Kamis, 10 Januari 2013

MISKIN PEMIKIRAN DAN PARODI YANG TIDAK PERLU


Gambar diunduh dari google.com (awangjivi.com)
Pernah suatu waktu penulis saat kecil ditanyakan orang terdekat, “Nak, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?” Dengan spontan penulis menjawab, “Jadi Insinyur Perminyakan!”. Jawaban yang keluar dari mulut mungil tersebut kemudian disenyumkan dengan manis dan didoakan Sang Penanya. “Kalo mau mendapat cita-cita tersebut, banyak berdo’a, kerja keras dan berusaha, jangan lupa berbuat adil dengan saudara atau teman. Mudah-mudahan tercapai ya Nak”, katanya.

Penulis ingat betul pesan 28 tahun yang lalu tersebut. Kini merangkak usia 35 tahun, cita-cita yang diimpikan hanyalah tinggal cerita. Manusia berencana tetapi Tuhan punya rencana yang lain. Rencana yang tidak pernah kita tahu. Rencana yang katanya, sudah diperjanjikan saat manusia hendak lahir dari perut bundanya. Tapi, apapun itu, rencana Tuhan jauh lebih bermanfaat dan rencana Tuhan adalah pilihan terbaik buat hambaNya yang dikasihi. Meski itu, untuk meraih sukses, disertai dengan hambatan, tantangan dan godaan bahkan cacian dan sindiran.

Banyak orang bilang, setiap usia bertambah sejatinya orang semakin dewasa, bijaksana dan mampu mengendalikan diri. Namun banyak pula orang bilang, bertambahnya usia sesungguhnya adalah mengurangi jatah hidup manusia itu sendiri.

Terhadap hal ini, masing-masing manusia diberikan kelebihan untuk menutupi kekurangannya. Manusia juga diberikan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan diberikan anugerah untuk melindungi diri. Kemampuan yang dimiliki tentu masing-masing berbeda. Termasuk ketahanan manusia mendapati cobaan.
Mencoba meningkatkan kualitas hidup dalam setiap bidang tentu tidak mudah diraih begitu saja. Banyak cobaan dan tantangan silih berganti datang menerjang. Dari yang mudah hingga yang sulit, tak terkecuali dibidang sosial kemasyarakatan atau hubungan antar manusia. 

Menarik memang bila membedah hubungan antar manusia ini, tidak cukup waktu untuk menjelaskannya hanya berjam-jam, berhari-hari atau bertahun-tahun, tapi lebih pada implementasi atau praktek di lapangan. Barangkali itu yang bisa membuat penilaian seseorang lebih berarti dibanding hanya dengan cerita atau sekedar tinta diatas kertas belaka.

Dalam posisi demikian, bila ditautkan dalam kehidupan sekarang, Penulis lebih mendamba sebuah nilai kerja yang menghasilkan output, nilai kesesuaian, nilai persamaan, konsistensi dalam mengambil keputusan serta cerdas untuk menangkap gejala dan fenomena yang berlangsung disekitarnya. Lain itu ada nilai Pengakuan dan kejujuran yang harus dijunjung tinggi serta menghindari jebakan-jebakan miskin pemikiran dan benang kusut hawa nafsu yang mengungkung personal dalam parodi yang tidak perlu.