Kamis, 17 Maret 2011

Potret Suram Jembatan Penyeberangan Orang

Salah satu aktifitas JPO
Jembatan penyeberangan menjadi hak setiap pejalan kaki untuk sampai ke tempat tujuan. Beberapa hak pejalan kaki terlihat kian lama kian hilang dibayang-bayang keangkuhan orang perorang. Mau tahu, ya, benar salah satu yang hendak dikupas adalah semakin tidak ada fungsi yang jelas jembatan penyeberangan hadir di tengah-tengah kepentingan pejalan kaki.

Coba lihat di beberapa jalan besar utama. Jembatan penyeberangan yang tersedia tampak teronggok tidak ditengok oleh pejalan kaki. Bahkan fungsinya berubah menjadi pasar kaget dadakan pedagang kaki lima. Bukan tidak mungkin, jembatan penyeberangan juga menjadi tempat yang nyaman bagi pelaku kejahatan seperti copet, pemalak, dan preman berbaur menjadi satu dengan pedagang dan pejalan kaki. Belum lagi banyaknya pengemis dan gelandangan, sudah terbayang jembatan penyeberangan menjadi semrawut.

Pemandangan ini sangat mencolok terutama berada dekat dengan lokasi pasar maupun pusat perbelanjaan modern. Seakan ikut berpartisipasi dalam kehidupan roda ekonomi, PKL menjadikan jembatan penyeberangan sebagai tempat yang sangat strategis menggaet pembeli. Memang diakui, secara ekonomi tidak ada satupun ahli ekonomi yang melarang keberadaan PKL. Namun disisi lain, beralih fungsinya jembatan penyeberangan menjadi tempat jualan, sesungguhnya mengkebiri hak-hak pejalan kaki. Pejalan kaki sebagai pengguna jalan mempunyai hak untuk sampai ketempat tujuan dengan selamat.

Hanya, beberapa tahun sejak tumbangnya orde baru gerak ekonomi yang terpusat pada konglomerasi berubah mendadak menjadi pasar kerakyatan. Wajah-wajah PKL dari berbagai daerah menghiasi ragam pasar dadakan tersebut. Alasan ekonomi yang kemudian menjadi penahbis keberadaan PKL sehingga makin lama makin menjamur dan tidak terkendali sampai-sampai jembatan penyeberanganpun tak luput dari sasaran yang dianggapnya paling strategis.

Wajah memelas pejalan kaki seakan tidak bisa mempengaruhi belas kasih pedagang yang menyerobot hak-haknya. Berdiri sedikit menjijit, takut dagangan PKL terinjak hingga jalan miring seperti hewan lunak yuyu menjadi pemandangan sehari-hari di jembatan penyeberangan. Saling beradu pandang dan beradu bahu hingga macet berjalan tidak menjadikan pedagang PKL tergerak pindah tempat.

Ironis memang, tapi itulah potret suram jembatan penyeberangan yang tidak terkelola dengan baik. Entah itu pemanfaatannya ataupun kepedulian masyarakat untuk merawatnya. Kalau sudah begini, akan dikemanakan lagi hak-hak pejalan kaki.

Sisi Lain Bikers

Sebuah Sepeda Motor Terjatuh
Rendahnya disiplin pengemudi di jalan sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat. Wujudnya bisa dilihat dari perilaku pengemudi yang ugal-ugalan, saling serobot, saling selip dan kejar-kejaran. Pengemudi yang demikian tentu bisa membuat bulu kuduk orang bergidik merinding, meriang tak kepalang. Padahal, pengemudi adalah faktor utama agar selamat sampai tujuan. Pengemudi juga menjadi juru yang menjamin penumpang dan kendaraan lain di belakangnya. Tidak bisa dipungkiri, pengemudi memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam berlalulintas.

Bicara tentang pengemudi, tak akan ada habisnya. Dari pengemudi roda dua (sepeda dan sepeda motor), pengemudi roda tiga (bajaj dan becak) dan pengemudi roda empat plus (mobil, bus, truck, dll). Yang menarik dibicarakan tentu pengemudi sepeda motor. Apa sebab ? Tidak bisa dipungkiri pengemudi sepeda motor kini menjadi tren perbincangan di masyarakat. Trend seperti apa, tentu mudah ditebak, perilaku pengemudi sepeda motor yang cenderung mementingkan kepentingannya sendiri. Kok bisa ?

Lihat saja, sepeda motor telah menjadi fenomena yang menarik untuk diungkap. Laju pertumbuhannya yang luar biasa. Bayangkan, sebulan saja (menurut beberapa media) angka penjualan sepeda motor bisa tembus melebihi seribu unit untuk satu daerah. Belum lagi, satu orang bisa memiliki sepeda motor lebih dari satu. Harganya yang murah, dengan pemberian fasilitas kredit yang menjangkau kantong, sepeda motor bisa dibawa pulang. Bisa dibayar lunas, tidak bisa dipulangi, begitu kira-kira motto untuk sepeda motor.

Diluar itu, kelebihan kendaraan yang satu ini menjadikan orang menomorsatukan bahkan mengidolakan sepeda motor. Agresivitasnya yang mobile, ringan, mudah dibawa kemana-mana, mampu menembus traffic jam, dan suku cadangnya tersedia dimana-mana serta perawatannya yang sangat mudah. Kemampuan seperti itu, tidak bisa disaingi oleh model dan bentuk kendaraan apapun. Sayangnya, keinginan masyarakat yang berpandangan sama terhadap kelebihan sepeda motor, lambat laun dan tanpa disadari justru menimbulkan problematika tersendiri di jalan raya. Dengan tidak menafikan keberadaan dan pertumbuhan kendaraan bermotor lainnya, sepeda motor sepertinya kepalang tanggung dianggap menjadi biang kemacetan, biang tidak tertibnya berlalu lintas. Disinilah, diduga dari sosial culture menjadi penentu dari ketidakaturan lalulintas dijalan.

Bukan menghakimi, tapi kondisi jalanan yang penuh dan sumpek oleh sepeda motor menjadikan sepeda motor sasaran umpatan pengemudi yang lainnya bahkan antar sesama pengemudi sepeda motor. Banyaknya kasus kecelakaan yang muncul kepermukaan, tidak lain dan tidak bukan, kebanyakan korbannya adalah pengendara sepeda motor. Jamak terjadi karena egoisme pengendara yang ingin mendahulukan kepentingannya. Bukan itu saja, secara visual pengendara sepeda motor sebenarnya tidak dilindungi seperti halnya kendaraan roda empat atau lebih. Lihat saja, kalau roda empat, body-nya membungkus sipengendara, tetapi roda dua, bukannya membungkus pengemudi tetapi pengemudi yang membungkus sepeda motor tersebut. Nah, dengan demikian hampir bisa dikatakan pengemudi sepeda motor sangat rentan dengan kecelakaan lalu lintas.