Kamis, 22 Maret 2012

Persandingan Konsep Desa Sadar Hukum dengan Indeks Pembangunan Manusia


Dalam satu kesempatan peresmian Desa Sadar Hukum (DSH) di Propinsi Banten beberapa waktu yang lalu, Menkumham Amir Syamsudin mengatakan terbentuknya desa/kelurahan sadar hukum merupakan salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan pembinaan hukum suatu daerah juga dapat menjadi motivator desa-desa lain untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakatnya.
 
Menilik pernyataan Menkumham, bisa dikatakan bahwa konsep DSH mampu mendukung iklim keamanan dan ketertiban suatu daerah yang pada akhirnya mendukung gerak pembangunan yang gencar dilakukan pemerintah, termasuk pula pembangunan manusia Indonesia yang cerdas dan bermoral. Hal ini tentu tidak bisa dipungkiri bahwa, suatu daerah yang tingkat kesadaran hukumnya tinggi, ternyata sangat mendukung iklim investasi di Indonesia. Terang saja, dengan kondisi demikian, Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Pusat Penyuluhan Hukum melalui jejaringnya di Kantor Wilayah Hukum dan HAM terus mengupayakan pertumbuhan DSH ke depan terus dipacu seiring dengan tuntutan perkembangan zaman.

Sementara itu, menurut data hasil presentasi tentang Konsep Note Pemilihan Provinsi untuk Studi DSH dan Law Center yang diterima BPHNTV mengungkapkan bahwa terbentuknya DSH sejak tahun 1993 hingga 2011 ternyata mendukung arah pembangunan Manusia Indonesia. Seperti yang digambarkan Peringkat Provinsi di Indonesia Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia 2010 (sumber BPS), menyebutkan bahwa ada 11 propinsi yang dikategorikan ke dalam kelompok pembangunan yang berkategori tinggi (high), 10 propinsi berkategori sedang (middle) dan 12 propinsi berkategori rendah (low).


Sedangkan pada data yang sama dengan mengambil sample tahun 1999 - 2009, peringkat propinsi yang pertumbuhan DSHnya tinggi berjumlah 2 propinsi yaitu Bali sebesar 14,35 % dan Sumatera Barat sebesar 8,16 %, sedangkan yang masuk dalam kategori sedang berjumlah 6 propinsi yaitu Yogyakarta 3,83 %, NTB 3,27 %, Babel 3,33 %, Jambi 2,71 %, Sulteng 2,64 %, dan Jabar 2,49 % dan yang masuk dalam kategori rendah berjumlah 3 propinsi yaitu, 1,24 %, Kalteng 1,19 % dan Banten 1,18%.




Tabel di atas merupakan hasil perhitungan secara acak terhadap jumlah kumulatif pertumbuhan DSH sejak tahun 1993 hingga 2009, seperti yang tergambar dalam tabel III, di bawah ini :


 
Bila data tersebut disandingkan, peringkat propinsi di Indonsia berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia tahun 2010 dengan pertumbuhan DSH di tahun yang sama maka bisa disimpulkan bahwa pertumbuhan DSH disetiap propinsi berjalan searah dengan pembangunan manusia Indonesia di setiap propinsi. Atau dengan kata lain, berani disimpulkan bahwa konsep DSH ternyata mampu mendukung penaikan jumlah indeks pembangunan manusia Indonesia di setiap propinsi.

Seperti yang ditampilkan dalam tabel berikut :



Bila melihat persandingan hasil presentase DSH dan Peringkat Indeks Pembangunan Manusia tahun 2010, jika dikombinasikan akan menghasilkan data sebagai berikut :



Bila melihat tabel kombinasi jelas terlihat bahwa ada beberapa propinsi Sumatera Barat menempati kategori DSHnya tinggi dan IPMnya tinggi.Kemudian propinsi yang masuk kategori sedang baik itu DSH maupun IPM adalah Jawa Barat, Jambi dan Bangka Belitung. Kemudian propinsi yang masuk kategori rendah abik DSH maupun IDM yaitu Banten dan Papua.

Sementara itu Kalimantan Tengah masuk dalam kategori IDM nya tinggi tetapi DSH-nya rendah. Yogyakarta IDM-nya tinggi, DSH-nya sedang. Bali IDM-nya sedang tetapi DSH-nya justru tinggi. Sulawesi Tengah dan NTB IDM-nya rendah.

Hasil persandingan dan kombinasi yang dipresentasikan oleh Tim Evaluasi DSH menyimpulkan bahwa tidak semua IDM tinggi DSH-nya juga tinggi. Begitupula IDM-nya rendah maka DSH-nya juga rendah. Data tersebut mengungkap fakta bahwa IDM dan DSH mempunyai ukuran tersendiri dalam penilaiannya. Tapi yang menarik dari data tersebut adalah bila dirata-rata baik IPM maupun DSH ternyata mendukung kemajuan suatu propinsi tentang arti pembangunan kesadaran hukum dan pembangunan lainnya dalam upaya mewujudkan cita-cita negara yang adil dan makmur. Adanya kesadaran hukum diyakini meneguhkan kepastian hukum sebagai modal pembangunan yang panjang.

Tidak heran bila Menkumham mengatakan keberadaan Desa/Kelurahan Sadar Hukum tersebut, dapat menjadi motivator warga desa-desa lain untuk meningkatkan kesadaran hukum. Buah dari kerja keras masyarakat yang begitu peduli terhadap kesadaran hukum tentu membuat pemerintah meresmikannya menjadi Desa Sadar Hukum. 

Tetapi penetapan Desa Sadar Hukum tentu melalui penilaian berbagai kriteria seperti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) lunas 90 persen, tidak ada perkawinan di bawah umur, angka kriminalitas di desa tersebut rendah, termasuk rendahnya kasus narkoba. Kriteria lainnya adalah tingginya masyarakat terhadap kesadaran kebersihan dan kelestarian lingkungan, serta kriteria lainnya yang ditetapkan pemerintah setempat.***

Senin, 19 Maret 2012

Menilik Sekelumit Fakta Dibalik Determinannya Politik Terhadap Hukum



gambar oleh : timurmediatama.blogspot.com
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, demikian bunyi pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan kata lain, Indonesia sejatinya menganut paham hukum di atas paham lainnya. Semuanya harus tunduk dan berdasarkan pada hukum, aturan perundang-undangan dan aturan turunan lainnya. Tidak pandang bulu, siapa saja, semuanya sama dihadapan hukum. Bila melihat hal tersebut, jelaslah sudah bahwa hukum merupakan panglima di bumi nusantara.

Pada tataran ini, semua orang tidaklah ragu mengatakan bahwa hukum dianggap mampu membawa suatu perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan tertib. Hukum maupun aturan peraturan perundang-undangan, sangatlah diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia. Tanpa hukum, tidak bisa dibayangkan kehidupan sosial masyarakat seperti apa. Mungkin bisa dikatakan hukum rimba yang berlaku, artinya mana yang kuat dialah yang menentukan.

Seperti halnya diera globalisasi saat ini. Keberadaan hukum berubah seiring dengan perkembangan perilaku dan modernisasi jaman. Celakanya, hukum saat ini tidak lebih dari sebuah alat yang dibutuhkan. Hukum hanya menjadi pelengkap kehidupan manusia, bukan lagi sebagai kebutuhan pokok. Hukum menjadi semacam alat penghukum bagi yang lemah dan tidak berdaya jika berhadapan dengan yang kuat.

Meminjam istilah orang kecil, hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Begitulah kira-kira istilah yang pas yang menunjukkan kondisi sengkarut marut dalam kehidupan sosial masyarakat saat ini. Sanksi-sanksi yang tertuang dalam aturan, ternyata banyak yang tidak adil. Hanya mencuri sebiji kakao, seorang nenek bisa dituntut dan dipidana. Sedangkan orang yang korupsi miliaran hingga triliunan rupiah, hanya terjamah dengan hukum yang singkat. Cukup dengan 5 tahun atau tujuh tahun bahkan maksimal hanya 12 tahun. Tidak sebanding dengan jumlah uang yang dikuras dari kantong negara, hukum seakan lemah dan tidak berdaya.

Belum lagi kasus peredaran narkoba yang merusak generasi bangsa. Pengedar dan penggunanya hanya mendapatkan ganjaran yang sangat kecil, kontras dengan perbuatannya yang bisa merusak generasi muda. Tengok saja soal putusan pidana yang dijatuhkan oleh hakim terkadang menyakiti perasaan masyarakat. Seorang pengedar bisa dijatuhi hukuman hanya beberapa tahun, itupun dilalui dengan bersusah payah mencari barang bukti, belum lagi main mata oknum penegak hukum dengan terpidana yang memiliki modal kuat. Sungguh, hukum makin tidak bertaji menghadapi kejahatan yang mengancam eksistensi bangsa dan negara Indonesia.

Satu contoh kecil saja, kasus besar narkoba yang melibatkan pemain profesional dan sudah diputus oleh hukum dengan penjatuhan hukuman mati, sampai saat ini belum ada tindakan eksekusi oleh kejaksaan. Disinyalir, penjahat narkoba yang sudah diputus bersalah dan harus dieksekusi mencapai ratusan orang. Dan, sampai saat ini, mereka masih menghirup udara bebas, hidup seperti biasa layaknya masyarakat biasa. Tentu hal ini membawa dampak lain yang bisa mempengaruhi psikologis sosial masyarakat.

Pertanyaan lain yang muncul adalah, kenapa tidak ada tindak lanjut atas perintah hukum tersebut. Nah, di sini lagi-lagi, hukum terlihat seperti mandul dan tidak berdaya. Belum lagi kasus yang lain, seperti rekayasa kasus hanya untuk menutupi kasus yang besar atau menghilangkan jejak suatu kasus yang dianggap mengancam kepentingan masyarakat dan negara. Meskipun sulit untuk dibuktikan, tapi beberapa orang mampu membaca setiap peristiwa yang berlangsung di Republik ini dengan teliti dan cermat, walau itu diluar nalar dan akal sehat.

Dengan berbagai rentetan yang terjadi di Republik ini, hukum sepertinya tidak lagi menjadi panglima. Dan, yang kini menjadi panglima kelihatannya adalah politik. Dari bahasanya saja, orang yang mendengar langsung bergidik. Politik bagi sebagian besar masyarakat merupakan kekuatan yang sangat menakutkan. Dengan menguasai peta perpolitikkan, apapun bisa dilakukan meskipun itu menyakitkan.

Pernah mendengar istilah “Politik itu kejam”. Yah, isitilah itu rupanya masih terekam kuat ditengah deru kehidupan masyarakat berbangsa dan negara. Melalui politik juga, orang bisa meraih kekuasaan. Politik seperti menjadi senjata maha hebat bagi orang yang terjerat kasus. Politik juga mampu melahirkan kompromi-kompromi yang bisa mengangkangi hukum. Politik adalah tempat fitnah yang menyebar luas. Dia bisa menjatuhkan dan ia juga bisa mengangkat orang ke dalam kedudukan yang tertinggi. Di sana tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanya kawan sekepentingan. Lain itu, lengah sedikit bisa-bisa menjerumuskan ke dalam lembah yang sangat hina.

Dalam bahasa intelektual politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Kemudian politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Dan, politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat serta segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Menilik perkembangan politik dalam kehidupan saat ini, sudah sangat menjemukan bagi sebagian masyarakat. Bagi masyarakat, politik merupakan salah satu penghalang kemajuan kehidupan bernegara khususnya sosial dan budaya. Malah kadang-kadang, politik berani menerjunkan diri ke persoalan agama, suku atau ras. Munculnya berbagai kasus dibeberapa belahan bumi nusantara, seperti menunjukkan politiklah yang mampu membuat dan menghilangkan berbagai kasus bahkan mampu melesat pergi seperti angin.

Politik sendiri lahir dari satu kepentingan yang terorganisir. Dilakukan demi menggapai tujuan dan cita-cita yang diinginkan. Malah sekarang politik menjadi alat yang dianggap pas untuk menjatuhkan lawan-lawan yang berseberangan pandangan, sekalipun itu politik juga mampu mengakrabkan dan merekatkan dari yang awalnya lawan menjadi kawan asalkan sama kepentingan.

Satu hal yang menarik dari politik adalah lahirnya kompromi, tawar menawar kepentingan yang sama baik itu di dalam legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Kompromi lahir biasanya didahului dengan beda kepentingan yang signifikan. Oleh karena masing-masing mempunyai kekuatan yang seimbang, lagi-lagi demi eksistensi Republik, setiap kasus yang muncul dan menjadi isu di masyarakat mampu diredam dengan lobi-lobi yang hebat. Dan, sepanjang itu baik bagi kelangsungan republik, mau tidak mau, suka tidak suka harus disepakati menjadi putusan bersama meski itu dianggap mampu mengangkangi hukum.
Politik seperti menjadi determinan daripada hukum. Politik dianggap mampu mengatur hukum, membuat hukum dan kalau perlu menghapuskan aturan yang dianggapnya menghambat tujuan. Lagi-lagi dan lagi-lagi, dalam hal ini, masyarakat kecil menjadi korban dari politik yang tidak sehat.

Sesungguhnya, bagi negara berkembang macam Indonesia, Politik memang sangatlah dibutuhkan, namun politik yang sehat dan politik yang mampu mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana pada pembukaan UUD 1945, alinea ke empat, asalkan konsisten dan ada rasa penghormatan dan penghargaan yang sama terhadap kesempatan dalam upaya mewujudkan negara yang adil dan makmur. Selain itu, politik juga harus bisa menciptakan hukum yang kuat, politik mampu mengawal hukum namun tidak mengangkangi hukum. Dan politik jangan pula menjadi determinan daripada hukum, meskipun untuk cita-cita tersebut, sebagian masyarakat belum meyakininya.