Jumat, 12 Agustus 2011

Arti Pentingnya Seorang Pembantu Rumah Tangga

Ilustrasi oleh : SwaIklan.com
Sosok pembantu rumah tangga (PRT) dewasa ini sudah seperti menjadi darah daging dalam kehidupan keluarga suami istri yang sibuk bekerja di kota besar. Kontinuitas pekerjaan dengan beragam kesibukannya sering menghinggapi pasangan suami istri yang bekerja. Tidak dipungkiri, pekerjaan rumah tangga sehari hari terancam menjadi terbengkalai. Melihat kondisi seperti ini, tentunya akan menjadi persoalan serius bagi pasangan suami istri yang bekerja yang dampaknya tentu bisa menggangu ritme pekerjaan bahkan kehidupan rumah tangga.

Perkara pekerjaan rumah tangga sedianya adalah kewajiban pasangan suami istri. Sekarang tugas itu dipercayakan pada PRT, mulai dari urusan beres-beres rumah hingga mengasuh anak. Coba tengok saja, untuk urusan beres-beres rumah mungkin suatu hal yang lazim, tetapi bicara mengasuh anak, apalagi anak yang diasuh masih balita sebenarnya sangat bertentangan dengan nurani pasangan suami istri. Kenyataan yang terjadi dalam pekerjaan membuat pasangan suami istri tidak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya tidak juga dikatakan pasrah, demi alasan kelangsungan hidup ekonomi rumah tangga mau tidak mau suka tidak suka pasangan suami istri yang bekerja tetap mencari jalan keluar agar semua aktivitas kerumahtanggaan dan pekerjaan tetap terjaga.

Menilik begitu beratnya aktivitas rumah dan kantor sehari-hari yang dilakukan hampir bersamaan akhirnya menjadi ujian bagi pasangan suami istri yang bekerja. Suka dan duka pasti menjadi menu sehari-hari. Dari rasa kecocokkan dengan PRT sampai bagaimana PRT mengerti tugas yang diberikan kepadanya sehari-hari acapkali menjadi menu yang tiada habis dibahas. Meskipun begitu, terkadang pasangan suami istri merasa prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan. Terlebih lagi jauh dari kampung halaman. Padahal sejatinya mereka sama sebagai orangtua dari anak-anaknya, meski nasib yang membedakan. Namun demikian sikap saling menghormati dan menghargai terhadap tugas masing-masing harus terus dikembangkan. Berdasarkan pertimbangan demikian, biasanya pasangan suami istri kerap mencari PRT yang mempunyai referensi dari orang-orang terdekat.

Tidak menjadi suatu hal yang aneh, model (referensi) macam ini menjadi andalan bagi pasangan suami istri. Maksudnya tak lain dan tak bukan adalah menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak diinginkan. Sebut saja, belakangan ini marak kejahatan di perumahan berkedok pembantu. Apalagi pembantu yang dipekerjakan tidak diketahui secara persis asal usulnya. Ketenangan pasangan suami istri pekerja menjadi taruhan yang sangat mahal. Walaupun mahal ongkosnya, model referensi menjadi favorit pasangan suami istri mencari wakilnya untuk mengurusi pekerjaan rumah dan mengasuh anak. Biasanya prinsip yang dikedepankan berdasarkan pada kedekatan keluarga.

Lain halnya dengan PRT yang berasal dari penyalur atau agen. Memang model ini lebih profesional dan cekatan meskipun ongkos yang dikeluarkan sangat profesional juga. Bagi pasangan suami istri yang kerap menggunakan jasa PRT ini biasanya ekstra waspada dan agak ketat. Kalau perlu dibuatkan perjanjian kerja. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan, mengingat ketiadatahuan asal-usul individu dan sifat pembawaannya. Benar, disalurkan dari agen yang terkenal sekalipun, namun sejatinya kenyamanan dan ketenangan belum sepenuhnya milik pasangan suami istri.

Dilema masalah tentang PRT akan terasa gaungnya, lebih-lebih menjelang lebaran. Menjadi maklum, lebaran adalah kesempatan bagi mereka pulang kampung bertemu dengan keluarga tercintanya. Meskipun setahun sekali, momen seperti lebaran menjadi harapan mereka agar diperkenankan pulang oleh majikan. Biasanya, majikan manapun pasti mengabulkan sepanjang mereka sepakat dengan janji kapan kembali lagi. Itupun kalau mereka menepati janji.

Sering dijumpai, mereka tidak kembali dengan berbagai alasan. Tidak melulu karena tidak kerasan, kadang-kadang yang kerasan dan merasa cocok dengan majikannyapun tidak kembali. Hal ini menjadi dilematis majikan ketika mendengar kabar sang pembantu tidak kembali. Perasaan kecewa dan pusing bercampur baur menjadi satu. Apalagi telah menemukan pembantu yang cocok. Mau tidak mau akhirnya sang majikan kembali mencari pembantu yang baru dengan permasalahan yang sama. Teruus begitu setiap tahunnya. Fenomena yang tak lekang saat lebaran.

PRT dan majikan bagai dua keping mata uang yang senantiasa hidup di suatu negara meskipun maju dan sejahtera.

Naik Kereta Api..Tut..Tuut..Tuuut


Suaranya keras dan bergetar, bentuknya panjang dengan kaki berbentuk bulat terbuat dari baja. Sebuah realita menggambarkan moda transportasi yang bernama kereta api. Moda ini banyak digemari masyarakat, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa, kaum perempuan maupun laki-laki, tua dan muda, semuanya pernah merasakan moda transportasi yang ramah lingkungan ini.

Sedikit kita menengok sejarah perkeretapian ke belakang, menurut literatur yang dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_perkeretaapian_di_Indonesia, sejarah perkeretaapian di Indonesia dimulai dari pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen, Jumat tanggal 17 Juni 1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan jalur sendiri diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km) dengan lebar sepur 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada hari Sabtu, 10 Agustus 1867.

Keberhasilan swasta, NV. NISM membangun jalan kereta api Semarang-Tanggung, kemudian mendorong minat investor membangun jalan kereta api sepanjang 110 km yang menghubungkan kota Semarang - Surakarta, tepatnya pada tanggal 10 Februari 1870. Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864 - 1900 tumbuh dengan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 km, tahun 1870 menjadi 110 km, tahun 1880 mencapai 405 km, tahun 1890 menjadi 1.427 km dan pada tahun 1900 menjadi 3.338 km.

Pembangunan jalan kereta api terus mengalami peningkatan, tidak hanya di Pulau Jawa, tapi juga hingga ke Pulau Sumatera, seperti di di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), bahkan tahun 1922 di Sulawesi juga telah dibangun jalan KA sepanjang 47 Km antara Makasar-Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli 1923, sisanya Ujungpandang-Maros belum sempat diselesaikan. Sedangkan di Kalimantan, meskipun belum sempat dibangun, studi jalan kereta api Pontianak - Sambas (220 Km) sudah diselesaikan. Demikian juga di pulau Bali dan Lombok, juga pernah dilakukan studi pembangunan jalan kereta api.

Melihat sejarahnya yang begitu menakjubkan, tidak salah jika meningkatnya pembangunan jalan kereta api, disebabkan karena perannya  sangat membantu mobilisasi kepentingan masyarakat. Diyakini, animo masyarakat terhadap kereta api tidak pernah lekang dimakan jaman, meskipun itu sudah melampui tujuh turunan generasi masyarakat penggunanya.

Kini, di jaman globalisasi yang serba modern, kereta api semakin mengukuhkan diri dengan perannya sangat vital bagi masyarakat. Tengok saja, hajatan besar pulang kampung (mudik). Setiap tahunnya keinginan masyarakat untuk menggunakan kereta api terus mengalami peningkatan. Seperti yang dikatakan Direktur Keselamatan Transportasi Darat Kementerian Perhubungan, Hotman Simanjuntak dalam harian berita elektronik http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2011/08/11/brk,20110811-351332,id.html, jumlah pemudik masa lebaran tahun 2011 diperkirakan mencapai 15,5 juta orang, naik 4,17 persen dari tahun 2010 yang berjumlah 14,9 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebesar 2,9 juta penumpang diprediksi menggunakan kereta api.

Tidak salah kiranya, kereta api menjadi andalan masyarakat yang ingin pulang kampung. Seperti yang terjadi pertengahan bulan Juli kemarin, pemesanan tiket untuk berbagai tujuan di daerah Jawa telah habis terjual, baik yang kelas ekonomi, bisnis maupun eksekutif. Meskipun demikian, PT KAI sebagai pihak yang mengurusi kereta api terus melakukan penambahan layanan jual tiket, termasuk memberantas calo tiket. Untuk yang satu ini, komitmennya masih terus dipertanyakan masyarakat. Banyaknya tiket habis terjual, diduga ulah calo yang menyamar menjadi calon penumpang. 

Operasi penertiban terus dilakukan, meski yang tertangkap tidak banyak, calo tiket diakui susah untuk diberantas, apalagi ada dugaan keterlibatan oknum. Namun demikian, apapun ceritanya, masyarakat sepertinya tidak terlalu peduli terhadap ulah calo tersebut. Buat mereka, yang penting dapat tiket pulang kampung, walau itu harus menginap sehari semalam di stasiun. Padahal kepedulian masyarakat bisa membantu meminimalisir calo tiket untuk melakukan aksinya.

Layaknya sebuah cerita, hajatan besar atau yang biasa disebut mudik, membawa kisah tersendiri bagi masyarakat, khususnya pengguna kereta api. Harga tiket mahal, melebihi seratus persen, penipuan, hipnotis, calo tiket dan kejahatan lainnya adalah sebuah episode suka dan duka masyarakat yang telah jatuh cinta dengan moda yang namanya kereta api, seperti lagunya, “Naik Kereta Api..Tut..Tuut..Tuuut..Siapa Hendak Turut”

Rabu, 10 Agustus 2011

Kisah Pak Tua dan Limbah Kantung Terigu


Ilustrasi oleh :
http://m.today.co.id/index.php?kategori=regional&sub=regional&detail=14092


Raut wajahnya yang sudah menua, tidak menggoyahkan niat seorang Pak Tua berusia 62 tahun untuk terus mengayuh sepeda. Digenggamnya setang sepeda tua yang terbuat dari besi kopong hasil jual sepeda kumbangnya setengah dasawarsa yang lalu di depan setasiun Jatinegara seharga 50 ribu rupiah. Ayah tiga orang anak ini mantap melangkah mengayuh sepeda. Membelah gang sempit, menyusuri jalan besar hanya satu tujuan, mengambil gaji pensiunnya di Kantor Pos Jatinegara samping Polres Jakarta Timur, depan Lapangan Jenderal Urip Soemohardjo.

Harapan untuk dapur kembali ngebul, kini tergambar lepas dipikirannya. Gaji pensiunan yang diambil setiap tanggal 5 setiap bulannya, tidak lupa diberikan sedekah. Hanya berbalut kaos dan celana bahan usang, pensiunan PNS di salah satu dinas Pemprov DKI ini tetap merasa bersyukur kepada Tuhan atas nikmat yang telah diberikan kepadanya.

Tinggal di rumah sangat sederhana hasil renovasi seadanya. Pak Tua menceritakan rumah yang dulu dindingnya terbuat dari anyaman bambu, adalah tempat bernaung yang cukup nyaman bersama seorang istri dan ketiga anaknya. Di situlah, Pak Tua mengarungi bahtera rumah tangga, membesarkan anak-anaknya hingga dewasa. PNS golongan kecil ini, 7 tahun yang lalu telah purna karya alias pensiun.

Menikmati masa pensiun, Pak Tua berusaha untuk terus survive menjalani hidupnya. Pernah suatu waktu dirinya bercerita tentang jaman susah. Pak Tua mengisahkan bagaimana menghidupi keluarganya dengan gaji PNS golongan I yang serba kurang. Kurang membiayai hidup apalagi membiayai sekolah anak-anaknya. Menjadi seorang pedagang keliling kelengkapan tidur seperti sprei, sarung bantal, sarung guling dan lainnya bahkan pernah dilakoni, itupun dilakukan saat hari libur kerja (dahulu hari libur kerja hanya hari minggu).

Alat kelengkapan tidur yang dijajakannya itu, adalah hasil olahan bekas kantung terigu, dibeli dari pengecer limbah kantung bekas dibilangan Matraman. Dipilihnya Kantung Terigu menurut Pak Tua Pensiunan PNS tersebut, karena murah dan bahannya yang lembut. Kemudian olahan limbah itu dirajut menjadi sprei, sarung bantal dan sarung guling setelah sebelumnya melalui proses pencucian, pengeringan dan penjahitan yang sangat tradisional.

Hasil jadi sprei, sarung bantal dan sarung guling kemudian dipasarkan di daerah Cikarang Bekasi dengan sistim kredit, bayar dua minggu sekali. Maka, setiap dua minggu sekali Pak Tua itu pergi memetik rejeki. Sangat murah, cuma 15 ribu untuk sprei, 7 ribu untuk sarung bantal atau guling. Itupun dicicil. Membayangkan harga semurah itu, sekilas terbersit apakah bisa mengganti ongkos kendaraan, ongkos beli limbah Kantung Terigu bahkan ongkos kerja Pak Tua dan Istrinya yang menjahit hingga tengah malam. Tapi itu cerita kelamnya 20 tahun yang lalu.

Pak Tua kembali mengisahkan bagaimana susahnya berjuang untuk hidup yang lebih baik demi sekolah anak-anaknya yang mulai besar. Pernah juga dirinya bercerita bagaimana menjadi penjual es campur untuk sekedar menutup biaya hidup yang menjulang tinggi. Tapi kisah itu dijadikannya pelajaran oleh Pak Tua untuk terus bersabar, berdoa dan berusaha. Dirinya berkeyakinan, hidup tidak selalu di bawah, ada saatnya di atas. Biar dirinya saja yang mengalami pahitnya hidup, asalkan anaknya bisa bersekolah. Dirinya bahkan tidak mewarisi apapun kepada anak-anaknya selain ilmu dan perjuangan hidup.

Demikian sepenggal kisah Pak Tua Pensiunan PNS golongan rendah yang bisa diambil hikmahnya. Sekarang Pak Tua bangga bisa menyekolahkan ke tiga anaknya hingga perguruan tinggi, meskipun dirinya hanya tamatan SR (SR = Sekolah Rakyat, sekarang SD). Harapannya cukup sederhana, “Saya tidak bisa mewariskan kekayaan, saya Cuma ingin anak bisa sekolah sampai tinggi,” begitu katanya kepada saya saat di Jatinegara beberapa waktu yang lalu.