Selasa, 07 Februari 2012

Bemo, Yang Unik dan Yang Tergusur

Ilustrasi
Mengusung kesan sederhana dengan ditopang nama beken pada zamannya, siapa sih yang tidak kenal bemo. Nah, kendaraan yang unik dan hampir lekang dimakan zaman ini, ternyata menyimpan cerita yang menarik dan tidak pernah habis untuk dibahas oleh para penggemarnya. Sebuah kisah menarik tentang sosok bemo yang tertatih-tatih ditengah derasnya modernisasi kendaraan pada zaman modern saat ini.

Kendaraan roda tiga yang dibuat tahun 1960-an ini pernah menjadi icon pada saat pesta olahraga Ganefo di Jakarta dan serta merta, bemo menjadi booming. Dengan bentuknya yang unik dan lucu bemo mampu berlari kencang dan bermanuver di gang-gang sempit mengalahkan becak pada zamannya. Menurut beberapa artikel, bemo merupakan produk pabrikan otomotif Jepang, Daihatsu. Kendaraan ini dibuat dari sebuah inovasi yang sebelumnya didahului Toyota yang mengeluarkan produk truck beroda empat yang kemudian dikenal dengan toyoace.

Atas meledaknya toyoace, Daihatsu kemudian menelurkan produk truck roda tiga yang diberi nama midget. Karena permintaan pasar, Daihatsi midget kemudian diekspor ke luar negeri, termasuk Indonesia. Nah, Daihatsu Midget inilah yang kemudian dikenal masyarakat Indonesia sebagai bemo (becak motor).

Sebenarnya, hadirnya bemo oleh pemerintah daerah saat itu dimaksudkan untuk menggantikan becak. Namun karena tidak adanya perencanaan yang matang, satu dasawarsa berikutnya, bemo perlahan-lahan ditarik keberadaannya. Bemo yang semula beroperasi seperti taksi, belakangan daerah operasinya dibatasi di rute-rute tertentu saja, kemudian akhirnya disingkirkan ke rute-rute kurus yang tak disentuh oleh bus kota.

Dalam beberapa artikel disebutkan, konon di negara asalnya, Jepang, bemo tidak dimaksudkan sebagai angkutan manusia, melainkan sebagai angkutan barang. Akibatnya, ketika dipasangkan tempat duduk, ruangan yang tersedia pun menjadi sempit. Paling tidak, bemo mampu mengangkut paling kurang 8 penumpang, enam di bagian belakang, dua di depan, termasuk sang sopir. Lantaran kondisi yang sempit, maka tidak heran penumpang sering beradu lutut dengan posisi duduk berdesak-desakan. Meskipun begitu, tidak sedikit yang menemukan jodohnya di dalam bemo dan menjadi kenangan indah bagi penumpangnya.

Saat ini bemo seperti hidup segan mati tak mau. Keberadaan bemo sekarang tidak lagi seperti tahun 1990-an yang masih banyak dijumpai di pinggiran jalan besar, seperti di bilangan Pisangan Baru (Kebon Sereh), kayu manis, pangkalan jati (Kali Malang), Slipi, Penjernihan, Benhil, Manggarai dan Klender. Jelang tahun 2000-an keberadaan bemo hanya tersisa di bilangan Benhil, Penjernihan dan Manggarai.

Seiring dengan modernisasi angkutan umum, bemo praktis makin lama ditinggalkan penumpangnya. Belum lagi ketersediaan suku cadang yang sudah tidak ada produksinya lagi. Kondisi tersebut, tidak dipungkiri menjadikan bemo tergusur dari cerita salah satu alat transportasi yang dicintai masyarakat.

Namun demikian, dari beberapa pemilik bemo yang setia merawatnya, ketiadaan suku cadang bemo kemudian disiasati dengan membuat suku cadang tiruan yang dibuat dibengkel-bengkel pinggiran Jakarta. Dari suku cadang ini, kini tersisa tidak lebih dari puluhan bemo yang masih beroperasi, sisanya menjadi rongsokan dan terbuang. Sedihnya lagi, bemo sudah banyak dihapus karena dianggap sudah tua, tidak nyaman dan berpolusi.

Sebut saja Bang Onih, sopir bemo yang setia mengoperasikan bemonya di bilangan Jakarta Pusat ini menceritakan, kalau bemo mampu membiayai anaknya sekolah hingga tamatan SMA. Dengan rute Benhil – Penjernihan, Onih mampu meraup rupiah 40.000 sehari. Itupun kalau ramai, misalnya pada saat jam berangkat dan pulang kerja. Bemo Onih ini fisiknya sudah tidak cantik lagi. Di sana sini banyak dempulan dan cat yang terkelupas serta kabin belakang yang kap-nya sudah usang. Tapi tidak menyurutkan niat langganannya untuk terus menggunakan jasa bemo-nya.

Sekarang ini serba salah, menurut aturan memang bemo sudah tidak boleh beroperasi, tapi karena kebutuhan ekonomi, membuat onih berpikir untuk terus menggunakannya. Pikirnya, daripada menganggur dan kalah bersaing dengan anak sekarang dalam mencari pekerjaan, lebih baik memanfaatkan bemo tersebut. Toh, bemo-nya tidak beroperasi dijalan besar. 

Cerita tentang bemo memang tidak pernah habis, makian pengendara motor yang tidak sabaran sering diterima sopir bemo. Bahkan diancam untuk dikandangkan menjadi makanan sehari-hari. Meski begitu, bemo juga menyimpan banyak cerita indah seperti ada penumpangnya menemukan jodoh ketika naik bemo.

Memang secara kelayakan, bemo sudah tidak memenuhi syarat untuk kenyamanan penumpang. Bemo juga kerap mengeluarkan asap pekat yang bisa membuat polusi udara. Bemo sekarang tidak selincah seperti saat masanya. Bemo sudah terlalu tua untuk memenuhi tuntutan warga ibukota yang maunya serba cepat.

Sekalipun demikian, biarkan bemo untuk beroperasi semampunya. Keberadaan bemo saat ini, tidak lebih dari masih ada warga ibukota yang mencintainya. Sekedar nostalgia, atau kendaraan angkutan alternatif, bemo masih dianggap layak mengangkut penumpang. Selain itu, bemo juga mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi sebagian warga ibu kota untuk sekedar dapur ngebul atau sesuap nasi. 

Dan bemo, mampu menjadi instrumen pencegah penyakit sosial yang kerap lahir dari keterpurukan ekonomi. So, sepanjang pemerintah belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan, profesi pengemudi bemo layak diacungi jempol. Dan warga ibu kotapun masih bisa bernostalgia dengan menumpang bemo mengitari kampung-kampung maupun gang-gang, entah sekedar mencari jalan alternatif menghindari kemacetan atau punya keperluan lainnya.

H'eh, itulah bemo. Unik.