KPK ATAUKAH POLRI YANG BERHAK ?
Sejak dimulainya
penyelidikan kasus simulator sim di Lembaga Korps Lalulintas yang dilakukan
olek KPK pada awal tahun 2012 lalu hingga pertengahan tahun 2012, memang belum
menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Namun beberapa bulan kemudian, sejak
Majalah Tempo mengangkat berita tentang kasus tersebut dengan judul “SIMSALABIM....,
POLRI sebagai pihak yang dirugikan lantas bergerak memulai penyelidikan dengan
memeriksa beberapa saksi terkait. Sayangnya, penyelidikan yang dilakukan masih
berjalan di tempat hingga KPK kemudian pada akhir bulan Juli lalu menetapkan
seorang Jenderal Aktif sebagai tersangka kasus Simulator SIM yang diadakan
tahun 2011 lalu.
Gambar oleh Google |
Masalah kemudian
timbul ketika tim Penyidik KPK menggeledah kantor Korps Lalulintas untuk
mencari barang bukti. Usai melakukan penggeledahan dan mendapatkan beberapa
barang bukti, Tim Penyidik KPK tidak diperkenankan keluar meninggalkan gedung
Korps Lalulintas. Aksi ini dilakukan oleh dua orang petugas jaga yang tidak
membukakan palang pintu ketika Penyidik KPK berniat keluar meninggal gedung.
Alasan perintah pimpinan kemudian menjadi dasar kuat bagi petugas tersebut
untuk tidak membukakan pintu. Sadar akan tindakannya, beberapa pimpinan POLRI
kemudian mengklrafikasikan bahwa hal tersebut dilakukan karena ada koordinasi
yang belum selesai dilakukan.
Benar saja,
tidak berapa lama kemudian datang pimpinan KPK dan petinggi POLRI untuk
melakukan koordinasi terkait aksi penghadangan tersebut. Dan, beberapa jam
kemudian mobil Penyidik KPK yang tertahan akhirnya diizinkan keluar
meninggalkan gedung dengan membawa barang bukti adanya tindakan pidana korupsi
yang dilakukan oleh oknum Jenderal aktif di POLRI.
Sikap dan
keberanian KPK yang menggeledah kantor Korps Lalulintas dan menetapkan
tersangka seorang Jenderal aktif, kontan saja mendapat simpati dan dukungan
dari masyarakat dan LSM pegiat anti korupsi. Namun bagi POLRI, aksi KPK
dianggap sebagai wanprestasi terhadap MoU yang ditandantangi bersama KPK,
Kepolisian dan Kejaksaan beberapa tahun yang lalu terkait penanganan perkara
menyangkut anggota para penegak hukum tersebut. Polri menyebutnya KPK telah
melanggar kesepakatan.
Sadar akan
seluruh publik memandang institusinya, POLRI kemudian mempercepat proses
penyidikan kasus pengadaan simulator sim yang diduga merugikan keuangan negara
hingga ratusan miliar. Beberapa hari setelah KPK menetapkan seorang Jenderal
aktif sebagai tersangka, POLRI kemudian menetapkan tersangka Pejabat Pembuat
Komitmen, Ketua pengadaan dan Bendahara serta pengusaha yang terkait dengan
proyek tersebut. Terhadap langkah penetapan tersebut, POLRI kemudian diketahui telah
meneruskan berkas penyidikan ke Kejaksaaan.
Atas respon
POLRI yang begitu cepat, publik kemudian menilai tidak pada tempatnya POLRI
turut melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus Simulator SIM. Alasan yang
dikemukakan adalah karena di dalam UU KPK, ketika KPK lebih dulu melakukan
penyelidikan, maka hak KPK untuk melakukan segala supervisi terhadap tindak
pidana yang dilakukan dalam proses pengadaan Simulator Sim di Korps Lalulintas.
Dan, POLRI oleh publik termasuk diantaranya adalah para profesional, advokat,
akademisi, LSM dilarang untuk ikut melakukan proses hukum kasus tersebut.
Ada semacam
kekhawatiran, jika POLRI ikut melakukan penyidikan, akan bertabrakan dengan kepentingan
terkait kasus yang dibahas. Terhadap hal ini, beberapa masyarakat terbelah
pendapatnya soal bersikerasnya POLRI ikut melakukan penyidikan. Hal ini
dibuktikan dengan beberapa pendapat pakar hukum yang mengemuka di media.
Yusril Ihza
Mahendra, pengacara dan mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan, usai
diundang oleh POLRI untuk dimintakan pendapatnya mengatakan, POLRI juga berhak
untuk melakukan penyidikan. Dasar pemikirannya adalah kedudukan dan kewenangan
POLRI diatur oleh konstitusi (pasal 30 ayat 4) sedangkan KPK diatur oleh undang-undang. Dengan
kata lain, kedudukan konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Atas dasar
tersebut, Yusril mempertanyakan apa bisa POLRI dilarang melakukan proses pengusutan.
Namun, Yusril
juga memberikan solusi jika perseteruan tersebut bisa dilerai dengan melibatkan
Presiden sebagai penengah kedua Lembaga Penegak Hukum yang hubungannya sedang
memanas itu. Selain itu, Yusril juga
menyarankan, bila tidak juga ditemukan titik temu ada baiknya diserahkan ke MK.
Jauh hari sebelum Yusril mengatakan itu, Ketua MK Mahfud MD daam satu
kesempatan menyatakan bahwa persoalan siapa yang berhak membawa kasus Simulator
Sim tidak bisa di bawa ke MK. Terhadap hal itu, Yusril yakin MK bisa
menyelesaikannya.
Selain Yusril,
Romli Atmasasmita, Pakar Hukum Pidana Internasional menyatakan, MoU yang
ditandatangani oleh KPK melemahkan kewenangan KPK itu sendiri. Dalam UU KPK,
Lembaga KPK diberikan wewenang melakukan supervisi terhadap perkara korupsi.
Wewenang luas pengawasan inilah yang menjadikan KPK kuat menjadi Lembaga Super
Body. Namun, selepas MoU ditandatangani, kewenangan KPK menjadi lemah. Atas hal
tersebut Romli menyarankan kedua Lembaga duduk bersama mencari jalan keluar
sekaligus menyamakan persepsi dalam konteks UU KPK.
Sedangkan
beberapa pakar hukum lainnya mengatakan KPK-lah yang berwenang mengusut kasus
Simulator Sim. Dasarnya adalah UU KPK yang memberikan wewenang penuh. Sebagian
lagi mengatakan MoU kedudukannya adalah di bawah undang-undang, tidak ada kewajiban
hukum yang bisa dilakukan oleh para pihak penandatangan MoU jika tidak
melaksanakannya, karena strata UU lebih tinggi. Namun, ada juga beberapa
pendapat pakar hukum yang mengatakan bahwa MoU adalah perikatan yang
ditandatangani para pihak dan berfungsi sebagai UU bagi para pihak tersebut.
Melihat begitu
beragamnya pendapat para pakar hukum, tentu membuat sebagian masyarakat yang
awam melihatnya tidak lebih dari sebuah dinamika proses demokrasi. Termasuk
kita, siapapun yang berhak tidaklah peduli, yang peduli adalah sejauhmana
proses pengusutan tersebut dilakukan secara transparan, adil dan benar-benar
tidak berpihak pada yang berkepentingan. Point utamanya adalah hasil kinerja
dan keseriusan para penegak hukum memberantas korupsi di lingkungannya adalah
bukti wujud Lembaga Penegak Hukum anti Korupsi. Kita lihat saja, sejauhmana KPK
menuntaskannya dan POLRI menunjukkan itikad baiknya. Hasil dari pekerjaan rumah
tersebut biar diserahkan masyarakat sebagai penilai dan pemegang kedaulatan
tinggi di Republik ini.