|
Jokowi - Ahok, Gambar oleh foto.detik.com |
Pemilu Kepala Daerah Propinsi
Jakarta baru saja selesai dilaksanakan. Dari 6 pasangan calon Gubernur dan
Wakilnya ternyata tidak ada yang mampu meraih suara sebesar 50 % + 1. Namun
demikian Pemilu Kada bukan berarti tidak memunculkan kejutan. Fauzi Bowo dan
Nara yang merupakan pasangan incumben
dan diunggulkan ternyata tingkat keterpilihannya di bawah pasangan Jokowi dan
Ahok.
Dalam kesempatan ini, penulis
bukan tidak mengupas pasangan lainnya, tetapi lebih pada ketertarikan dengan munculnya
fenomena yaitu harapan baru warga Jakarta terhadap sosok yang sederhana dan
merakyat. Sosok yang mampu memikat masyarakat Jakarta yang homogen dan sosok
yang dianggap sebagai the rising star
pada Pemilu Kada Jakarta.
Keterpilihan Jokowi dan Ahok dalam
Pemilihan Kepala Daerah di Propinsi Jakarta beberapa waktu yang lalu, kian mengukuhkannya
sebagai salah satu kandidat pemimpin idaman masyarakat kota Metropolitan.
Jakarta yang notabene sebagai Ibukota Negara Indonesia sepertinya sangat welcome dengan sosok Jokowi dan Ahok. Lihat
saja keterpilihan mereka usai PILKADA Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu yang
lalu.
Menurut perhitungan cepat Lembaga
Survey Indonesia (quick count), pasangan
yang diusung Partai PDI Perjuangan dan Gerindra mampu meraup suara hingga 43-44
%, jauh melampaui perolehan suara Sang incumben
Fauzi Bowo dan Nara yang memperoleh sekitar 33 %. Selisih suara sekitar 9 % ini
sebelumnya tidak diduga oleh semua pihak. Maklum, menurut survey beberapa hari
terakhir menjelang pencoblosanI,
sebagian Lembaga Survey semua sama mengunggulkan pasangan Fauzi dan Nara.
Kisaran angkanya sekitar 50 % lebih. Sementara untuk Jokowi sendiri dipasangkan
pada angka kisaran 14 %, tetapi tidak terbukti sekaligus menyatakan bahwa hasil survey belum tentu menjadi representasi masyarakat pemilih yang semaikn cerdas.
Padahal polling yang disyiarkan Lembaga
Survey Nasional sepertinya diyakini bisa membius keterpengaruhan masyarakat
untuk memilih salah satu kandidat. Disisi lain, Sang Penantang mengaku tidak
terpengaruh dan berusaha menepis hasil survey tersebut yang dianggap terlalu
dini menyimpulkan, bahkan banyak kalangan mengatakan hasil survey tersebut
tidak lebih daripada propaganda Pemili Kada untuk meraih simpati warga Jakarta.
Dinamika apapun yang berkembang
dalam masing-masing Tim Sukses dan kepentingan lain Lembaga Survey Nasional
terhadap Pemilu Kada Jakarta, ternyata tidak bisa mempengaruhi pikiran dan akal
cerdas masyarakat Ibukota. Warga lebih memandang pada upaya apa yang bisa
meyakinkan diri untuk memilih calon yang dianggapnya berkualitas dan
profesional. Lain dari itu, obral janji yang selam ini sering digembar
gemborkan dalam PILKADA tidak lebih dari rayuan gombal yang sering mengecewakan
harapan masyarakat.
Alhasil, Jokowi dan Ahok menurut
survey terbukti menempati urutan pertama tingkat keterpilihan pada Pemilu Kada
Jakarta dengan angka sekitar 43 – 44 %. Di bawahnya Fauzi dan Nara dengan angka
sekitar 33 %, kemudian disusul Hidayat dan Didik 11 %, Faisal – Biem 5 % lebih,
Alex – Nono 5 % dan Hendarji – Ahmad Riza 4 %. Raihan angka perolehan suara
Pemilu Kada Jakarta ini dianggap menjadi jawaban keinginan masyarakat terhadap
perubahan.
Dan, siapapun kandidatnya, semuanya berpulang kembali kepada
masyarakat khususnya warga Jakarta sebagai pemegang hak mutlak siapa pemimpin
yang diinginkannya. Namun sayangnya, Pemilu Kada Jakarta sepertinya harus
dilanjutkan pada putaran kedua karena semua calon tidak ada yang meraih angka
50% + 1 suara untuk keluar sebagai pemenang. Namun demikian, perhitungan manual
yang dilakukan KPU tetaplah menjadi acuan pasti untuk mengetahui siapa
pemenangnya meskipun hasilnya diyakini tidak jauh dari quick qount Lembaga Survey Indonesia. Masyarakat diharapkan sabar
menunggu sekaligus mengawal agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Apapun hasilnya, meski itu dilanjutkan pada putaran kedua, masyarakat Jakarta
siap untuk mensukseskannya. Malah, jangan-jangan jumlah suara golput yang 37% itu tertarik untuk ikut
menentukan jagoannya masing-masing.
Sekarang kita kembali pada sosok Penantang
serius Sang incumben, Jokowi dan
Ahok.
Coba kita gali dengan pikiran
sehat, prestasi apa yang sudah diraih masing-masing kandidat. Khusus Fauzi dan
Nara, saya rasa masyarakat Jakarta sudah tidak asing menilai, lalu bagaimana
dengan Jokowi dan Ahok. Ya, Jokowi dan Ahok adalah salah satu generasi muda
Indonesia yang kini menjabat sebagai Walikota Solo dan Bupati Belitung Timur.
Khusus untuk Jokowi sendiri,
dengan keberhasilannya menata Kota Solo, sosok yang dikenal luas sebagai figur
yang sederhana dan calm ini mampu
memikat akal cerdas pemilih masyarakat Jakarta. Sosok Jokowi bahkan kabarnya
sudah dikenal di dunia internasional. Seorang sosok yang fenomenal mendunia.
Bahkan dalam sebuah Lembaga Rilis Internasional, dirinya dinobatkan sebagai salah
walikota terbaik dunia.
Salah satu programnya yang
terkenal adalah menata Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sebelumnya semrawut dan
kumuh, kini mendapatkan fasilitas yang berkualitas dan menjadi rapi dan bersih.
Kehebohan penataan PKL bukan pada tata ruangnya saja tetapi pada gaya
pendekatan personal seorang Jokowi dan pembantunya yang dalam bahasa Jawa-nya
meng-uwongke (memanusiawikan) PKL.
Sebuah gaya dengan strategi yang
simple dan sederhana yang tidak perlu mengeluarkan duit besar (seperti
mendatangkan ahli). Gaya seperti ini ternyata tidak menimbulkan polemik dan
konflik antara Pemerintah dan masyarakat setempat. Gaya inipulah yang banyak di
adobe kandidat pemimpin daerah lain
ketika hendak mengikuti Pemilu Kada.
Sebuah gaya yang dianggap mampu
menerobos kejenuhan sekaligus memberikan ruang perubahan yang diinginkan
masyarakat. Elitis dan Birokratis sepertinya membuat jemu
masyarakat. Gaya yang smart, polos
dan sederhana serta tidak neko-neko
sepertinya telah menjadi trending di
masyarakat.
Persis ketika, dirinya didaulat
untuk menjadi calon Gubernur Jakarta, Jokowi tidak tertarik terpancing dengan
kenikmatan pencitraan. Selalu merendah dan tidak merasa ada apa-apanya.
Koalisnya hanya satu, yaitu koalisi dengan masyarakat. Alasannya simple, Jokowi menganggap masyarakatlah
yang tahu apa yang dibutuhkan bukan ditentukan.
Pernah suatu waktu, figur Jokowi dengan
kegigihannya mempertahankan cagar budaya Kota Solo (pabrik es peninggalan
Belanda) yang oleh Pemerintah Daerah Jawa Tengah hendak diubah menjadi tempat
bisnis dan ekonomi, telah banyak mendapat dukungan warga Solo. Konon kabarnya,
atas kegigihannya tersebut, sempat membuat berang Sang Gubernur Jawa Tengah.
Namun, Jokowi tetap berlalu dan kokoh pada pendiriannya. Bahkan hubungan dua
kader terbaik dari PDI Perjuangan ini dikabarkan retak yang kemudian dibantah
oleh Jokowi sendiri.
Sedangkan Ahok, meskipun penulis minim informasi, Ahok adalah pasangan yang pas dan merepresentasikan jiwa muda dan semangat kaum muda Indonesia yang pluralisme. Ahok dianggap mampu menjadi mesin turbo yang bisa mendorong percepatan pembangunan dengan segudang kemampuannya yang berhasil memimpin Belitung Timur.
Kini sosok pasangan fenomenal ini, lambat
laun memikat warga Jakarta yang notabene homogen.
Jakarta yang dianggap sebagai barometer
rakyat Indonesia pada Pemilu Presiden tahun 2014, sepertinya menjadi kawah candradimuka partai politik untuk
bertarung dalam Pilpres yang akan datang. Dengan datangnya Jokowi dan Ahok,
kian membuktikan bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili Jakarta, menginginkan
sebuah perubahan yang berarti. Sebuah perubahan yang mampu membawa Indonesia
menuju negara yang adil dan makmur.
Sebuah perubahan juga terhadap
sosok pimpinan yang sederhana, pimpinan yang mau dekat dengan rakyat dan
pimpinan yang mau meng-uwongke
rakyatnya yang dikemas dengan pendekatan dan gaya yang humanis, menepiskan
kekuatan otot dan menguatkan akal yang cerdas serta pikiran-pikiran yang sehat,
riil, nyata, tidak neko-neko, tidak mencari harta dan tidak
menganggap dirinya sebagai super power.
Tulisan ini bukan dimaksud untuk
mendukung salah satu kandidat yang akan bertarung kembali dalam Putaran Kedua (raihan angka kandidat tidak ada yang
mencapai 50% + 1 suara) Pemilu Kada yang akan digelar September mendatang,
tetapi pada keterwakilan aspirasi pribadi yang kebetulan tertarik dengan gaya sepasang
kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur yang menepikan elitis dan birokratis
tetapi memaksimalkan pada upaya pendekatan yang sederhana, smart, humanis, tidak neko-neko
dan merasa dirinya bukanlah manusia yang super. Pengabdian dan ketulusan serta keikhlasan
tanpa terpancing dengan dunia pencitraan yang saat ini mengalami titik jenuh
dalam pandangan masyarakat.