Rabu, 28 Mei 2014

MENILIK SETAHUN PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM

Bantuan Hukum
Lahirnya Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menjelang akhir tahun 2011 lalu, sedikit banyaknya memberi gambaran mengenai komitmen kuat pemerintah di bidang hukum khususnya akses terhadap keadilan (pemberian bantuan hukum) bagi orang atau kelompok orang miskin di Indonesia. Kuatnya komitmen pemerintah terhadap pemberian bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu merupakan indikasi keberpihakan pada kepentingan rakyat yang didorong oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pengejawantahan mandat dari rakyat.

Dengan diundangkannya UU Nomor 16 Tahun 2011,  komitmen negara dalam menyediakan akses keadilan serta keberpihakan Negara terhadap orang miskin dan marginal telah terbukti. Dalam Undang-undang ini diatur tentang  Penerima Bantuan Hukum (masyarakat miskin), Pemberi Bantuan Hukum (Organisasi atau lembaga bantuan hukum) serta Penyelenggara Bantuan Hukum (Kementerian Hukum dan HAM RI).

Seperti yang diungkapkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) alinea ke empat yang menyatakan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Kutipan dari pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke empat tersebut menunjukkan bahwa jaminan dan perlindungan bagi rakyat adalah amanat konstitusi yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, rakyat mempunyai hak konstitusi untuk dilindungi dan kewajiban pemerintah adalah melaksanakannya dalam kehidupan bernegara dan kehidupan sosial bermasyarakat, salah satunya adalah memberikan jaminan dan perlindungan hukum serta pengakuan persamaan dihadapan hukum. Disamping itu, penghormatan terhadap hukum juga ditegaskan dalam pasal 27 (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi, segala warga negara bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dan dalam pasal 28 D (1) menegaskan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dengan kata lain, pasca reformasi 1998 hingga saat ini, negara memberikan jaminan akan perlindungan hukum dan persamaan kedudukan dihadapan hukum dengan tidak mengenal kelas, siapapun itu.

Perlindungan hukum bagi masyarakat saat ini erat dikaitkan dengan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang kurang mampu. Kurang mampu dalam arti ketiadaan kemampuan keuangan untuk membayar jasa advokat. Namun demikian, sebagai panggilan jiwa dan korps, tidak sedikit advokat yang memberikan bantuan hukum kepada masyarakat kurang mampu dengan cuma-cuma. Sayangnya, masih banyak masyarakat belum tahu dan beranggapan jika berurusan dengan hukum, diyakini masalah akan menjadi lebih rumit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketiadaan kemampuan memahami dan mengimplementasi hukum dalam kehidupan sehari-hari menjadi keniscayaan yang tidak dapat dihindari.  Faktor kurangnya edukasi dan minimnya pendidikan hukum membuat masyarakat, khususnya masyarakat termarjinalkan menjadi sasaran empuk pelaku tindak kejahatan dan selalu berada dipihak yang lemah. 

Terhadap hal ini pemerintah, sebelumnya melalui Lembaga Yudikatif (Mahkamah Agung) bersama-sama dengan Organisasi Bantuan Hukum (OBH) bahu membahu memberikan pelayanan bantuan hukum terutama untuk masyarakat miskin yang tersandung masalah hukum dan tidak sanggup membayar jasa advokat.

Kini, bukan saatnya lagi rakyat harus mencari uang untuk membayar jasa advokat jika tersandung masalah. Sejak pemberian bantuan hukum diserahkan kepada Pemerintah (Eksekutif), ketiadaan masyarakat miskin mempunyai uang untuk bayar jasa advokat sudah tidak menjadi masalah lagi. Pemerintah diberi kewajiban oleh undang-undang untuk menyediakan dana bantuan hukum.

Seperti yang disebut dalam Pasal 16 ayat (1) UU No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menyatakan, “pendanaan bantuan hukum yang diperlukan untuk penyelenggaraan bantuan hukum sesuai dengan undang-undang ini dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara”. Pasal ini menjadi dasar bahwa pendanaan bantuan hukum sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Komitmen mendukung terhadap upaya perlindungan hukum dan kesamaan di depan hukum tidak hanya sebatas retorika tetapi lebih jauh ke dalam. Pendanaan yang selama ini jadi kendala bagi masyarakat kurang mampu harus dipupus dan menjadi kewajiban pemerintah.
           
Terkait pemberian bantuan hukum, kalau melihat pelaksanaan penyelenggaran bantuan hukum pada tahun 2013, dari anggaran yang disediakan pemerintah sebesar 40 milyar lebih semuanya diberikan untuk bantuan hukum. Dana tersebut diberikan melalui 310 OBH yang telah lulus verifikasi dan terakreditasi oleh Pemerintah, setelah selesai melakukan layanan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat kurang mampu yang berperkara.

Untuk tahun 2014 sendiri Pemerintah menyediakan anggaran bantuan hukum sebesar 50 milyar yang diberikan kepada OBH yang tidak hanya lulus verifikasi dan akreditasi tetapi juga yang telah berbadan hukum. Sebagai informasi, saat ini dari 310 Organisasi Bantuan Hukum yang lulus verifikasi dan akreditasi yang sudah berbadan hukum sebanyak 290 an OBH. Dengan demikian, bisa dipastikan OBH yang bisa mengakses dana bantuan hukum adalah OBH yang sudah berbadan hukum. sedangkan bagi yang belum berbadan hukum, diharapkan agar segera menyelesaikan pendaftaran badan hukum organisasinya.

Meski demikian, beberapa OBH yang tidak dapat mengakses dana bantuan hukum saat ini, ditahun berikutnya OBH tersebut tetap diberikan peluang untuk mengakses dana bantuan hukum sepanjang sudah berbadan hukum.
           
Mengutip salah satu catatan media massa online yang didapat dari beberapa aktivis hukum yang melakukan penelitian, penyediaan dana bantuan hukum di daerah belum semuanya ada. Adapun daerah yang telah mengalokasikan dana bantuan hukum adalah seperti di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan dengan Peraturan Bupati nomor 8 tahun 2010 tentang pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu. Kemudian, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan di tahun 2009 menganggarkan 1,5 miliar dan jumlahnya naik menjadi 2,8 milyar pada tahun 2010 dan 2011 dan di tahun 2012 meningkat menjadi 7,4 milyar. Sedangkan di Sumatera Barat, pemerintah setempat menyediakan dana bantuan hukum sebesar 35, 3 juta. Di Sulawesi Tengah, pemberian dana bantuan hukum dilakukan dengan membedakan jumlah biaya berdasarkan tingkatan peradilan, yakni 10 juta per kasus untuk tingkat pertama dan kemudian turun menjadi 5 sampai 7 juta ditingkat banding dan kasasi dengan total anggaran sebesar 200 juta ditahun 2011. Di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, justru tidak ada alokasi pasti dana bantuan hukum untuk masyarakat miskin tetapi ada pos untuk honorarium yang diberikan kepada 6 orang panitia pelaksana selama 12 bulan, tim pelaksana kegiatan untuk 6 orang advokat selama 12 bulan dan tenaga pendukung sebanyak 2 orang untuk 12 bulan. Sedangkan di Kota Makassar Sulawesi Selatan melalui peraaturan wanlikotga garan untuk bantuan hukum disediakan dengan besaran 5 juta untuk kasus pidana dan 7 juta untuk kasus perdata dengan total anggaran 56 juta.

Sementara itu menurut catatan ada 25 daerah yang sudah menyediakan dana bantuan hukum seperti PEMPROV Sumatera Barat, PEMPROV Sumatera Selatan, PEMPROV Jateng, PEMPROV Sulawesi Tengah, PEMPROV Jatim, PEMKOT Palembang, PEMKAB Karawang, PEMKAB Subang, PEMKAB Bogor, PEMKAB Sumedang, PEMKAB Sukabumi, PEMKAB Cianjur, PEMKOT Surabaya, PEMKAB Sumenep, PEMKAB Sinjai, PEMKOT Palu, PEMKOT Semarang, PEMKAB Bantul, PEMKAB Karawang, PEMKOT Serang, PEMPROV Banten, PEMKOT Padang, PEMKOT Makassar, PEMKAB MUSI BANYU ASIN SUMSEL, dan PEMPROV Kepri .

Sebagai gambaran, penyediaan alokasi anggaran bantuan hukum oleh pemerintah daerah harus mengacu kepada UU Bantuan Hukum beserta peraturan turunan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 22 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-03.HN.03.03 Tahun 2013 tentang Besaran Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non Litigasi serta Petunjuk Pelaksanaan tentang Penyaluran Dana dan Pelaporan Pelaksanaan Bantuan Hukum yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Mengutip laman online LKBH-UNIKU, UU Bantuan Hukum mengamanatkan produk hukum Peraturan Daerah. Semakin banyak daerah yang berusaha mengalokasikan anggaran bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu, maka kebijakan populis tersebut harus diapresiasi. Namun demikian sepanjang peraturan perundang-undangan bantuan hukum belum lahir, maka ketika ada peraturan daerah yang pada saat itu menjadi pedoman, dinyatakan berlaku. Seperti yang tertuang dalam Ketentuan Peralihan Pasal 22, Pasal 23 (1) dam (2) UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Dan ketika UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum sudah berlaku berikut peraturan turunannya, maka kepada pemerintah daerah yang sudah mempunyai peraturan bantuan hukum atau akan membuat peraturan daerah tentang bantuan hukum tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum beserta peraturan turunannya.

Kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang telah berperan aktif bersama-sama mensukseskan penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat miskin harus diberikan apresiasi yang tinggi. Mengingat dengan dukungan pemerintah daerah, pemerintah pusat mempunyai semangat untuk terus mengupayakan penyediaan anggaran bantuan hukum yang besar dan proporsional.

Ketersediaan dana bantuan hukum baik dari APBN maupun dari APBD adalah hal yang mutlak disediakan agar akses terhadap keadilan bagi masyarakat kurang mampu tetap terbuka lebar. Akses terhadap keadilan dalam pembangunan hukum mengacu pada keadaan dan proses dimana Negara menjamin terpenuhinya hak-hak dasar warga negara berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, serta menjamin akses bagi setiap warga negara agar dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun informal dengan didukung oleh mekanisme keluhan publik yang baik dan responsif, agar dapat memperoleh manfaat yang optimal dan memperbaiki kualitas kehidupannya sendiri. Kita sepakat bahwa, peruntukkan dana bantuan hukum hanya untuk bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu dan bukan untuk yang lain.

Khusus untuk daerah, dalam pasal 19 (1) Undang-undang Bantuan Hukum mengatakan, ” Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelengaraan bantuan hukum dalam pendapatan dan belanja daerah”. Dengan kata lain, meski tidak diwajibkan pemerintah daerah bisa mengalokasikan dana bantuan hukum sesuai dengan kemampuan anggarannya masing-masing. Sinyal ini juga berlaku kepada daerah yang mempunyai kemampuan anggaran, sehingga akses terhadap keadilan kepada masyarakat kurang mampu bisa dirasakan langsung dan menyeluruh.

Harus diakui, pelaksanaan penyelenggaran bantuan hukum oleh pemerintah setahun terakhir memang menemui banyak kendala dan masih kurang dari harapan seperti jumlah penanganan perkara maupun penyerapan anggaran dana bantuan hukum yang belum maksimal.

Namun demikian, kekurangan tersebut bukan karena hal yang lain tetapi lebih disebabkan pada masalah teknis seperti masa transisi penyelenggaraan bantuan hukum dari Mahkamah Agung kepada Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM, Koordinasi antar pemangku kepentingan, waktu penyelenggaraan bantuan hukum yang terbatas. Seperti diketahui anggaran bantuan hukum turun setelah disetujui DPR melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) di Bulan Juni Tahun 2013.

Kemudian upaya sosialisasi mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara kepada OBH dan keharusan OBH untuk mendaftarkan organisasinya menjadi badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM.

Terhadap masalah tersebut, pemerintah berupaya untuk menyelesaikannya dengan baik bekerjasama dengan OBH dan pemangku kepentingan lainnya. Upaya lain seperti memberikan edukasi kepada OBH bagaimana melaksanakan kegiatan dengan laporan pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara juga diberikan, meski dengan keterbatasan anggaran sosialisasi tersebut terus dilakukan oleh pemerintah.  Sedangkan untuk badan hukum, bagi OBH yang lulus verifikasi dan terakreditasi namun belum berbadan hukum, pemerintah memberikan kesempatan kepada OBH untuk mendaftarkan badan hukum organisasinya.

Dengan label OBH lulus verifikasi dan terakreditasi serta berbadan hukum, menjadikan OBH sebagai pemberi bantuan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Bantuan Hukum menjadi lebih kredibel, profesional, akuntable dan transparan. Sehingga kolaborasi antara pemerintah dan OBH dalam penyelenggaraan bantuan hukum menjadi jauh lebih maju. Oleh karenanya, ke depan diharapkan penyelenggaraan bantuan hukum dapat terlaksana dengan baik dan penuh tanggung jawab baik dari sisi penyerapan anggaran dan sisi pelayanan bantuan hukum itu sendiri.