Mengail Suara Masyarakat
Jelang
pemilihan Gubernur DKI Putaran II, invasi dan penetrasi pencitraan calon
Gubernur semakin sering kita lihat di banyak media. Beberapa media bahkan oleh sebagian
masyarakat dianggap sudah berlebihan. Kenyataan ini memang tidak bisa
dipungkiri karena media merupakan alat yang cukup ampuh untuk menjaring pemilih
sebanyak mungkin.
Di beberapa
kasus Pilkada lainnya, ada peserta bahkan tim sukses memanfaatkan jasa survey untuk melakukan hitungan
cepat. Prestasi yang dilakukan beberapa lembaga survey atas beberapa PILKADA
maupun PEMILU yang lalu, dijadikan bahan rujukan membuat survey yang diduga bisa mengarahkan pemilih mencoblos calon tertentu. Meskipun hal itu sering dibantah, namun fenomena menjamurnya Survey terhadap tingkat keterilihan calon Gubernur, bisa ditafsirkan beragam oleh masyarakat berpendidikan.
Tidak itu saja, disinyalir masing-masing tim sukses bekerja keras dengan jejaring serta kemampuan yang profesional. Tak lain dan tak bukan, lagi-lagi bagaimana membuat skenario agar suara pemilih bisa diarahkan untuk memilih calon tertentu. Fenomena ini tidak begitu saja terjadi. Dengan memanfaatkan multi media seperti Televisi, Radio dan Internet, kini bisa diketahui kemana arah yang diinginkan masyarakat sebenarnya.
Tidak itu saja, disinyalir masing-masing tim sukses bekerja keras dengan jejaring serta kemampuan yang profesional. Tak lain dan tak bukan, lagi-lagi bagaimana membuat skenario agar suara pemilih bisa diarahkan untuk memilih calon tertentu. Fenomena ini tidak begitu saja terjadi. Dengan memanfaatkan multi media seperti Televisi, Radio dan Internet, kini bisa diketahui kemana arah yang diinginkan masyarakat sebenarnya.
Menurut
data dari beberapa media perkiraan jumlah pengguna internet di Indonesia pada
tahun 2012 sudah mencapai angka 80 juta pengguna.
Padahal menurut beberapa media online pada tahun 2011, jumlah pengguna internet
di Indonesia mencapai 45 juta pengguna,
dan itu artinya ada lonjakan 35 juta pengguna
untuk satu tahun ini. Dengan angka yang sedemikian besar, tak pelak membuat
siapapun yang ingin menduduki kursi Gubernur akan berusaha mati-matian
mendapatkan suara masyarakat.
Itu baru melalui angka pengguna internet,
belum lagi dengan angka pemirsa televisi yang jauh lebih besar. Menurut AC
Nielsen sebuah lembaga pemeringkat terkemuka, pertumbuhan jumlah penonton
televisi selalu mengalami penaikan, palagi terkait dengan program yang
ditayangkan mendapat tempat di masyarakat.
Sebagai contoh, seperti data yang
diungkapkan oleh Nielsen pada tahun 2011 lalu. Untuk survey pada saat bulan
puasa, jumlah pemirsa televisi bertambah hingga 16%, potensi penonton TV bertambah
8% dari rata-rata 13,4 juta orang menjadi rata-rata 14,5 juta orang (usia 5
tahun ke atas di 10 kota besar di Indonesia).
Kenaikan jumlah penonton TV tertinggi
terutama terjadi pada dini hari (02.00-05.00), yaitu lebih dari enam kali lipat
dari rata-rata 2 juta orang pada bulan lalu menjadi rata-rata 12,2 juta orang.
Di dini hari, stasiunstasiun TV nasional terutama menambah jam tayang untuk
program hiburan dari total 67 jam menjadi 241 jam dan program religi dari 108
jam menjadi 173 jam. Sementara porsi jam menonton pemirsa terutama bertambah
untuk program hiburan, terutama komedi dan variety show, yaitu hingga 11 kali
lipat dari rata-rata kurang dari 30 menit menjadi hampir 4,5 jam (total selama
bulan Ramadhan). Mereka juga menambah jam menonton untuk sinetron sebanyak 1
jam menjadi hampir 2 jam dan 25 menit untuk program religi menjadi hampir 1,5
jam. Namun program yang paling banyak ditonton di dini hari masih didominasi
oleh program olah raga. Dengan potensi sebesar itu, pantas saja jika calon
pasangan Gubernur berlomba-lomba menempatkan jam tayang iklan sebagai media kampenye
yang sangat efektif.
Sebagai gambaran, perkiraan jumlah pemilih
di DKI Jakarta untuk putaran II berjumlah sekitar 6.996.951 pemilih. Artinya, dengan
menggenggam 0,5 % dari pengguna internet dan 50 % dari pemirsa televisi, bisa
dipastikan calon tertentu yang menguasai pemanfaatan media menjadi pemenang
PILKADA. Belum lagi dengan suara yang mengambang (golput) yang ditaksir
mencapai 36 %. Asal bisa meyakinkan program yang diusung dan gencar melakukan
sosialisasi, angka golput inipun bisa diraup menjadi modal menuju kursi Gubernur.
Dan ingat, dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Jakarta adalah
barometer model pemilihan umum di Indonesia.
Tulisan ini sebenarnya hanyalah gambaran
bagaimana penggunaan media seperti internet dan televisi sebenarnya sangat
ampuh untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat. Siapakah yang menjadi pemenang
dalam pentas PILKADA DKI putaran II kali ini. Semuanya kembali kepada
masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam pesta demokrasi.
Pertanyaannya sekarang adalah, seberapa
jauh kemampuan calon gubernur dan wakilnya bisa melakukan penetrasi melalui
media internet dan televisi. Apakah sumber daya yang dimiliki mampu
menjangkaunya dan bagaimana dengan bantuan dana dari pihak ke tiga ataukah
harus mengeluarkan uang dari kocek sendiri. Bagaimana pula dengan ketaatan kontestan
terhadap peraturan perundang-undangan tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Mari kitunggu jawabannya pada tanggal 20
September 2012 yang akan datang.