Jumat, 04 Februari 2011

Jaket Hitam Yang Takut Menjadi Sarang Laba-laba

Udara dingin yang menggelayut kota Jakarta di pagi hari perlahan dan pasti mulai menggelayut ke dalam relung Sang Jaket Hitam. Saat dikenakan, Sang Jaket Hitam sejatinya adalah kawan setia yang menemani tuannya pergi kemanapun, setiap hari bahkan tiada waktu sedikitpun tuannya membasuh tubuhnya yang lusuh, tidak mengapa. Mesti sudah berumur sepuh, Sang Jaket Hitam adalah obat dari rasa dingin hantaman angin pagi, siang dan malam ketika mengendarai kuda besi. Bahkan, menjadi pembalut tubuh yang terus melekat tanpa sekat perekat apapun.

Kini, dimusim penghujan, Sang Jaket Hitam kembali diuji kesetiannya. Deburan angin kencang dan ganasnya udara dingin bisa datang setiap saat. Sungguh, sebuah ujian terhadap sejauhmana ketahanan dan kelaikannya saat dikenakan.

Sang Jaket Hitam sering gundah dan gelisah saat tahu dirinya tidak ditakdirkan menyatu dari rekan sesamanya. Entah dari bentuk, model hingga bahan, Jaket Hitam harus berbeda dari jenisnya. Kepasrahan seakan dipaksakan dan tidak ada kuasa tuk menolak saat hendak diperjualbelikan, ditukar tambah bahkan menjadi loak dan ditemukan diemperan jalan.

Sang Jaket hitam seperti ditakdirkan menjadi kasta. Ada yang mahal dan ada yang murah. Dari yang trendy sampai sederhana. Seakan hidup dan memiliki indra, Sang Jaket Hitam bisa berwatak seperti tuannya. Jika tuannya resik, maka ia menjadi anti sisik. Dan jika tuannya masa bodoh, maka menjadi  habis manis sepah dibuang.

Di musim yang tidak menentu saat ini, Sang Jaket hitam kian terdesak oleh tumbuhnya beberapa seluet pinggang dan pundak tuannya. Meskipun begitu, dirinya tetap bertahan dan tak mengeluh. Saat dikenakan, Sang Jaket Hitam tampak anggun membalut tubuh tuannya. Dirinya berusaha menyesuaikan lekuk tubuh dan membuat tuannya nyaman. Kini, dengan membesarnya tubuh tuannya, eksistensi jaket hitam menjadi terancam. Bisa terbuang bahkan menjadi gombal (bhs jawa : kain lap/pel) menjadi nyata dihadapan mata. Desakan mengganti peran tampak tidak bisa dielakkan. Kusut, kisut, soek, bau dan lepas benang, tidak membuatnya menjadi tidak percaya diri. Si Jaket Hitam terus menemani bahkan berani sampai mati.

Tapi nasib berkata lain, si jaket hitam nasibnya masih baik. Tuannya masih tertarik memanfaatkan jasanya. Meskipun kulitnya tercabik-cabik udara kotor Jakarta, Jaket Hitam masih menarik perhatian. Luka-luka disekujur tubuhnya tidak menjadikan tuannya berpaling ke lain hati. Si Jaket Hitam kini boleh berbangga dan berbesar hati, namun demikian jaket hitam tidak tinggi hati, bahkan merendah dan tidak meminta untuk diperbaiki. Seandainya saja si Jaket Hitam bisa bicara dia akan berkata, “Apapun adanya saya, saya berharap tuan saya masih memakai saya. Saya takut menjadi sarang laba-laba.” harapnya.


Selasa, 01 Februari 2011

Ngetem Bikin Pusing Kepala


Menyusuri jalan Ciputat raya hingga Lebak Bulus Jakarta Selatan saat pagi hari di jam sibuk kerja, tak bisa dipungkiri membuat kepala sebagian besar pengendara kendaraan bermotor baik R2 maupun R4 pening bukan kepalang. Tengok saja, jika anda berjalan dimulai dari Pasar Ciputat, anda akan menghadapi kemacetan yang rutin terjadi setiap hari. Saat menuruni fly over Ciputatpun, kita akan dihadapkan pada perilaku angkutan umum yang hendak mencari penumpang.


Angkutan masal ini, seringkali membuat ulah. Ada penumpang jalan, tidak ada pasti ngetem. Buntutnya, kendaraan lainnya menghindar ke sisi lain badan angkutan tersebut. Nah, ini dia yang menyebabkan kendaraan mengantri keluar menghindar akibat ulah ngetemnya. Ujung-ujungnya, antrian mengular panjang hingga beberapa ratus meter ke belakang.


Tidak sampai di situ, setelah berhasil melewati sisi body angkutan masal yang ngetem, pengendara kembali dihadang oleh pertigaan di depan Polsek Ciputat. Pertigaan yang cukup padat dengan pertemuan arah arus kendaraan dari Lebak Bulus, Ciputat dan Pondok Cabe (Legoso) menyebabkan penumpukkan kendaraan yang bisa mengkernyitkan dahi. Pertigaan yang akrab disebut dengan BBS ini tidak mempunyai lampu pengatur lalulintas. Untuk melancarkan, biasanya petugas Polsek Ciputat yang kantornya tidak jauh dari pertigaan, turun tangan mengurai kemacetan.


Berbicara ngetem, momok tersebut kini menjadi masalah sosial di seluruh Indonesia. Semenjak pemerintah setempat mempermudah pengurusan izin trayek, angkutan umum menjadi tumbuh dan berkembang bak cendawan di musim penghujan. Maksud hati baik, dengan bertambahnya angkutan umum diharapkan bisa memecah kekurangan armada angkutan. Sayangnya, jumlah armada yang ditandai dengan keluaran model baru tidak disesuaikan dengan pelayanan yang profesional.


Kenyaman hanya sebatas beberapa bulan saja. Setelah itu, masyarakat disuguhi dengan tempelan berbagai stiker, coretan hingga oknum pengamen, bahkan angkutan umum kerap menjadi modus kejahatan. Citra negatif kadung tertanam dibenak masyarakat, bisa dipastikan menjadi bumerang dan ditinggalkan masyarakat. Kenyamanan yang diharapkan, hilang ditelan beberapa bulan saja.


Selain itu, perilaku pengemudi yang seenaknya menurunkan dan menaikkan penumpang di tengah jalan, menetapkan harga diluar ketentuan, dan berpura-pura lupa kembalian uang penumpang dengan alasan ketiadaan uang receh. Bahkan kerap kali pengemudi dengan nada tinggi menghardik penumpang jika mengecewakannya. Dengan kondisi demikian, masyarakat semakin menabukan angkutan umum untuk digunakan.


Itu baru satu persoalan dengan penumpang. Belum lagi dengan pengendara lainnya. Senggolan body makian dan umpatan menjadi menu sehari-hari pengemudi. Ribut di jalan, adu tinju di muka umum berbaur menjadi cerita yang tidak habis diceritakan. Bayangkan, jika penumpangnya membawa anak kecil, apa yang terjadi ? Kita setuju, dan sangat khawatir jika kalimat itu diikuti oleh si kecil di kemudian hari. Lantas siapa yang bertanggung jawab.



stify;">
Lagi-lagi telunjuk mengarah pada pengemudi yang ngetem.

Cerita Tentang Kursi 1/2 Jam


Pernah suatu waktu penulis duduk di sepotong kursi yang sebelahnya telah terisi. Kursi yang satu ini bukanlah kursi seperti kursi anggota DPR, bukan pula kursi kantor yang empuk atau kursi mobil juga kursi motor. Kursi ini adalah kursi yang didapatkan dengan susah payah dan berkeringat. Bayangkan, untuk mendapatkan setengah kursi kosong saja butuh waktu hingga 1/2 jam. Itupun didapat setelah berdiri dan berdesak-desakan. Benar, kursi yang dimaksud penulis adalah kursi bus angkutan umum.



Cerita tentang kursi bus ini mungkin bukan hanya pengalaman pribadi penulis saja. Banyak teman, saudara mungkin anda pernah mengalami pengalaman yang menyedihkan tersebut. Lihat saja, dengan ukuran kurang lebih panjang 80 cm dan lebar hanya 40 cm, kursi tersebut disediakan dengan kondisi yang sudah usang. Bahannya yang tidak nyaman seringkali membuat (maaf; bokong) menjadi panas dan tulang ekor terasa nyeri ditambah aliran oksigen yang kurang lancar dan wewangian yang menebar aroma rupa-rupa, membuat penumpang yang duduk hanya bisa pasrah.



Itulah sekilas cerita nyata dunia penumpang di dalam angkutan masal. Memang, ada beberapa perusahaan otobus yang giat berbenah dengan pengadaan bus baru, tapi diakui masih ada beberapa yang menggunakan bus sudah uzur. Ini bisa dibuktikan jika anda berkeliling Jabodetabek, tidak sedikit yang seperti itu. Pemandangan berjubel-jubelan, pelecehan seksual dan tindak kejahatan lainnya menambah problematika kehidupan di jalan.



Jika ditarik benang merahnya, memang masalah kenyamanan yang diinginkan penumpang bus saat ini masih jauh dari jangkauan yang diinginkan. Keinginan seperti ketepatan waktu, aliran udara yang sejuk, tidak berdesak-desakan (penggunaan bus sesuai dengan jumlah kursi), sepertinya belum bisa dicapai sesegera mungkin. Bus yang keluaran baru dan ber AC saja penuh tumplek oleh penumpang. Ini menandakan belum ada system yang bisa menjangkau kenyamanan yang dimaksud.



Dalam konteks ketersediaan kenyaman di dalam bus, seharusnya perkara ini bukan hanya monopoli pengusaha oto bus saja tetapi pemerintah juga harus berupaya membantu dengan membuat system yang lebih nyaman dan manusiawi. Penulis rasa, sangat tidak mungkin, jika kewajiban ini dibebankan kepada pengusaha bus saja, apalagi saat ini pemerintah sedang galak-galaknya mengkampanyekan model MRT (Mass Rapid Transit). Harus ada keinginan kuat serta political will pemerintah, khususnya pemerintah daerah.



Penulis sangat memberikan apresiasi terhadap program busway yang dicanangkan 5 tahun yang lalu, termasuk penyediaan layanan transportasi masal (MRT) yang tahun 2011 nanti dimulai pekerjaannya. Tentu dengan maksud mengurai masalah kemacetan, khususnya di wilayah Jabodetabek hingga pelayanan prima dengan memberikan kenyamanan. Tidak itu saja, pengenaan jalan berbayar atau yang dikenal dengan ERP (Electronic Road Price) yang mengadopsi program di Singapura diupayakan bisa dilaksanakan tahun 2011, penulis anggap merupakan suatu terobosan yang harus segera dilakukan.



Tapi perlu diingat, pemerintah juga harus memikirkan bagaimana menambah ketersediaan armada bus yang dibutuhkan masyarakat. Jangan sampai penumpang berdesak-desakan, dapat duduk setelah melewati ½ jam waktu perjalanan, sudah begitu kursinya tidak layak dan tindak kriminal bebas berkeliaran. Kenyamanan dan keamanan merupakan hak masyarakat sebagai konsumen yang dilindungi oleh Undang-undang. Perlu dibenahi sekarang, jika tidak jangan salahkan masyarakat terus membeli mobil dan motor baru.

Pict : rosyagus.multiply.com http://www.google.co.id/imglanding?q=kursi+bus+penuh&um=1&hl=id&client=firefox-a&rls=org.mozilla:en-US:official&tbs=isch:1&tbnid=bhA5tPg-a5bFDM:&imgrefurl=http://rosyagus.multiply.com/journal/item/261/Tingkah_Polah_di_Dalam_Bus_&imgurl=http://images.rosyagus.multiply.com/image/bZoCqkMomaai4kBj4ag23g/photos/1M/300x300/375/penumpang-busway.jpg%253Fet%253DVUBRgb8vFpTD5XPNuVvW4g%2526nmid%253D0&ei=B4VHTcyjAY2lcYO17MED&zoom=1&w=300&h=225&iact=hc&oei=5YRHTfeQIc3irAeXpNSYBA&esq=7&page=3&tbnh=125&tbnw=192&start=36&ndsp=19&ved=1t:429,r:0,s:36&biw=1280&bih=589