Rabu, 14 September 2011

Seransum Makan Siang

Seransum makan siang menemani dirinya berangkat kerja. Panganan bikinan sang istri tersebut sedianya dihidangkan saat waktu jam makan siang tiba, bukan saat tiba di kantor kemudian disantap segera. Tidak, tidak seperti itu.

Sebut saja Doni. Seorang pria berkeluarga dengan anak satu, sehari-harinya bekerja di sebuah unit kerja pemerintah. Saban senin sampai jum’at, Doni selalu berangkat kerja bersama istrinya, pegawai di salah satu instansi swasta. Rutinitas kegiatan, biasanya dimulai sejak pagi pukul 06.00. Dengan bermodalkan motor tua, Doni bersama istrinya berangkat kerja menyusuri kepadatan lalulintas dan bernasib sama dengan pengendara lainnya. Selalu terjebak kemacetan dan selalu begitu berulang-ulang. Riak-riak keringat tanda kepanasan, disekatnya perlahan-lahan. Sepasang muda-mudi ditepi jalan, tak luput memandangnya dengan nanar. Melihat semangatnya yang tinggi, boleh dibilang semangat pantang menyerah bahkan lekat dalam ingatan seperti semangat ‘45 pejuang tempo dulu.

Demi menyiasati pengeluaran ongkos yang besar, Doni dan istrinya tiap hari berboncengan. Panas dan hujan, perubahan cuaca yang mendadak serta aneka rupa wewangian di jalan menjadi santapannya berulang-ulang. Benar memang, dengan berkendaraan berdua, banyak penghematan dilakukan. Selain itu, nyaman meski berdebu dan berpegal pinggang. Jauh dari tangan jahil yang menyesaki kendaraan umum. Boleh dibilang, anti pelecehan. Terhadap yang satu ini, Doni bisa bernafas lega ketimbang istrinya menumpang bus.

Doni bukanlah type pria yang banyak makan. Belakangan, setelah lebaran nafsu makannya kian meningkat tajam. Keinginan makan yang banyak, diakuinya tidak datang dari pembawaan. Teman-teman dikantornyalah yang menjadi perangsang nafsu makannya kian menjulang. Betapa tidak, menurutnya seisi ruangan penuh dengan makan. Akhirnya Donipun ketularan.

Saat tiba makan siang, ransum makanpun dibuka. Didahului dengan doa, Doni kemudian memandang ransumnya yang berisikan butiran nasi yang membumbung tinggi makin indah dengan hiasan bertahta ikan, sayuran, sambal kentang dan tempe.

Untuk tempe, Doni selalu tidak ketinggalan. Sekeping tempe pasti dicarinya hingga ke pojok warteg, jika panganan tersebut tidak tersedia di meja makan. Kecanduannya terhadap tempe tidak bisa dihilangkan. Seperti beberapa waktu yang lalu, saat harga kedelai naik, Doni termasuk orang yang meradang. Maklum, kedelai merupakan bahan baku salah satu makanan yang bernama tempe. Tempe selesai, urusan perut selesai, begitu mungkin di dalam benak pikirannya.

Ransum yang dibawanya kini siap untuk disantap. Layaknya orang yang selesai olahraga, makan siang cepat selesai disantap Doni. Tanpa sedikitpun tersisa. Ingatannya melayang kepada nasihat bundanya agar membiasakan menghabiskan makan. “Jangan sampai tersisa. Kasian !,” mengenang pesan bundanya.

Selesai makan, segelas air diburunya dengan dengan segera. “Banyak-banyak minum air putih,” ujarnya. Selidik punya selidik, kebiasaan Doni membawa air putih banyak, ternyata terkait dengan kesehatan. Katanya, untuk melarutkan makanan agar mudah cerna dan menetralkan zat yang terkandung di dalam makanan.

Tidak ada komentar: