Rabu, 08 Agustus 2012

KASUS SIMULATOR SIM KORPS LALULINTAS

KPK ATAUKAH POLRI YANG BERHAK ?

Gambar oleh Google
Sejak dimulainya penyelidikan kasus simulator sim di Lembaga Korps Lalulintas yang dilakukan olek KPK pada awal tahun 2012 lalu hingga pertengahan tahun 2012, memang belum menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Namun beberapa bulan kemudian, sejak Majalah Tempo mengangkat berita tentang kasus tersebut dengan judul “SIMSALABIM...., POLRI sebagai pihak yang dirugikan lantas bergerak memulai penyelidikan dengan memeriksa beberapa saksi terkait. Sayangnya, penyelidikan yang dilakukan masih berjalan di tempat hingga KPK kemudian pada akhir bulan Juli lalu menetapkan seorang Jenderal Aktif sebagai tersangka kasus Simulator SIM yang diadakan tahun 2011 lalu.
Masalah kemudian timbul ketika tim Penyidik KPK menggeledah kantor Korps Lalulintas untuk mencari barang bukti. Usai melakukan penggeledahan dan mendapatkan beberapa barang bukti, Tim Penyidik KPK tidak diperkenankan keluar meninggalkan gedung Korps Lalulintas. Aksi ini dilakukan oleh dua orang petugas jaga yang tidak membukakan palang pintu ketika Penyidik KPK berniat keluar meninggal gedung. Alasan perintah pimpinan kemudian menjadi dasar kuat bagi petugas tersebut untuk tidak membukakan pintu. Sadar akan tindakannya, beberapa pimpinan POLRI kemudian mengklrafikasikan bahwa hal tersebut dilakukan karena ada koordinasi yang belum selesai dilakukan.
Benar saja, tidak berapa lama kemudian datang pimpinan KPK dan petinggi POLRI untuk melakukan koordinasi terkait aksi penghadangan tersebut. Dan, beberapa jam kemudian mobil Penyidik KPK yang tertahan akhirnya diizinkan keluar meninggalkan gedung dengan membawa barang bukti adanya tindakan pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum Jenderal aktif di POLRI.
Sikap dan keberanian KPK yang menggeledah kantor Korps Lalulintas dan menetapkan tersangka seorang Jenderal aktif, kontan saja mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat dan LSM pegiat anti korupsi. Namun bagi POLRI, aksi KPK dianggap sebagai wanprestasi terhadap MoU yang ditandantangi bersama KPK, Kepolisian dan Kejaksaan beberapa tahun yang lalu terkait penanganan perkara menyangkut anggota para penegak hukum tersebut. Polri menyebutnya KPK telah melanggar kesepakatan.
Sadar akan seluruh publik memandang institusinya, POLRI kemudian mempercepat proses penyidikan kasus pengadaan simulator sim yang diduga merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar. Beberapa hari setelah KPK menetapkan seorang Jenderal aktif sebagai tersangka, POLRI kemudian menetapkan tersangka Pejabat Pembuat Komitmen, Ketua pengadaan dan Bendahara serta pengusaha yang terkait dengan proyek tersebut. Terhadap langkah penetapan tersebut, POLRI kemudian diketahui telah meneruskan berkas penyidikan ke Kejaksaaan.
Atas respon POLRI yang begitu cepat, publik kemudian menilai tidak pada tempatnya POLRI turut melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus Simulator SIM. Alasan yang dikemukakan adalah karena di dalam UU KPK, ketika KPK lebih dulu melakukan penyelidikan, maka hak KPK untuk melakukan segala supervisi terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam proses pengadaan Simulator Sim di Korps Lalulintas. Dan, POLRI oleh publik termasuk diantaranya adalah para profesional, advokat, akademisi, LSM dilarang untuk ikut melakukan proses hukum kasus tersebut.
Ada semacam kekhawatiran, jika POLRI ikut melakukan penyidikan, akan bertabrakan dengan kepentingan terkait kasus yang dibahas. Terhadap hal ini, beberapa masyarakat terbelah pendapatnya soal bersikerasnya POLRI ikut melakukan penyidikan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa pendapat pakar hukum yang mengemuka di media.
Yusril Ihza Mahendra, pengacara dan mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan, usai diundang oleh POLRI untuk dimintakan pendapatnya mengatakan, POLRI juga berhak untuk melakukan penyidikan. Dasar pemikirannya adalah kedudukan dan kewenangan POLRI diatur oleh konstitusi (pasal 30 ayat 4) sedangkan KPK diatur oleh undang-undang. Dengan kata lain, kedudukan konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Atas dasar tersebut, Yusril mempertanyakan apa bisa POLRI dilarang melakukan proses pengusutan.
Namun, Yusril juga memberikan solusi jika perseteruan tersebut bisa dilerai dengan melibatkan Presiden sebagai penengah kedua Lembaga Penegak Hukum yang hubungannya sedang memanas itu. Selain  itu, Yusril juga menyarankan, bila tidak juga ditemukan titik temu ada baiknya diserahkan ke MK. Jauh hari sebelum Yusril mengatakan itu, Ketua MK Mahfud MD daam satu kesempatan menyatakan bahwa persoalan siapa yang berhak membawa kasus Simulator Sim tidak bisa di bawa ke MK. Terhadap hal itu, Yusril yakin MK bisa menyelesaikannya.
Selain Yusril, Romli Atmasasmita, Pakar Hukum Pidana Internasional menyatakan, MoU yang ditandatangani oleh KPK melemahkan kewenangan KPK itu sendiri. Dalam UU KPK, Lembaga KPK diberikan wewenang melakukan supervisi terhadap perkara korupsi. Wewenang luas pengawasan inilah yang menjadikan KPK kuat menjadi Lembaga Super Body. Namun, selepas MoU ditandatangani, kewenangan KPK menjadi lemah. Atas hal tersebut Romli menyarankan kedua Lembaga duduk bersama mencari jalan keluar sekaligus menyamakan persepsi dalam konteks UU KPK.
Sedangkan beberapa pakar hukum lainnya mengatakan KPK-lah yang berwenang mengusut kasus Simulator Sim. Dasarnya adalah UU KPK yang memberikan wewenang penuh. Sebagian lagi mengatakan MoU kedudukannya adalah di bawah undang-undang, tidak ada kewajiban hukum yang bisa dilakukan oleh para pihak penandatangan MoU jika tidak melaksanakannya, karena strata UU lebih tinggi. Namun, ada juga beberapa pendapat pakar hukum yang mengatakan bahwa MoU adalah perikatan yang ditandatangani para pihak dan berfungsi sebagai UU bagi para pihak tersebut.
Melihat begitu beragamnya pendapat para pakar hukum, tentu membuat sebagian masyarakat yang awam melihatnya tidak lebih dari sebuah dinamika proses demokrasi. Termasuk kita, siapapun yang berhak tidaklah peduli, yang peduli adalah sejauhmana proses pengusutan tersebut dilakukan secara transparan, adil dan benar-benar tidak berpihak pada yang berkepentingan. Point utamanya adalah hasil kinerja dan keseriusan para penegak hukum memberantas korupsi di lingkungannya adalah bukti wujud Lembaga Penegak Hukum anti Korupsi. Kita lihat saja, sejauhmana KPK menuntaskannya dan POLRI menunjukkan itikad baiknya. Hasil dari pekerjaan rumah tersebut biar diserahkan masyarakat sebagai penilai dan pemegang kedaulatan tinggi di Republik ini.