Jumat, 13 Januari 2012

TERBITKAN PERMA, MAHKAMAH AGUNG DIANGGAP PEKA

Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. 
Mahkamah Agung RI

Undang-undang Dasar 1945 dalam beberapa pasalnya memberikan kewajiban dan kewenangannya kepada Mahkamah Agung, diantaranya adalah:
·   Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
·       Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
·       Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi

Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan lain yang diberikan undang-undang, yaitu Mahkamah Agung mendapat porsi untuk melakukan fungsi pengaturan (regelende functie) guna memperlancar penyelenggaraan peradilan. Menurut Prof. Soebekti, Mahkamah Agung memiliki sekelumit kekuasaan legislatif yang dianggap merupakan pelimpahan kekuasaan dari pembuat undang-undang. 

Sedangkan Hans Kelsen filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria beranggapan bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan pembentukan atau pembuatan undang-undang dari kekuasaan legislatif ke Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif. Dengan kata lain lembaga peradilan (Mahkamah Agung) menjalankan fungsi legislatif meskipun substansi yang dimaksud Kelsen, ketika Mahkamah Agung membatalkan suatu undang-undang dalam putusannya dianggap tidak adil dan konstitusional.

Menilik kemajuan teknologi di era globalisasi saat ini, perkembangan hukum, khususnya di Indonesia terus mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan yang ada. Bahkan muncul beberapa kasus yang perlu diselesaikan melalui terobosan hukum. Dan, hasilnya ternyata positif bagi kelancaran penegakkan hukum yang berasaskan kepastian hukum, asas manfaat, asas cepat yang tentu berkeadilan.

Memang diakui, dalam  ranah hukum pidana, keberadaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No. 8 Tahun 1981 atau yang dikenal dengan KUHAP menpunyai peran yang sangat penting sebagai pedoman (guidence) ketika beracara di pengadilan. Sayangnya, KUHAP di era globalisasi yang demikian cepat sepertinya terengah-engah mengikuti dinamika perkembangan hukum di tanah air. Kevakuman hukum seringkali membuat pihak pihak yang berperkara di pengadilan merasa digantung nasibnya. Dampaknya sudah tentu tidak hanya kepada pihak-pihak yang berperkara tetapi juga kepada lembaga yang dianggap tidak menunjukkan keseriusan dan kinerja serta pelayanan kepada masyarakat.

Atas dasar kondisi ini, Mahkamah Agung sepertinya telah mengambil langkah dan berperan aktif untuk menyelesaikan perkara-perkara yang tengah dilanda kekosongan hukum tersebut. Beberapa langkah tersebut, seperti menjalankan fungsi pengaturan yang dimilikinya (regelende functie) yaitu mengisi kekurangan, melengkapi kekosongan atau bahkan mengesampingkan ketentuan hukum untuk memenuhi rasa keadilan dan kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara.

Salah satunya adalah, Mahkamah Agung telah merespons kevakuman di bidang hukum acara perdata dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008, yang bertujuan untuk menjawab tuntutan kebutuhan hukum tentang Tata Cara atau Prosedur Mediasi di Pengadilan. Selain itu, Mahkamah Agung juga menerbitkan PERMA no. 2 Tahun 2002 tentang Class Action atau Gugatan Perwakilan Kelompok. Dengan dua contoh tersebut bisa dipastikan, langkah Mahkamah Agung ini merupakan pengejawantahan dari proses penyelenggaraan peradilan agar bisa berjalan lancar dan berlangsung secara berkeadilan.

Penerbitan PERMA oleh Mahkamah Agung, tidak serta merta lahir begitu saja, tetapi kelahiran dari PERMA tersebut didasari pada pasal 5 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Makna dari pasal 5 ayat 2 tersebut jika ditarik garis besarnya menurut kacamata hukum merupakan sebuah kewenangan lain yang diberikan undang-undang kepada Mahkamah Agung. Pengadilan tidak hanya mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi juga mengadili menurut hukum. Selain itu, di dalam pasal 28 ayat (1) disebutkan pula bahwa hakim (lembaga peradilan)  wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam  masyarakat, dengan kata lain, demi kepastian hukum, segala sesuatu yang terjadi hendaknya didasarkan pada kenyataan-kenyaatan (faktual) di masyarakat, mengikuti dinamika yang ada (change).

Dengan demikian terobosan yang dilakukan Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan atau kevakuman hukum di dalam lembaga peradilan, sudah sesuai dengan aturan-aturan serta norma-norma yang melingkupi kehidupan masyarakat. Sikap dan perilaku Mahkamah Agung menunjukkan bahwa Mahkamah Agung semakin dewasa menyikapi perkembangan hukum di setiap aspek kehidupan. Mahkamah Agung memainkan peran yang dibutuhkan publik sehingga menempatkannya sebagai salah satu lembaga atau benteng keadilan yang terakhir sekaligus peka terhadap penyelesaian perkara-perkara hukum yang banyak menumpuk di lembaga kekuasaan kehakiman ini.