Ilustrasi : |
Pagi hari, saat matahari mulai meninggi, dan pekerja sibuk berangkat menuju tempat bekerja, dua sosok renta dengan senyum simpul, menjejak kaki ke bumi mengharap bisa mengais rejeki. Menjajakan delapan lembar papan penggilesan (papan cucian) yang terbuat dari kayu berjenis pohon nangka, sosok renta di usia senja tersebut, setia menunggu pembeli yang tertarik, hilir mudik lewat di depan wajahnya.
Sang Kakek yang menggunakan topi caping, menggengam erat gerobak tuanya, duduk menatap lirih seakan melawan panasnya mentari. Sementara sang Nenek dengan kerudung lusuh, berdiri tidak jauh dari sang Kakek, menemaninya menjajakan papan cucian. Tiada satu patah katapun yang keluar dari bibir mereka, layaknya orang menjajakan dagangannya. Kakek dan nenek itu, hanya diam dan menatap lirih seraya berharap ada orang yang menghampiri.
Dua sosok renta bukan sembarang sosok. Dua sosok renta berdiri tegar, menantang sulitnya mencari sesuap nasi. Dua sosok renta yang berani dan bertaruh, seakan menunjukkan kepada pengguna jalan, kalaulah mereka tidak kalah mengusahakan dapur terus ngebul. Panas dan Hujan, sudah pasti jadi hal yang biasa. Dan, yang menjadi luar biasa adalah saat mereka menjajakan dagangannya di depan rumah gedong di bilangan komplek perumahan elite, Selatan Jakarta.
Banyak pertanyaan terekam dalam otak pengguna jalan. Melihat gerobak dengan delapan lembar papan cucian tebal dan berat setiap harinya, dengan gerobak ala kadarnya, “Mungkinkah mereka sanggup mendorong ?”, “Mungkinkan mereka sanggup mengangkat ?”, atau “Tahukah kita, bila lokasi tempat menjajakan dagangan jauh dari rumah ?”, “Lantas, kemana putra-putri mereka ?”, atau “Tegakah si pembuat papan cucian menyerahkannya kepada kakek nenek itu ?”
Sungguh, masih menjadi sebuah misteri. Misteri karena setiap pagi, sang kakek dan nenek hadir absensi persis di depan garasi rumah berteras tinggi.
Sebuah kompleks perumahan yang dihuni kaum papan atas menjadi saksi bisu melihat aktifitas dua sosok renta disetiap pagi hari. Sebuah kenyataan pula, dan hampir mustahil jika pengguna jalan yang lewat, menebak penghuni rumah gedong itu masih menggunakan papan cucian. Sebuah keniscayaan pula, bagaimana pengguna jalan tertarik membelinya. Sebuah keanehan jika pengguna jalan mampir membeli, bisa jadi malu dianggap kampungan oleh teman sekerja. “Jaman Era digital teknologi, kok masih pakai papan cuci ?” (Begitu keluhnya, dalam hati).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar