Jazirah arab
sepertinya tidak pernah padam dari bara perebutan kekuasaan ekonomi dan
politik. Perebutan tersebut, bukanlah domain dalam negeri negara-nagara arab
saja, tetapi juga menjadi kepentingan negara lain yang mempunyai kekuatan besar serta tujuan besar.
Selat Hormuz |
Menguti
dari laman wikipedia, Selat Hormuz (bahasa Arab:
مضيق هرمز—Madīq Hurmuz,bahasa Farsi:
تنگه هرمز—Tangeh-ye Hormoz) adalah selat yang
memisahkan Iran
dengan Uni Emirat Arab. Selat ini terletak di antara Teluk Oman
dan Teluk Persia.
Pada titik tersempit, lebar Selat Hormuz hanya mencapai 54 km. Selat ini
merupakan satu-satunya jalur untuk mengirim minyak keluar Teluk Persia.
Menurut U.S. Energy
Information Administration, setiap hari 15 kapal tanker yang membawa
16.5 hingga 17 juta barel minyak bumi melewati selat ini.
Yang menarik, munculnya krisis selat hormuz,
bermula dari tuduhan negara barat terhadap Iran yang diduga membuat program senjata
nuklir. Beberapa negara dari anggota dewan keamanan PBB kerap melakukan
penekanan terhadap Teheran agar menghentikan program Nuklir mereka. Terhadap
ini, tidak secuilpun Iran gentar, bahkan mereka mempublikasikan
keberhasilan-keberhasilan pengayaan uranium yang katanya untuk tujuan damai. Seperti
berbalas pantun, negara-negara penentang program nuklir Iran terus melakukan
gerilya, mencoba berbagai cara agar Iran tidak meneruskan program yang dinilai
bisa membahayakan keamanan dan ketertiban kawasan sekitar bahkan dunia pada
umumnya.
Bahkan Israel sesumber mengusulkan untuk
melakukan serangan pre empetive strike
ke Iran. Terang saja, usulan tersebut mendapat tentangan banyak negara jazirah
Arab dan negara di seluruh dunia termasuk sekutu Iran, Rusia. Amerika, Inggris
dan lainnya juga tidak mau kalah. Dengan pimpinan negeri Paman SAM, beberapa
negara eropa menggadangkan usulan agar Teheran diberikan sanksi berupa embargo
impor minyak dari Iran.
Usulan embargo rupanya menjadi cara lain yang
digunakan negara-negara barat selain serangan ke instalasi nuklir Iran. Kontan
saja, usulan ini diamini ketimbang melakukan serangan yang dampak kerugiannya
jauh lebih besar.
Usaha untuk menggolkan sanksi ini rupanya tidak
main-main. Amerika giat melakukan lobi terhadap mitra bisnis Iran seperti
Rusia, Cina dan India yang tentu punya kepentingan ekonomi strategis di bidang
bahan bakar.
Sementara itu, Iran tidak mau ketinggalan dengan
kunjungan lawatan kenegaraan ke beberapa negara Amerika Latin seperti
Venezuela, Bolivia, dan Nikaragua. Dari kunjungan tersebut, Teheran mendapat
dukungan untuk mempertahankan keputusan strategisnya demi tujuan damai. Bahkan
Venezuela mengecam keras aksi negara-negara barat yang terus memaksa Teheran
meninggalkan program nuklirnya. Tanpa segan-segan, mereka menunjuk Israel juga
tengah menjalankan program nuklirnya, tetapi tidak mendapat tentangan. Atas
tuduhan ini, Israel sendiri diam dan tidak membantah dan mengiyakan.
Dengan semakin memanasnya krisis nuklir Iran,
tentu akan menimbulkan dampak yang tidak sedikit. Iran bahkan mengancam akan
menutup selat Hormuz bila sanksi baru diterapkan oleh Amerika dan sekutunya.
Ancaman Iran langsung mendapat reaksi keras dari Amerika yang tidak akan
mentolerir aksi Iran tersebut.
Rusia dan Cina sendiri menentang sanksi terhadap
Iran yang dianggapnya bisa menyengsarakan rakyat Iran. Bisa dimaklumi, Rusia
dan Cina adalah mitra bisnis Iran terbesar dalam bidang energi. Bahkan Jepang
dan Korea Selatan yang merupakan sekutu Amerika di Asia Pasific secara tersirat
menyatakan keberatannya untuk menangguhkan pembelian minyak dari Iran. Baginya,
sanksi ini akan menimbulkan gejolak ekonomi di negara mereka yang baru saja
dihantam bencana tsunami dan gempa.
Beberapa pakar mengkhawatirkan, bila krisis selat
hormuz ini terus memanas dengan aksi saling balas, tidak menutup kemungkinan
akan menimbulkan resistensi harga minyak dunia yang melambung tinggi. Belum
lagi ditambah Eropa yang sedang didera krisis financial serta ekonomi Amerika
yang tidak stabil termasuk meningkatnya hutang sejak beberapa dekade terakhir. “Apalagi
bila perang jadi meletus, tentu tidak bisa dibayangkan dunia saat ini seperti
apa”, kata orang-orang pintar menganalisis perseteruan antara Iran dan Barat.
Senin lalu (23/1), akhirnya, Amerika dan Eropa
sepakat untuk mengembargo minyak Iran dari peredaran dunia. Barat juga menutup
akses transaksi keuangan Teheran baik yang ada di Bank Sentral Iran maupun Bank
penghubung lainnya di negara kawasan tersebut. sedianya sanksi ini dimaksudkan
agar Iran mau menghentikan program nuklir serta kembali kemeja perundingan
dengan sedikit harapan bisa melunak dan dikendalikan. Tapi, sanksi ini
diterapkan untuk bulan Juli yang akan datang. Dengan kata lain, bagi negara
yang menyetujui sanksi tersebut bisa memberikan ruang akses atau jeda waktu
mempersiapkan pengenaan sanksi agar tidak menimbulkan implikasi ekonomi maupun
politik baik di luar maupun di dalam negeri. Diharapkan pula, negara pengimpor
minyak Iran bisa mengalihkan kebutuhan energi minyaknya ke produsen lain selain
Iran.
Namun demikian, dari sudut kepentingan hak negara
berdaulat, sanksi ini tidak serta merta memaksa agar semua negara mengikuti
aturan tersebut. Rusia, Cina dan India serta beberapa negara dunia lainnya terang-terangan
menolak dan tetap akan mengimpor minyak dari Iran. Bagi mereka, sanksi itu
tidak mengikat dan mereka jauh lebih memikirkan kepentingan ketersediaan energi
bagi rakyatnya ketimbang bergabung dalam aliansi yang selalu berbau perang.
Iran sendiripun tenang dan tidak ada kegaduhan di dalam negeri mereka sendiri.
So, bagi seluruh negara di dunia, waktu 6 bulan untuk penerapan sanksi bagi
Iran adalah waktu yang sangat berharga untuk memikirkan mana yang baik dan mana
yang tidak. Apalagi bagi kelangsungan kehidupan dan kemajuan serta kepentingan
hak asasi sebuah negara berdaulat yang bebas melakukan hubungan ke manapun
negara di dunia.
Akankah 6 bulan ke depan Selat hormuz memanas ? So
kawan, jangan tinggalkan kewaspadaan dan berharap semoga ini adalah bagian skenario
yang tidak perlu masuk episode sebuah kehidupan anak manusia akhir zaman.