Jumat, 20 Juli 2012

Krisis Ekonomi Mendera Eropa, Bagaimana Dengan Indonesia ?


Gambar ilustrasi oleh : ekbis.sindonews.com
Krisis ekonomi yang membelit eropa dan amerika beberapa tahun lalu rupanya membuat sistem keuangan dan perdagangan negara yang menganut sistim kapitalis mulai merasakan dampak yang cukup signifikan. Tidak itu saja Indonesia yang menganut sistem ekonomi Pancasila misalnya, ditenggarai juga mengalami penurunan ekspor. Satu contoh saja, pendapatan negara yang dihasilkan dari produk untuk ekspor sampai bulan Mei 2012 anjlok sebesar 8,55% (rilis BPS). 

Dampak penurunan ini disebabkan salah satunya karena  krisis ekonomi yang dialami negara-negara di Eropa sebagai pangsa pasar tujuan, seperti Yunani, Spanyol dan Italia. Adanya krisis tersebut menyebabkan daya beli berkurang sehingga menyebabkan penawarannya (demand) turun. Tentunya dengan krisis yang terjadi membuat pemerintah negara tersebut akan mengurangi pengeluaran belanja negaranya untuk mengimpor barang dari negara lain.

Menghadapi kenyataan demikian, pemerintah perlu mengupayakan membuat instrument guna mencegah penurunan ekspor yang terus terjadi. Jika dibiarkan, tentunya akan mempengaruhi perekonomian Indonesia, terutama untuk belanja negara yang berkepentingan terhadap pembangunan berkelanjutan. 

Sebelumnya beberapa waktu yang lalu, sebuah lembaga pemeringkat Eropa menetapkan kalau Indonesia merupakan salah satu negara tujuan utama Investor menanamkan modal usahanya. Berdasarkan hasil pemeringkatan tersebut, Indonesia diyakini akan mengalami kebanjiran Investor yang ingin melanggengkan usahanya demi kelangsungan hidup perusahaan sebagai akibat dari dampak krisis moneter yang mendera Eropa.

Terhadap hal ini, pemerintah disatu sisi bisa mendapatkan keuntungan untuk menjalankan gerak roda perekonomian sementara disisi lain, ada kekhawatiran akan terjadinya hot money seperti yang dialami tahun 1998 lalu. 

Fenomena hot money yang suatu waktu bisa memukul perekonomian negara harus disikapi dengan hati-hati. Memang, dengan mengalirnya modal ke Indonesia, banyak manfaat yang bisa dipetik, namun harus diingat sifatnya yang sementara dan mudah berbalik (Investor menarik modal besar-besaran) bisa membuat negara semakin kolaps.

Sebaiknya dalam hal menyikapi krisis ekonomi yang melanda Eropa dan banjirnya Investor menanamkan modalnya di Republik ini, pemerintah bisa mengambil manfaat tersebut dengan secepat mungkin namun harus pula diiringi sebuah aturan yang melindungi kepentingan ekonomi nasional. Perlindungan terhadap ketahanan ekonomi nasional harus menjadi prioritas utama. Ingat, krisis Eropa kemungkinan masih panjang termasuk pula krisis ekonomi Amerika. Dua pangsa pasar tujuan ekspor tersebut harus dipantau terus perkembangannya. Perlu ada sebuah Forum Kajian Intelijen Ketahanan Ekonomi untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional.

Disamping itu, pembangunan ekonomi khusus dibidang infrastruktur harus dikebut terus. Sedangkan di bidang lainnya, terutama perdagangan perlu digenjot lagi dengan mencari pangsa pasar baru. Meningkatnya geliat pertumbuhan ekonomi kawasan Amerika Latin, India, Afrika dan Cina bisa menjadi rujukan mengalihkan tujuan produk ekspor Indonesia. Meski begitu, pangsa pasar yang lama tidak perlu ditinggalkan lantaran penurunan permintaan. Tetap saja, dipertahankan, dan bukan tidak mungkin suatu saat perekonomian kedua kawasan tersebut pulih, Indonesia punya banyak pilihan pangsa pasar. Dengan ditunjang perencanaan dan Intelijen Kajian Ketahanan Ekonomi Nasional yang ada, krisis ekonomi yang menghancurkan Indonesia tahun 1998 tidak terulang lagi. 

Saat ini, krisis yang terjadi di Eropa dan Amerika harus di barrier agar tidak sampai menjalar ke Indonesia. Dan, pada tataran inilah sesungguhnya Indonesia diuji sejauhmana mampu mengatasi dampak dari krisis Eropa dan Amerika yang belum kunjung usai.

Selasa, 17 Juli 2012

JOKOWI DAN AHOK, FIGUR FENOMENAL WAJAH POLITIK INDONESIA


Jokowi - Ahok, Gambar oleh foto.detik.com
Pemilu Kepala Daerah Propinsi Jakarta baru saja selesai dilaksanakan. Dari 6 pasangan calon Gubernur dan Wakilnya ternyata tidak ada yang mampu meraih suara sebesar 50 % + 1. Namun demikian Pemilu Kada bukan berarti tidak memunculkan kejutan. Fauzi Bowo dan Nara yang merupakan pasangan incumben dan diunggulkan ternyata tingkat keterpilihannya di bawah pasangan Jokowi dan Ahok.

Dalam kesempatan ini, penulis bukan tidak mengupas pasangan lainnya, tetapi lebih pada ketertarikan dengan munculnya fenomena yaitu harapan baru warga Jakarta terhadap sosok yang sederhana dan merakyat. Sosok yang mampu memikat masyarakat Jakarta yang homogen dan sosok yang dianggap sebagai the rising star pada Pemilu Kada Jakarta.

Keterpilihan Jokowi dan Ahok dalam Pemilihan Kepala Daerah di Propinsi Jakarta beberapa waktu yang lalu, kian mengukuhkannya sebagai salah satu kandidat pemimpin idaman masyarakat kota Metropolitan. Jakarta yang notabene sebagai Ibukota Negara Indonesia sepertinya sangat welcome dengan sosok Jokowi dan Ahok. Lihat saja keterpilihan mereka usai PILKADA Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Menurut perhitungan cepat Lembaga Survey Indonesia (quick count), pasangan yang diusung Partai PDI Perjuangan dan Gerindra mampu meraup suara hingga 43-44 %, jauh melampaui perolehan suara Sang incumben Fauzi Bowo dan Nara yang memperoleh sekitar 33 %. Selisih suara sekitar 9 % ini sebelumnya tidak diduga oleh semua pihak. Maklum, menurut survey beberapa hari terakhir menjelang pencoblosanI, sebagian Lembaga Survey semua sama mengunggulkan pasangan Fauzi dan Nara. Kisaran angkanya sekitar 50 % lebih. Sementara untuk Jokowi sendiri dipasangkan pada angka kisaran 14 %, tetapi tidak terbukti sekaligus menyatakan bahwa hasil survey belum tentu menjadi representasi masyarakat pemilih yang semaikn cerdas.

Padahal polling yang disyiarkan Lembaga Survey Nasional sepertinya diyakini bisa membius keterpengaruhan masyarakat untuk memilih salah satu kandidat. Disisi lain, Sang Penantang mengaku tidak terpengaruh dan berusaha menepis hasil survey tersebut yang dianggap terlalu dini menyimpulkan, bahkan banyak kalangan mengatakan hasil survey tersebut tidak lebih daripada propaganda Pemili Kada untuk meraih simpati warga Jakarta.

Dinamika apapun yang berkembang dalam masing-masing Tim Sukses dan kepentingan lain Lembaga Survey Nasional terhadap Pemilu Kada Jakarta, ternyata tidak bisa mempengaruhi pikiran dan akal cerdas masyarakat Ibukota. Warga lebih memandang pada upaya apa yang bisa meyakinkan diri untuk memilih calon yang dianggapnya berkualitas dan profesional. Lain dari itu, obral janji yang selam ini sering digembar gemborkan dalam PILKADA tidak lebih dari rayuan gombal yang sering mengecewakan harapan masyarakat.

Alhasil, Jokowi dan Ahok menurut survey terbukti menempati urutan pertama tingkat keterpilihan pada Pemilu Kada Jakarta dengan angka sekitar 43 – 44 %. Di bawahnya Fauzi dan Nara dengan angka sekitar 33 %, kemudian disusul Hidayat dan Didik 11 %, Faisal – Biem 5 % lebih, Alex – Nono 5 % dan Hendarji – Ahmad Riza 4 %. Raihan angka perolehan suara Pemilu Kada Jakarta ini dianggap menjadi jawaban keinginan masyarakat terhadap perubahan. 

Dan, siapapun kandidatnya, semuanya berpulang kembali kepada masyarakat khususnya warga Jakarta sebagai pemegang hak mutlak siapa pemimpin yang diinginkannya. Namun sayangnya, Pemilu Kada Jakarta sepertinya harus dilanjutkan pada putaran kedua karena semua calon tidak ada yang meraih angka 50% + 1 suara untuk keluar sebagai pemenang. Namun demikian, perhitungan manual yang dilakukan KPU tetaplah menjadi acuan pasti untuk mengetahui siapa pemenangnya meskipun hasilnya diyakini tidak jauh dari quick qount Lembaga Survey Indonesia. Masyarakat diharapkan sabar menunggu sekaligus mengawal agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Apapun hasilnya, meski itu dilanjutkan pada putaran kedua, masyarakat Jakarta siap untuk mensukseskannya. Malah, jangan-jangan jumlah suara golput yang 37% itu tertarik untuk ikut menentukan jagoannya masing-masing.

Sekarang kita kembali pada sosok Penantang serius Sang incumben, Jokowi dan Ahok. 

Coba kita gali dengan pikiran sehat, prestasi apa yang sudah diraih masing-masing kandidat. Khusus Fauzi dan Nara, saya rasa masyarakat Jakarta sudah tidak asing menilai, lalu bagaimana dengan Jokowi dan Ahok. Ya, Jokowi dan Ahok adalah salah satu generasi muda Indonesia yang kini menjabat sebagai Walikota Solo dan Bupati Belitung Timur.

Khusus untuk Jokowi sendiri, dengan keberhasilannya menata Kota Solo, sosok yang dikenal luas sebagai figur yang sederhana dan calm ini mampu memikat akal cerdas pemilih masyarakat Jakarta. Sosok Jokowi bahkan kabarnya sudah dikenal di dunia internasional. Seorang sosok yang fenomenal mendunia. Bahkan dalam sebuah Lembaga Rilis Internasional, dirinya dinobatkan sebagai salah walikota terbaik dunia.

Salah satu programnya yang terkenal adalah menata Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sebelumnya semrawut dan kumuh, kini mendapatkan fasilitas yang berkualitas dan menjadi rapi dan bersih. Kehebohan penataan PKL bukan pada tata ruangnya saja tetapi pada gaya pendekatan personal seorang Jokowi dan pembantunya yang dalam bahasa Jawa-nya meng-uwongke (memanusiawikan) PKL. Sebuah gaya dengan strategi yang simple dan sederhana yang tidak perlu mengeluarkan duit besar (seperti mendatangkan ahli). Gaya seperti ini ternyata tidak menimbulkan polemik dan konflik antara Pemerintah dan masyarakat setempat. Gaya inipulah yang banyak di adobe kandidat pemimpin daerah lain ketika hendak mengikuti Pemilu Kada.

Sebuah gaya yang dianggap mampu menerobos kejenuhan sekaligus memberikan ruang perubahan yang diinginkan masyarakat. Elitis dan Birokratis sepertinya membuat jemu masyarakat. Gaya yang smart, polos dan sederhana serta tidak neko-neko sepertinya telah menjadi trending di masyarakat.

Persis ketika, dirinya didaulat untuk menjadi calon Gubernur Jakarta, Jokowi tidak tertarik terpancing dengan kenikmatan pencitraan. Selalu merendah dan tidak merasa ada apa-apanya. Koalisnya hanya satu, yaitu koalisi dengan masyarakat. Alasannya simple, Jokowi menganggap masyarakatlah yang tahu apa yang dibutuhkan bukan ditentukan.

Pernah suatu waktu, figur Jokowi dengan kegigihannya mempertahankan cagar budaya Kota Solo (pabrik es peninggalan Belanda) yang oleh Pemerintah Daerah Jawa Tengah hendak diubah menjadi tempat bisnis dan ekonomi, telah banyak mendapat dukungan warga Solo. Konon kabarnya, atas kegigihannya tersebut, sempat membuat berang Sang Gubernur Jawa Tengah. Namun, Jokowi tetap berlalu dan kokoh pada pendiriannya. Bahkan hubungan dua kader terbaik dari PDI Perjuangan ini dikabarkan retak yang kemudian dibantah oleh Jokowi sendiri.

Sedangkan Ahok, meskipun penulis minim informasi, Ahok adalah pasangan yang pas dan merepresentasikan jiwa muda dan semangat kaum muda Indonesia yang pluralisme. Ahok dianggap mampu menjadi mesin turbo  yang bisa mendorong percepatan pembangunan dengan segudang kemampuannya yang berhasil memimpin Belitung Timur.

Kini sosok pasangan fenomenal ini, lambat laun memikat warga Jakarta yang notabene homogen. Jakarta yang dianggap sebagai barometer rakyat Indonesia pada Pemilu Presiden tahun 2014, sepertinya menjadi kawah candradimuka partai politik untuk bertarung dalam Pilpres yang akan datang. Dengan datangnya Jokowi dan Ahok, kian membuktikan bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili Jakarta, menginginkan sebuah perubahan yang berarti. Sebuah perubahan yang mampu membawa Indonesia menuju negara yang adil dan makmur.

Sebuah perubahan juga terhadap sosok pimpinan yang sederhana, pimpinan yang mau dekat dengan rakyat dan pimpinan yang mau meng-uwongke rakyatnya yang dikemas dengan pendekatan dan gaya yang humanis, menepiskan kekuatan otot dan menguatkan akal yang cerdas serta pikiran-pikiran yang sehat, riil, nyata, tidak neko-neko, tidak mencari harta dan tidak menganggap dirinya sebagai super power.

Tulisan ini bukan dimaksud untuk mendukung salah satu kandidat yang akan bertarung kembali dalam Putaran Kedua (raihan angka kandidat tidak ada yang mencapai 50% + 1 suara) Pemilu Kada yang akan digelar September mendatang, tetapi pada keterwakilan aspirasi pribadi yang kebetulan tertarik dengan gaya sepasang kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur yang menepikan elitis dan birokratis tetapi memaksimalkan pada upaya pendekatan yang sederhana, smart, humanis, tidak neko-neko dan merasa dirinya bukanlah manusia yang super. Pengabdian dan ketulusan serta keikhlasan tanpa terpancing dengan dunia pencitraan yang saat ini mengalami titik jenuh dalam pandangan masyarakat.