Udara dingin yang menggelayut kota Jakarta di pagi hari perlahan dan pasti mulai menggelayut ke dalam relung Sang Jaket Hitam. Saat dikenakan, Sang Jaket Hitam sejatinya adalah kawan setia yang menemani tuannya pergi kemanapun, setiap hari bahkan tiada waktu sedikitpun tuannya membasuh tubuhnya yang lusuh, tidak mengapa. Mesti sudah berumur sepuh, Sang Jaket Hitam adalah obat dari rasa dingin hantaman angin pagi, siang dan malam ketika mengendarai kuda besi. Bahkan, menjadi pembalut tubuh yang terus melekat tanpa sekat perekat apapun.
Kini, dimusim penghujan, Sang Jaket Hitam kembali diuji kesetiannya. Deburan angin kencang dan ganasnya udara dingin bisa datang setiap saat. Sungguh, sebuah ujian terhadap sejauhmana ketahanan dan kelaikannya saat dikenakan.
Sang Jaket Hitam sering gundah dan gelisah saat tahu dirinya tidak ditakdirkan menyatu dari rekan sesamanya. Entah dari bentuk, model hingga bahan, Jaket Hitam harus berbeda dari jenisnya. Kepasrahan seakan dipaksakan dan tidak ada kuasa tuk menolak saat hendak diperjualbelikan, ditukar tambah bahkan menjadi loak dan ditemukan diemperan jalan.
Sang Jaket hitam seperti ditakdirkan menjadi kasta. Ada yang mahal dan ada yang murah. Dari yang trendy sampai sederhana. Seakan hidup dan memiliki indra, Sang Jaket Hitam bisa berwatak seperti tuannya. Jika tuannya resik, maka ia menjadi anti sisik. Dan jika tuannya masa bodoh, maka menjadi habis manis sepah dibuang.
Di musim yang tidak menentu saat ini, Sang Jaket hitam kian terdesak oleh tumbuhnya beberapa seluet pinggang dan pundak tuannya. Meskipun begitu, dirinya tetap bertahan dan tak mengeluh. Saat dikenakan, Sang Jaket Hitam tampak anggun membalut tubuh tuannya. Dirinya berusaha menyesuaikan lekuk tubuh dan membuat tuannya nyaman. Kini, dengan membesarnya tubuh tuannya, eksistensi jaket hitam menjadi terancam. Bisa terbuang bahkan menjadi gombal (bhs jawa : kain lap/pel) menjadi nyata dihadapan mata. Desakan mengganti peran tampak tidak bisa dielakkan. Kusut, kisut, soek, bau dan lepas benang, tidak membuatnya menjadi tidak percaya diri. Si Jaket Hitam terus menemani bahkan berani sampai mati.
Tapi nasib berkata lain, si jaket hitam nasibnya masih baik. Tuannya masih tertarik memanfaatkan jasanya. Meskipun kulitnya tercabik-cabik udara kotor Jakarta, Jaket Hitam masih menarik perhatian. Luka-luka disekujur tubuhnya tidak menjadikan tuannya berpaling ke lain hati. Si Jaket Hitam kini boleh berbangga dan berbesar hati, namun demikian jaket hitam tidak tinggi hati, bahkan merendah dan tidak meminta untuk diperbaiki. Seandainya saja si Jaket Hitam bisa bicara dia akan berkata, “Apapun adanya saya, saya berharap tuan saya masih memakai saya. Saya takut menjadi sarang laba-laba.” harapnya.
Kini, dimusim penghujan, Sang Jaket Hitam kembali diuji kesetiannya. Deburan angin kencang dan ganasnya udara dingin bisa datang setiap saat. Sungguh, sebuah ujian terhadap sejauhmana ketahanan dan kelaikannya saat dikenakan.
Sang Jaket Hitam sering gundah dan gelisah saat tahu dirinya tidak ditakdirkan menyatu dari rekan sesamanya. Entah dari bentuk, model hingga bahan, Jaket Hitam harus berbeda dari jenisnya. Kepasrahan seakan dipaksakan dan tidak ada kuasa tuk menolak saat hendak diperjualbelikan, ditukar tambah bahkan menjadi loak dan ditemukan diemperan jalan.
Sang Jaket hitam seperti ditakdirkan menjadi kasta. Ada yang mahal dan ada yang murah. Dari yang trendy sampai sederhana. Seakan hidup dan memiliki indra, Sang Jaket Hitam bisa berwatak seperti tuannya. Jika tuannya resik, maka ia menjadi anti sisik. Dan jika tuannya masa bodoh, maka menjadi habis manis sepah dibuang.
Di musim yang tidak menentu saat ini, Sang Jaket hitam kian terdesak oleh tumbuhnya beberapa seluet pinggang dan pundak tuannya. Meskipun begitu, dirinya tetap bertahan dan tak mengeluh. Saat dikenakan, Sang Jaket Hitam tampak anggun membalut tubuh tuannya. Dirinya berusaha menyesuaikan lekuk tubuh dan membuat tuannya nyaman. Kini, dengan membesarnya tubuh tuannya, eksistensi jaket hitam menjadi terancam. Bisa terbuang bahkan menjadi gombal (bhs jawa : kain lap/pel) menjadi nyata dihadapan mata. Desakan mengganti peran tampak tidak bisa dielakkan. Kusut, kisut, soek, bau dan lepas benang, tidak membuatnya menjadi tidak percaya diri. Si Jaket Hitam terus menemani bahkan berani sampai mati.
Tapi nasib berkata lain, si jaket hitam nasibnya masih baik. Tuannya masih tertarik memanfaatkan jasanya. Meskipun kulitnya tercabik-cabik udara kotor Jakarta, Jaket Hitam masih menarik perhatian. Luka-luka disekujur tubuhnya tidak menjadikan tuannya berpaling ke lain hati. Si Jaket Hitam kini boleh berbangga dan berbesar hati, namun demikian jaket hitam tidak tinggi hati, bahkan merendah dan tidak meminta untuk diperbaiki. Seandainya saja si Jaket Hitam bisa bicara dia akan berkata, “Apapun adanya saya, saya berharap tuan saya masih memakai saya. Saya takut menjadi sarang laba-laba.” harapnya.