Senin, 26 November 2012

Restoratif Justice Sebagai Pilihan Hukuman


Ilustrasi oleh Google
Di salah satu negara bagian Amerika Serikat, sebut saja New York ada sebuah sistem peradilan yang mempunyai fungsi dimana sistem tersebut diberikan kewenangan untuk membuat pilihan bagi para orang yang melakukan tindak pidana dan tertangkap oleh Polisi, diberikan pilihan hukum. Pilihan yang dimaksud adalah, apakah si orang tersebut mengakui kesalahannya ataukah tetap bersikeras tidak mengaku. Sebagai gambaran, untuk pilihan mengakui perbuatannya, orang tersebut diberikan kesempatan oleh hakim pengadilan setempat untuk menebusnya dengan kerja sosial dan catatan kriminalnya dihapus dari buku catatan kriminal. Namun bila dia memaksa dan tidak mengakui, maka orang tersebut dipersilahkan untuk menempuhnya melalui jalur pengadilan.

Untuk proses bagi orang yang mengakui kesalahannya, atas dasar wewenang hakim pengadilan setempat, orang tersebut akan dikirim ke lembaga yang berwenang seperti konsultan hukum atau pengacara untuk mengikuti sebuah program kerja sosial sebagai bagian dari hukumannya di luar penjara. Keikutsertaan orang yang melakukan delik pidana tersebut merupakan bagian dari apa yang dinamakan ‘restorative justice”. 

Peran konsultan hukum terhadap program ini adalah memberikan arahan atau petunjuk terhadap orang yang direkomendasikan hakim untuk menjalani kerja sosial. Tentu setiap hal yang terkait dengan program tersebut, orang yang melakukan delik pidana ini tetap mendapatkan pengawasan dan catatan perilakunya sehari-hari. Catatan perilaku inilah yang kemudian akan menjadi rekomendasi bagi hakim untuk menetapkan putusannya. Bila orang yang melakukan kerja sosial tersebut berkelakuan baik maka ia mendapat reward yaitu dihapusnya catatan criminal yang telah dilakukan dan ia terbebas dari penjara. 

Namun sebaliknya, bila dalam program kerja sosial tersebut, ia berulah dan melakukan pelanggaran atau kabur dari tugasnya, maka hakim tak segan-segan untuk mengirimnya ke penjara dengan catatan kriminalnya tercatat selama hidupnya. Tindakan Hakim ini, sebenarnya langkah awal dari pemisahan sisi manusiawi dan ketegasan. Apalagi yang melakukan pelanggaran tersebut hanya melakukan TIPIRING (tindak pidana ringan). Hakim harus mampu memberikan efek jera dan memberikan pilihan terbaik bagi Pelaku Tipiring, “Kerja Sosial ataukah Penjara”.



Klinik Hukum

Di Negara Bagian New York, Pengadilan Red Hot, sudah lama dikenal dengan apa yang disebut “Klinik Hukum”. Klinik ini bertaut erat dengan Pengadilan setempat. Tidak itu saja, lembaga pencerahan ini juga mempunyai kedudukan yang sangat penting. Beberapa Lembaga Peradilan pasti mempunyai hubungan dengan Klinik Hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Departemen Dalam Negeri. Lembaga ini menjadi semacam penghubung antara Lembaga Peradilan dan Pelaku TIPIRING.

Klinik Hukum ini mempunyai peran sebagai tempat konsultasi, tempat konseling atau memberikan arahan bagi Pelaku TIPIRING ketika melaksanakan program Kerja Sosial. Sebagai tempat pendampingan bagi Pelaku, Klinik mempunyai tugas mengawal dengan ketat setiap perkembangan Pelaku dengan kata lain bisa dikatakan semacam “mata”-nya Pengadilan.

Tugas mereka adalah mengembalikan fungsi hukum, tata nilai dan kejiwaan bagi Pelaku TIPIRING ketika nanti berbaur kembali ke masyarakat agar tidak mengulangi perbuatannya. Satu pelanggaran atau kelalaian saja, Pengadilan tidak segan-segan menangkap dan memenjarakannya.

Konsep restorative justice

Bila melihat kasus tersebut di atas, maka bisa dipastikan bahwa negara mempunyai peran yang sangat penting terhadap kedudukan Pelaku pelanggaran. Satu sisi mengedapankan manusiawi dan sisi lain mengedapankan ketegasan. Hanya konsep ini berlaku untuk kasus pelanggaran atau pidana ringan saja. Pesannya sangat jelas, bahwa tidak setiap kasus harus masuk penjara. Kasus-kasus yang melibatkan masyarakat dalam strata bawah apalagi kasus kecil, seringkali menjadi obyek yang dikorbankan. Padahal pengenaan hukuman tidak hanya dilakukan dengan penjara badan tapi bisa juga dengan kerja sosial. Oleh para ahli hukum, konsep ini dinamakan “Restoratif Justice” atau pilihan hukuman.

Banyak pertimbangan yang bisa dipetik dari konsep ini, hukuman ringan yang diputus pengadilan dan mengirimkannya pada program kerja sosial, bila dilihatnya dari berbagai aspek. Baik itu aspek Psikologis, aspek, ekonomi, aspek sosial dan aspek hukum. Hakim tentunya sangat jeli memilih hukuman yang pantas diberikan oleh Pelaku TIPIRING. Dengan mengirimkannya pada Lembaga Klinik pelaku Tipiring diharapkan mampu melaksanakan hukumannya dengan baik tanpa mengulangi lagi kesalahannya.

Restoratif justice mengutamakan pendekatan yang berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam kenyataannya pendekatan ini banyak dilakukan dalam praktek di lapangan oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa.

Bagi pemerintah Restoratif justice merupakan salah satu cara penyelesaian perkara dalam suatu tindak pidana yang bisa memberikan pilihan hukum bagi hakim untuk memutus perkara, terutama perkara atau kasus-kasus yang ringan. Selain itu, memberikan suatu pendidikan kepada masyarakat agar, penyelesaian perkara tidak selalu harus berujung ke pengadilan.

Kita memaklumi keinginan pemerintah dalam hal ini, meningkatnya jumlah narapidana atau warga binaan menyebabkan hunian Lembaga Pemasyarakatan menjadi tidak layak. Fungsi pembinaan yang awalnya ditanamkan bagi narapidana atau warga binaan dikhawatirkan bisa terganggu. Kita bisa membayangkan, betapa jumlah Lembaga Pemasyarakatan yang ada saat ini sudah mengalami over capacity. Sebuah Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya dihuni 500 orang, kini dipenuhi 1500 atau tiga kali lipat dari jumlah yang wajar. Maka tak heran, banyak program pembinaan kepada narapidana atau warga binaan terhambat lantaran masalah sosial yang ditimbulkan dari sesaknya hunian Lembaga Pemasyarakatan.

Kini, pemerintah tengah mempertimbangkan penyelesaian sengketa dengan perkara-perkara ringan agar bisa diselesaikan melalui mediasi. Tidak harus berujung ke pengadilan, atau bisa juga dilakukan dengan kerja sosial dan program lainnya yang tentu tidak menghilangkan begitu saja sanksi sebuah hukuman terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana. Bagi kita, ini merupakan suatu langkah maju yang harus didukung. Pembinaan tidak saja hanya kurungan badan, tetapi juga bisa memberikannya pendidikan dan pemahanan melalui kerja sosial seperti halnya yang dilakukan Pengadilan New York.