Parkir, semua orang pasti kenal dengan yang namanya parkir. Entah siapa yang membuat pertama kali kosakata ini. Namun, istilah ini menjadi tren ketika manusia berhasil menciptakan seni dan kreatifitas, hasilnya dinamakan kendaraan. Entah itu darat, laut dan udara bahkan ruang angkasa sekalipun atau dasar samudera yang dalam.
Istilah parkir sangat lekat dengan kendaraan, dalam cabang ilmu pengetahuan alam, kendaraan disebut dengan benda mati. Anehnya si benda mati ini bisa digerakkan sesuai keinginan sang empunya. Entah itu disadari atau spontanitas, yang jelas si benda mati ini bisa berbaris dan berjajar rapi, enak dipandang mata. Tertib seperti baris dalam militer atau upacara dalam event seremonial. Parkir sudah merupakan kebutuhan pokok si kendaraan dan sang empunya.
Parkir dibutuhkan tidak hanya menjadi stasiun pemberhentian, tetapi parkir berperan besar bisa memerintahkan si empunya kendaraan mematikan mesin. Suara bising hilang, polusi yang dihasilkannyapun dibuat berhenti tak berdaya.
Kembali ke parkir.
Alih-alih menjadi kebutuhan pokok, parkir bisa juga membuat sebal banyak orang. Terbatasnya lahan parkir menjadi rebutan setiap orang. Saling mendahului, saling sikut dan saling senggol sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan, fenomena parkir menjadi menarik untuk dieksplorasi ketika bisnis berbicara. Rupiahpun banyak ditangguk seiring juru parkir yang mengangguk-ngangguk. Parkir gratisanpun sudah jarang terlihat kecuali di beberapa tempat yang menggratiskannya.
Parkir juga bisa menjadi diskriminasi bagi kendaraan dan siempunya. Coba tengok sejenak parkir kendaraan kecil dan parkir kendaraan besar. Yang kecil biasanya di nomor duakan, ditaruh di terik matahari, pembatasnya hanya seutas tali dan sering kehujanan serta luas areanya yang terbatas bikin berdesak-desakan. Sebaliknya parkir kendaraan besar menjadi prioritas. Lihat saja besarnya bea yang dihasilkan dari kendaraan besar. Juru parkirpun tampak siap melayani si kendaraan besar meskipun penuh dengan kendaraan lainnya. Diskriminasi ini menjadi kentara ketika tempat suatu event malah tidak menyediakan parkir kendaraan kecil.
Pun begitu, tidak parkir besar dan tidak parkir kecil, banyak petualangan yang terjadi di parkir. Pencurian tidak bisa jadi jaminan hilang di parkir. Helm yang berpindah tangan hingga spion atau radio tape bisa menjadikan parkir lahan yang empuk dari sasaran oknum. Oknum bak benalu yang bersimbiosis mutualisme. Lain itu, sasaran kemarahan dan emosi kerap menghiasi lahan parkir. Gores menggores dan coret mencoret kerap menjadi ajang melukis. Sayang, tidak ada layanan parkir yang mau menggelar kontes melukis.
Balik lagi ke parkir.
Parkir adalah sarana yang dicari setiap orang. Parkir bisa menjadi positif dan bisa membuat setiap orang menjadi negatif. Pemahaman fungsi parkir yang rendah berdampak pada tingkah laku si empunya kendaraan. Asal dapat parkir, sudah cukup, meskipun senggol menyenggol.
Lain halnya dengan pemahaman yang baik tentang parkir. Parkir bisa menjadi cermin nilai positif dan menjauhkan energi negatif. Energi positif yang dihasilkannya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Entah saya, anda, mereka atau yang lainnya.
Kiri-kiri..kanan-kanan..balas-balas..awaassss.
Istilah parkir sangat lekat dengan kendaraan, dalam cabang ilmu pengetahuan alam, kendaraan disebut dengan benda mati. Anehnya si benda mati ini bisa digerakkan sesuai keinginan sang empunya. Entah itu disadari atau spontanitas, yang jelas si benda mati ini bisa berbaris dan berjajar rapi, enak dipandang mata. Tertib seperti baris dalam militer atau upacara dalam event seremonial. Parkir sudah merupakan kebutuhan pokok si kendaraan dan sang empunya.
Parkir dibutuhkan tidak hanya menjadi stasiun pemberhentian, tetapi parkir berperan besar bisa memerintahkan si empunya kendaraan mematikan mesin. Suara bising hilang, polusi yang dihasilkannyapun dibuat berhenti tak berdaya.
Kembali ke parkir.
Alih-alih menjadi kebutuhan pokok, parkir bisa juga membuat sebal banyak orang. Terbatasnya lahan parkir menjadi rebutan setiap orang. Saling mendahului, saling sikut dan saling senggol sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan, fenomena parkir menjadi menarik untuk dieksplorasi ketika bisnis berbicara. Rupiahpun banyak ditangguk seiring juru parkir yang mengangguk-ngangguk. Parkir gratisanpun sudah jarang terlihat kecuali di beberapa tempat yang menggratiskannya.
Parkir juga bisa menjadi diskriminasi bagi kendaraan dan siempunya. Coba tengok sejenak parkir kendaraan kecil dan parkir kendaraan besar. Yang kecil biasanya di nomor duakan, ditaruh di terik matahari, pembatasnya hanya seutas tali dan sering kehujanan serta luas areanya yang terbatas bikin berdesak-desakan. Sebaliknya parkir kendaraan besar menjadi prioritas. Lihat saja besarnya bea yang dihasilkan dari kendaraan besar. Juru parkirpun tampak siap melayani si kendaraan besar meskipun penuh dengan kendaraan lainnya. Diskriminasi ini menjadi kentara ketika tempat suatu event malah tidak menyediakan parkir kendaraan kecil.
Pun begitu, tidak parkir besar dan tidak parkir kecil, banyak petualangan yang terjadi di parkir. Pencurian tidak bisa jadi jaminan hilang di parkir. Helm yang berpindah tangan hingga spion atau radio tape bisa menjadikan parkir lahan yang empuk dari sasaran oknum. Oknum bak benalu yang bersimbiosis mutualisme. Lain itu, sasaran kemarahan dan emosi kerap menghiasi lahan parkir. Gores menggores dan coret mencoret kerap menjadi ajang melukis. Sayang, tidak ada layanan parkir yang mau menggelar kontes melukis.
Balik lagi ke parkir.
Parkir adalah sarana yang dicari setiap orang. Parkir bisa menjadi positif dan bisa membuat setiap orang menjadi negatif. Pemahaman fungsi parkir yang rendah berdampak pada tingkah laku si empunya kendaraan. Asal dapat parkir, sudah cukup, meskipun senggol menyenggol.
Lain halnya dengan pemahaman yang baik tentang parkir. Parkir bisa menjadi cermin nilai positif dan menjauhkan energi negatif. Energi positif yang dihasilkannya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Entah saya, anda, mereka atau yang lainnya.
Kiri-kiri..kanan-kanan..balas-balas..awaassss.