Mahkamah
Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari
pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Mahkamah Agung RI |
Undang-undang Dasar 1945 dalam beberapa pasalnya
memberikan kewajiban dan kewenangannya kepada Mahkamah Agung, diantaranya adalah:
· Berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh Undang-Undang
Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung juga mempunyai
kewenangan lain yang diberikan undang-undang, yaitu Mahkamah Agung mendapat porsi
untuk melakukan fungsi pengaturan (regelende
functie) guna memperlancar penyelenggaraan peradilan. Menurut Prof. Soebekti,
Mahkamah Agung memiliki sekelumit kekuasaan legislatif yang dianggap merupakan
pelimpahan kekuasaan dari pembuat undang-undang.
Sedangkan Hans Kelsen filsuf dan ahli hukum terkemuka dari
Austria beranggapan
bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan pembentukan atau pembuatan
undang-undang dari kekuasaan legislatif ke Mahkamah Agung sebagai lembaga
yudikatif. Dengan kata lain lembaga peradilan (Mahkamah Agung) menjalankan fungsi
legislatif meskipun substansi yang dimaksud Kelsen, ketika Mahkamah Agung
membatalkan suatu undang-undang dalam putusannya dianggap tidak adil dan
konstitusional.
Menilik
kemajuan teknologi di era globalisasi saat ini, perkembangan hukum, khususnya
di Indonesia terus mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan yang ada.
Bahkan muncul beberapa kasus yang perlu diselesaikan melalui terobosan hukum.
Dan, hasilnya ternyata positif bagi kelancaran penegakkan hukum yang berasaskan
kepastian hukum, asas manfaat, asas cepat yang tentu berkeadilan.
Memang
diakui, dalam ranah hukum pidana,
keberadaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No. 8 Tahun 1981 atau yang
dikenal dengan KUHAP menpunyai peran yang sangat penting sebagai pedoman (guidence) ketika beracara di pengadilan.
Sayangnya, KUHAP di era globalisasi yang demikian cepat sepertinya
terengah-engah mengikuti dinamika perkembangan hukum di tanah air. Kevakuman
hukum seringkali membuat pihak pihak yang berperkara di pengadilan merasa digantung
nasibnya. Dampaknya sudah tentu tidak hanya kepada pihak-pihak yang berperkara
tetapi juga kepada lembaga yang dianggap tidak menunjukkan keseriusan dan
kinerja serta pelayanan kepada masyarakat.
Atas
dasar kondisi ini, Mahkamah Agung sepertinya telah mengambil langkah dan
berperan aktif untuk menyelesaikan perkara-perkara yang tengah dilanda
kekosongan hukum tersebut. Beberapa langkah tersebut, seperti menjalankan
fungsi pengaturan yang dimilikinya (regelende
functie) yaitu mengisi kekurangan, melengkapi kekosongan atau bahkan
mengesampingkan ketentuan hukum untuk memenuhi rasa keadilan dan kemaslahatan
masyarakat, bangsa dan negara.
Salah
satunya adalah, Mahkamah Agung telah merespons kevakuman di bidang hukum acara
perdata dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008,
yang bertujuan untuk menjawab tuntutan kebutuhan hukum tentang Tata Cara atau
Prosedur Mediasi di Pengadilan. Selain itu, Mahkamah Agung juga menerbitkan
PERMA no. 2 Tahun 2002 tentang Class Action atau Gugatan Perwakilan Kelompok.
Dengan dua contoh tersebut bisa dipastikan, langkah Mahkamah Agung ini
merupakan pengejawantahan dari proses penyelenggaraan peradilan agar bisa
berjalan lancar dan berlangsung secara berkeadilan.
Penerbitan
PERMA oleh Mahkamah Agung, tidak serta merta lahir begitu saja, tetapi
kelahiran dari PERMA tersebut didasari pada pasal 5 ayat (2) Undang-undang No.
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat,
dan biaya ringan.
Makna
dari pasal 5 ayat 2 tersebut jika ditarik garis besarnya menurut kacamata hukum
merupakan sebuah kewenangan lain yang diberikan undang-undang kepada Mahkamah Agung.
Pengadilan tidak hanya mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi juga mengadili
menurut hukum. Selain itu, di dalam pasal 28 ayat (1) disebutkan pula bahwa hakim
(lembaga peradilan) wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dengan kata lain, demi kepastian
hukum, segala sesuatu yang terjadi hendaknya didasarkan pada
kenyataan-kenyaatan (faktual) di
masyarakat, mengikuti dinamika yang ada (change).
Dengan
demikian terobosan yang dilakukan Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan atau
kevakuman hukum di dalam lembaga peradilan, sudah sesuai dengan aturan-aturan
serta norma-norma yang melingkupi kehidupan masyarakat. Sikap dan perilaku
Mahkamah Agung menunjukkan bahwa Mahkamah Agung semakin dewasa menyikapi
perkembangan hukum di setiap aspek kehidupan. Mahkamah Agung memainkan peran
yang dibutuhkan publik sehingga menempatkannya sebagai salah satu lembaga atau
benteng keadilan yang terakhir sekaligus peka terhadap penyelesaian
perkara-perkara hukum yang banyak menumpuk di lembaga kekuasaan kehakiman ini.