Menjelang lebaran, semua publik cukup mahfum bagaimana roda ekonomi bergerak cepat. Inflasi oleh penaikan harga berbagai kebutuhan barang maupun jasa tidak bisa dihindarkan. Publikpun sepakat, semua ini disebabkan oleh meningkatnya konsumsi kebutuhan masyarakat menyambut hari raya, dan beberapa hal yang menjadi perhatian salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan sembako untuk kehidupan sehari-hari.
Ilustrasi oleh : gaguna.blogspot.com |
Sembako, merupakan sebuah singkatan yang pernah mencuat saat Indonesia diprediksi memasuki era tinggal landas dan ketika terjadi krisis ekonomi saat tahun 1998 lalu. Sembilan bahan pokok (sembako) menjadi lekat dengan kebutuhan masyarakat kala itu. Padahal sejatinya, sembako sejak pra kemerdekaan maupun sekarang ya itu-itu saja. Sembako menjadi sesuatu yang sangat mahal dan mewah. Bahkan masih lekat dalam ingatan, ketika itu nilai tukar dolar menyentuh angka Rp. 16.000,- dari sebelumnya Rp. 2.500,-, sembako menjadi sulit digapai masyarakat ekonomi lemah.
Meskipun perekonomian Indonesia mengalami peningkatan, tren penaikan sembako tetap saja terjadi. Apalagi khusus pada momen-momen tertentu seperti lebaran. Sepertinya rumusan tentang hukum penawaran “semakin tinggi permintaan barang/jasa, maka semakin tinggi pula harga barang/jasa tersebut”, adalah rumus abadi dan mustahil rasanya ada penurunan. Dampak dari penaikan permintaan ini tentu saja memicu penaikan harga barang/jasa.
Tidak aneh memang, tapi yang paling membuat kesal adalah kelakuan oknum yang memanfaatkan penaikan tersebut untuk mencari untung besar seperti menimbun barang, menahan laju pengeluaran barang, untuk kemudian produk yang lama dan sudah tidak diminati, ikut berebut keluar pasar. Modus seperti produk barang yang hampir kedaluwarsa, bahkan sudah habis masa expired-nya sering dilakukan oknum untuk mencari keuntungan ditengah hingar bingar meningkatnya kebutuhan masyarakat.
Tidak hanya sembako yang melonjak harganya, pemanfaatan kendaraan angkutan massal untuk lebaranpun tidak kalah sengitnya naik tajam. Belum lagi, penaikan tiket kendaraan pengangkutan seperti Bus AKAP, Pesawat Terbang atau mungkin Kapal Fery yang mengambil selisih angka di atas 100% bahkan 200% pada saat momen lebaran.
Tentu saja, bagi yang mampu dan terpenuhinya kesejahteraan tidak mengapa, lalu bagaimana dengan yang tidak ? Dia harus berhutang, kemudian bekerja mencari tambahan hanya sekedar untuk bisa pulang kampung. Situasi seperti ini kemudian memancing fenomena sosial masyarakat lainnya.
Coba tengok setiap sudut jalan, berapa banyak saudara kita yang mengemis dengan beragam cara, menempati ruang dan waktu di sudut kota.
Kemudian, meningkatnya jumlah tindakan kriminal yang dilatarbelakangi emosional sesaat demi kebutuhan lebaran dan banyaknya orang yang tidak sanggup memikul beban ekonomi, alias stres. Lalu apa yang terjadi ? Apakah akan timbul pula hukum sebab akibat, yang kuat dialah yang survive, who knows ?
Menghadapi situasi seperti ini, pemerintahpun tak kalah sigap. Jauh-jauh hari mengumumkan stok persedian barang menjelang lebaran cukup dan aman. Tiket pemberangkatan untuk mudik dan kepulangan pemudik sudah disediakan dalam jumlah besar seperti kereta api dan pesawat. Untuk bus, lain lagi. Penaikan tiket bus sementara masih malu-malu untuk menaikkan.
Contoh kecinya saja, untuk bisa menggunakan jasa bus yang mengantar pemudik hingga tempat tujuan, dibeberapa terminal bersedia menerima pembayaran dengan menggunakan sistem down payment dan tidak mau cash. Tetapi anehnya, harga tiket sudah diberitahu dengan bahasa lisan akan naik. Penaikkannya, untuk tujuan wilayah Jawa Tengah saja hampir mencapai 200 %. Saat dikonfirmasi kepada petugas, mereka hanya menjawab menunggu dari kantor.
Untuk penaikkan tiket, memang diakui pemerintah menetapkan ambang batas atas dan ambang batas bawah. Tujuannya adalah untuk harga kewajaran dari operasional dan keuntungan pengusaha pengangkutan. Namun demikian, tidak jarang ditemukan kasus penyimpangan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, dan lagi-lagi, masyarakat yang dibebankan.
Meski demikian, regulasi ya regulasi, aturan harus ditegakkan. Untuk yang satu ini, publik yakin, pemerintah tidak mau berkompromi dan menindak tegas oknum yang merugikan masyarakat. Kita percaya, pemerintah bisa melakukannya dan berbuat yang terbaik bagi masyarakat. Kita sepakat, siapaun juga tidak akan mentolerir perbuatan melawan hukum, apapun itu, meski dengan alasan menutup pembiayaan operasional usaha pengangkutan. Termasuk, penaikan harga barang dan mungkin juga kelangkaan barang. Terhadap ini semua, pemerintah sudah tahu langkah apa yang harus diperbuat. Jangan sampai momen lebaran yang suci menjadi tercoreng oleh ulah segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar