak ternilai harganya.
Lahirnya seorang anak, adalah harapan dan keinginan kedua orang tuanya agar ada
generasi penerus sesudah mereka. Tidak ada pembedaan, baik laki-laki maupun
perempuan, kehadiran anak tentu sangat mewarnai kehidupan berumah tangga. Kelak
anak, bisa mewarisi orang tua, bangsa dan agamanya untuk terus menjadi khalifah
di muka bumi sebagai pribadi manusia utuh yang mempunyai hak dan kewajiban
serta perlindungan melekat sejak lahir hingga nanti dewasa.
Dalam Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui Majelis Umum PBB pada
tanggal 20 Nopember tahun 1989, dalam pasal 2 ayat 2 menyebutkan “negara-negara peserta akan mengambil semua
langkah yang layak untuk menjamin bahwa anak dilindungi terhadap semua bentuk
diskriminasi atau hukuman berdasarkan kedudukan, kegiatan, pendapat yang
dinyatakan, atau keyakinan orang tua anak, wali, atau anggota-anggota keluarga
anak.”
Bila melihat konvensi tersebut, ada pesan yang disampaikan, seperti
salah satunya adalah negara berkewajiban untuk melindungi anak dari segala bentuk
diskriminasi atau hukuman. Pada tataran ini, pemerintah telah melakukan langkah
yang dipandang perlu dengan membuat aturan perlindungan terhadap anak.
Sebagai salah satu negara peserta yang turut menandatangani konvensi
hak-hak anak, sebelumnya Indonesia pernah membuat Undang-undang No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang ini dengan tegas
merumuskan, setiap anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam
kandungan sampai dengan sesudah dilahirkan. Artinya, terhadap anak tidak dibenarkan adanya perbuatan yang
dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Seorang anak yang tidak dapat
diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat mengakibatkan pembatalan hak asuh
orang tua.
Dengan kata lain, sepuluh tahun sebelum lahir Konvensi tentang Hak-hak
Anak, Indonesia sudah selangkah lebih maju merumuskan aturan tentang
perlindungan anak sebagai suatu hal yang sangat penting bagi kelangsungan
generasi bangsa. Memang, diakui masih minim catatan adanya pelanggaran terhadap
hak anak ketika itu.
Mungkin sebagian kita masih teringat kasus ‘Ari Hanggara’ yang mendapat perlakuan kekerasan dari orang tuanya
hingga tewas. Kasus heboh ditahun 1984 ini, serentak membuka mata masyarakat
terhadap perlakuan tak pantas orang tua anak berusia 8 tahun tersebut. Ketika
itu, media massa dan masyarakat ramai-ramai menghujat perbuatan oknum orang
tuanya, hingga pihak Kepolisianpun turut dibuat repot untuk mengungkapnya. Beruntung,
5 tahun setelah kasus yang menghebohkan seantero nusantara tersebut,
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara anggota segera membuat konvensi
tentang Hak-hak Anak. Terhadap hal ini, Indonesia kemudian mengambil langkah
maju dengan membuat aturan yang lebih spesifik, terutama dalam hal peradilan yang
disangkakan kepada anak.
Pemerintah Indonesia membuat UU Pengadilan Anak (UU No 3 Tahun 1997) yang
diharapkan dapat membantu anak yang berada dalam proses hukum tetap untuk
mendapatkan hak-haknya. Undang-undang
jika dilihat secara spesifik, sangat jelas mengacu pada Konvensi tentang
Hak-hak Anak (pasal 2, ayat 2, yang menyebutkan negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang layak untuk
menjamin bahwa anak dilindungi terhadap semua bentuk diskriminasi atau hukuman
berdasarkan kedudukan, kegiatan, pendapat yang dinyatakan, atau keyakinan orang
tua anak, wali, atau anggota-anggota keluarga anak ).
Dengan kata lain, Indonesia sudah meratifikasi aturan yang dianggap
penting dan menjadi sejarah bahwa anak meskipun diputus bersalah oleh
pengadilan, tetapi cara peradilannya beda dengan peradilan pada umumnya. Sisi
ini dikedepankan, mengingat anak merupakan pribadi yang masih labil dan belum
matang. Secara psikologis, anak adalah pribadi yang sedang mencari jati diri, apalagi
ketika memasuki usia remaja.
Perhatian pemerintah terhadap perlindungan anak tidak cukup hanya dengan
membuat Undang-undang Peradilan Anak. Pada tahun 2002, pemerintah kembali
membuat sejarah penting dengan membuat undang-undang perlindungan anak. Bersama
DPR hasil pilihan pemilu yang kredibel, pemerintah mengesahkan UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang ini menegaskan secara tegas menggariskan bahwa anak adalah penerus
generasi bangsa yang harus dijamin perlindungannya dari segala bentuk kekerasan
dan diskriminasi. Sama akan halnya, UU Peradilan Anak,
UU Perlindungan Anak juga merupakan bagian dari amanat Konvensi PBB tentang
Hak-hak Anak.
Berlakunya Undang-undang ini, jelas merupakan sinyal kuat bagi
orang tua, wali maupun dunia pendidikan pendidik agar berhati-hati mendidik dan
mengarahkan anak dalam upayanya memenuhi hak-hak anak. Namun begitu, baik orang
tua, wali maupun dunia pendidikan harus pula bisa mengarahkan anak agar bisa
mengerti hak dan kewajiban anak sebagaimana diatur dalam beleid tersebut.
Mindset atau pandangan bahwa urusan anak
adalah urusan orang tua, wali ataupun dunia pendidikan setidaknya harus
diseimbangi dengan pengetahuan hukum tentang perlindungan anak. Jangan sampai,
budaya mentang-mentang menjadi momok
yang menakutkan bagi generasi penerus bangsa, hingga akhirnya bangsa ini
melahirkan generasi yang paranoid dan
tidak mempunyai kepribadian yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.