Rabu, 25 Januari 2012

Hormuz diantara Ketersediaan Energi dan Eksistensi

Jazirah arab sepertinya tidak pernah padam dari bara perebutan kekuasaan ekonomi dan politik. Perebutan tersebut, bukanlah domain dalam negeri negara-nagara arab saja, tetapi juga menjadi kepentingan negara lain yang mempunyai  kekuatan besar serta tujuan besar.

Selat Hormuz
Publik, mesti masih ingat ketika krisis teluk di tahun 1991 menjelma menjadi perang besar yang nyaris saja memantik perang dunia ketiga. Kini, di penghujung tahun 2011 dan awal tahun 2012, katakan saja krisis selat hormuz, telah tumbuh bibit pertikaian anak manusia yang berujung pada perang besar yang berskala global.

Menguti dari laman wikipedia, Selat Hormuz (bahasa Arab: مضيق هرمز—Madīq Hurmuz,bahasa Farsi: تنگه هرمز—Tangeh-ye Hormoz) adalah selat yang memisahkan Iran dengan Uni Emirat Arab. Selat ini terletak di antara Teluk Oman dan Teluk Persia. Pada titik tersempit, lebar Selat Hormuz hanya mencapai 54 km. Selat ini merupakan satu-satunya jalur untuk mengirim minyak keluar Teluk Persia. Menurut U.S. Energy Information Administration, setiap hari 15 kapal tanker yang membawa 16.5 hingga 17 juta barel minyak bumi melewati selat ini.

Yang menarik, munculnya krisis selat hormuz, bermula dari tuduhan negara barat terhadap Iran yang diduga membuat program senjata nuklir. Beberapa negara dari anggota dewan keamanan PBB kerap melakukan penekanan terhadap Teheran agar menghentikan program Nuklir mereka. Terhadap ini, tidak secuilpun Iran gentar, bahkan mereka mempublikasikan keberhasilan-keberhasilan pengayaan uranium yang katanya untuk tujuan damai. Seperti berbalas pantun, negara-negara penentang program nuklir Iran terus melakukan gerilya, mencoba berbagai cara agar Iran tidak meneruskan program yang dinilai bisa membahayakan keamanan dan ketertiban kawasan sekitar bahkan dunia pada umumnya.

Bahkan Israel sesumber mengusulkan untuk melakukan serangan pre empetive strike ke Iran. Terang saja, usulan tersebut mendapat tentangan banyak negara jazirah Arab dan negara di seluruh dunia termasuk sekutu Iran, Rusia. Amerika, Inggris dan lainnya juga tidak mau kalah. Dengan pimpinan negeri Paman SAM, beberapa negara eropa menggadangkan usulan agar Teheran diberikan sanksi berupa embargo impor minyak dari Iran.

Usulan embargo rupanya menjadi cara lain yang digunakan negara-negara barat selain serangan ke instalasi nuklir Iran. Kontan saja, usulan ini diamini ketimbang melakukan serangan yang dampak kerugiannya jauh lebih besar. 

Usaha untuk menggolkan sanksi ini rupanya tidak main-main. Amerika giat melakukan lobi terhadap mitra bisnis Iran seperti Rusia, Cina dan India yang tentu punya kepentingan ekonomi strategis di bidang bahan bakar. 

Sementara itu, Iran tidak mau ketinggalan dengan kunjungan lawatan kenegaraan ke beberapa negara Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, dan Nikaragua. Dari kunjungan tersebut, Teheran mendapat dukungan untuk mempertahankan keputusan strategisnya demi tujuan damai. Bahkan Venezuela mengecam keras aksi negara-negara barat yang terus memaksa Teheran meninggalkan program nuklirnya. Tanpa segan-segan, mereka menunjuk Israel juga tengah menjalankan program nuklirnya, tetapi tidak mendapat tentangan. Atas tuduhan ini, Israel sendiri diam dan tidak membantah dan mengiyakan.

Dengan semakin memanasnya krisis nuklir Iran, tentu akan menimbulkan dampak yang tidak sedikit. Iran bahkan mengancam akan menutup selat Hormuz bila sanksi baru diterapkan oleh Amerika dan sekutunya. Ancaman Iran langsung mendapat reaksi keras dari Amerika yang tidak akan mentolerir aksi Iran tersebut.
Rusia dan Cina sendiri menentang sanksi terhadap Iran yang dianggapnya bisa menyengsarakan rakyat Iran. Bisa dimaklumi, Rusia dan Cina adalah mitra bisnis Iran terbesar dalam bidang energi. Bahkan Jepang dan Korea Selatan yang merupakan sekutu Amerika di Asia Pasific secara tersirat menyatakan keberatannya untuk menangguhkan pembelian minyak dari Iran. Baginya, sanksi ini akan menimbulkan gejolak ekonomi di negara mereka yang baru saja dihantam bencana tsunami dan gempa.

Beberapa pakar mengkhawatirkan, bila krisis selat hormuz ini terus memanas dengan aksi saling balas, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan resistensi harga minyak dunia yang melambung tinggi. Belum lagi ditambah Eropa yang sedang didera krisis financial serta ekonomi Amerika yang tidak stabil termasuk meningkatnya hutang sejak beberapa dekade terakhir. “Apalagi bila perang jadi meletus, tentu tidak bisa dibayangkan dunia saat ini seperti apa”, kata orang-orang pintar menganalisis perseteruan antara Iran dan Barat.

Senin lalu (23/1), akhirnya, Amerika dan Eropa sepakat untuk mengembargo minyak Iran dari peredaran dunia. Barat juga menutup akses transaksi keuangan Teheran baik yang ada di Bank Sentral Iran maupun Bank penghubung lainnya di negara kawasan tersebut. sedianya sanksi ini dimaksudkan agar Iran mau menghentikan program nuklir serta kembali kemeja perundingan dengan sedikit harapan bisa melunak dan dikendalikan. Tapi, sanksi ini diterapkan untuk bulan Juli yang akan datang. Dengan kata lain, bagi negara yang menyetujui sanksi tersebut bisa memberikan ruang akses atau jeda waktu mempersiapkan pengenaan sanksi agar tidak menimbulkan implikasi ekonomi maupun politik baik di luar maupun di dalam negeri. Diharapkan pula, negara pengimpor minyak Iran bisa mengalihkan kebutuhan energi minyaknya ke produsen lain selain Iran.

Namun demikian, dari sudut kepentingan hak negara berdaulat, sanksi ini tidak serta merta memaksa agar semua negara mengikuti aturan tersebut. Rusia, Cina dan India serta beberapa negara dunia lainnya terang-terangan menolak dan tetap akan mengimpor minyak dari Iran. Bagi mereka, sanksi itu tidak mengikat dan mereka jauh lebih memikirkan kepentingan ketersediaan energi bagi rakyatnya ketimbang bergabung dalam aliansi yang selalu berbau perang. Iran sendiripun tenang dan tidak ada kegaduhan di dalam negeri mereka sendiri. So, bagi seluruh negara di dunia, waktu 6 bulan untuk penerapan sanksi bagi Iran adalah waktu yang sangat berharga untuk memikirkan mana yang baik dan mana yang tidak. Apalagi bagi kelangsungan kehidupan dan kemajuan serta kepentingan hak asasi sebuah negara berdaulat yang bebas melakukan hubungan ke manapun negara di dunia.

Akankah 6 bulan ke depan Selat hormuz memanas ? So kawan, jangan tinggalkan kewaspadaan dan berharap semoga ini adalah bagian skenario yang tidak perlu masuk episode sebuah kehidupan anak manusia akhir zaman.