Sabtu, 29 Oktober 2011

Bali Ndeso

Menempuh perjalanan dari kota Semarang kurang lebih 50 km kearah utara, tersebutlah sebuah desa yang masih belum terjamah pembangunan. Mutih Kulon, orang biasa memanggilnya terletak di Kabupaten Demak Kecamatan Wedung adalah sebuah desa yang asri nan sejuk udaranya. Desa yang secara geografis dilalui sungai-sungai besar, persawahan yang begitu luas dan laut pantai utaranya yang terkenal.

Potensi yang demikian besar, sayangnya belum dikelola secara maksimal untuk pembangunan desa. Alhasil pembangunan desa ala kadarnya menunggu guyuran anggaran dan kebaikan hati pemimpin yang mungkin masih ingat akan desanya.

Berbicara mata pencarian, sebagian besar mata pencarian penduduknya adalah petani dan nelayan. Melihat tenang dan damainya desa ini, sungguh sangat kontras jika menilik infrastruktur dan banyaknya kaum muda yang bermigrasi ke kota-kota besar. Alhasil, kebanyakan penduduknya adalah generasi tua.

Kehidupan desa senantiasa memegang teguh prinsip ajaran agama Islam. Adat isitiadat yang dipegang teguh merupakan ajaran turun temurun sejak berdirinya Kerajaan Demak yang melahirkan Islam sebagai keyakinan dan dibawa oleh seorang ulama terkenal, Kanjeng Sunan Kalijaga. Bahkan sampai saat ini segala sendi kehidupan masyarakatnya sangat kental dengan nuansa agama Islam.

Mutih Kulon secara geografis masuk dalam wilayah Kabupaten Demak. Namun, lalulintas perekonomian masyarakatnya cenderung berinteraksi dengan Kabupaten Jepara. Jarak yang membatasi wilayah Kabupaten Demak dan Kabupaten Jepara hanya dipisahkan oleh dua buah sungai besar. Padahal bila dilihat potensi lalulintas perekonomiannya, ditaksir dapat menjadi pemasukan kas daerah bagi pembangunan wilayah itu.

Secara kasat mata pembangunan infrastruktur Desa Mutih Kulon banyak yang mengalami kerusakan dan pecah-pecah. Bila musim kemarau tiba, jalanan menjadi licin karena batu-batu kecil banyak berserakan di jalan. Sedangkan bila musim hujan tiba, jalanan menjadi kubangan air dan berbahaya bagi pengendara. Belum lagi dengan fasilitas infrastruktur lainnya seperti jembatan penyeberang sungai yang dibuat apa adanya.

Seperti salah satu jembatan yang sering disebut jembatan sasak. Jembatan ini terbuat dari batang pohon kelapa tanpa penahan dan pengaman. Jembatan dibuat hanya dengan cara mengikatkan satu batang pohon kelapa dan bambu yang sudah di bentuk sedemikian rupa. Memiliki lebar satu setengah meter dan panjang lebih kurang enam puluh meter, bila hujan akan menjadi sangat licin. Tidak jarang bila ada pengemudi sepeda motor yang berbonceng, maka yang dibonceng akan turun menghindari jatuh dan kecebur sungai, pun begitu jembatan hanya bisa dilewati bergantian.

Selain tidak luas, jembatan tersebut hanya bisa dilewati kendaraan beroda dua, sedangkan untuk roda empat harus memutar lebih jauh dengan waktu tempuh bisa mencapai kurang lebih tiga puluh menit. Itupun dilalui hanya bisa bergiliran karena jembatan didesain cukup untuk satu ukuran mobil passenger car.

Pemeliharaan jembatan sasak menurut pengakuan warga yang sering lewat, dikutip oleh petugas sebesar lima ratus rupiah setiap kali penyeberangan yang berlaku dari pagi hingga sore. Baik dari Kabupaten Demak ke Kabupaten Jepara ataupun sebaliknya. Begitu pentingnya lalulintas perekonomian, kebanyakan masyarakat tidak keberatan dipungut biaya untuk pemeliharaan jembatan.

Di akui atau tidak, jalur di mana jembatan ini berada merupakan jalur sutra yang menghubungkan Kabupaten Demak dan Kabupaten Jepara. Mengingat jarak yang ditempuh sangat dekat, maka jembatan menjadi strategis sebagai urat nadi perekonomian masyarakat Mutih Kulon. Apalagi segala sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat Mutih Kulon tersedia di Kabupaten Jepara. Lain halnya dengan Kabupaten Demak, waktu yang ditempuh cukup jauh. Dengan melewati area persawahan dan beberapa kecamatan serta jalan desa, barulah masyarakat bisa ke pusat kota untuk dapat memenuhi keperluannya.

Menurut beberapa sesepuh desa, arus lalulintas perekonomian masyarakat Mutih Kulon sebenarnya sangat menjanjikan dan diperkirakan dapat menjadi pemasukan kas daerah yang berpotensi meningkatkan pembiayaan pembangunan desa. Sayangnya pemanfaatannya tidak di gunakan semaksimal mungkin.

Harapan yang tak terlalu muluk-muluk, semoga pasca pemilu kelak, pembangunan desa menjadi prioritas dan diperjuangkan bagi mereka yang terpilih. Sejatinya, ketika anak desa ‘bali ndeso’, niscaya akan merasa bangga dan betah tinggal di desanya. Tidak ada lagi yang namanya ramai-ramai mencari peruntungan di kota. Pun sudah saatnya pemerataan pembangunan harus dilakukan, jangan lagi beri ruang kesenjangan pembangunan, ketimpangan perekonomian dan ketidak seimbangan yang selama ini berorientasi ke kota-kotaan. Saatnya pemimpin yang terpilih berani mengambil tantangan dan saatnya pula pengusaha menerima tantangan berinvestasi di desa.

Sungguh indah membayangkan bila desa maju seperti kota.