Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri
Cobalah Anda pikir agak tenang tanpa
mengikutsertakan kesenangan Anda sendiri, mungkin Anda pun -- seperti
orang yang tidak senang atau tidak paham sepak bola -- merasa geli
melihat 22 orang dewasa –-sebelas lawan sebelas-- berlari-lari
memperebutkan dengan serius sebuah benda bundar.
Kecuali dua orang yang bertindak
menjaga gawang yang tidak banyak berlari; cukup mempertahankan dan
menangkap bola bila bola mengarah ke gawangnya. (Berbeda dengan yang
lainnya, kedua orang ini tidak mutlak dilarang memegang bola). Anehnya
bila bola sudah terebut, langsung --atau dibawa sebentar kemudian--
disepak lagi untuk diperebutkan kembali. Sering kali, meski sudah ada
wasit lapangan dan wasit-wasit garis yang memimpin pertandingan,
orang-orang dewasa yang memperebutkan bola itu sampai berantem. Bila
karena terlalu sengit berebut bola lalu terjadi tabrakan antar pemain
dan wasit sudah menentukan bola diberikan kepada pihak tertentu, pihak
ini pun malah menendangnya kembali. Bayangkan bila perebutan 11 x 11
orang dewasa ini tanpa wasit yang memimpin atau wasitnya seperti
kebanyakan wasit negeri ini.
Sungguh absurd sebenarnya. Namun absurd tidak absurd, permainan sepak-menyepak bola yang konon cikal-bakalnya berasal dari permainan Tsu-chu Cina zaman dinasti Han, 3-4 abad sebelum Masehi itu adalah olah raga yang paling –atau setidaknya termasuk yang paling– digemari di dunia. Bahkan sejak distandardkan dengan pembentukan Football Association di Inggris tahun 1863 dan terbentuknya federasi sepak bola dunia (FIFA) tahun 1907, permainan ini bukan saja semakin meluas popularitasnya, perkembangannya pun terus semakin canggih. Bukan saja dari segi sistem dan teknik permainan, melainkan juga pengorganisasiannya terus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Apalagi setelah bisnis dan kemajuannya –sebagaimana dalam banyak permainan yang lain-- ikut campur dalam menentukan kehadiran dan perkembangannya.
Seperti biasa dan seperti pada banyak hal, negara-negara maju yang memiliki kelebihan di hampir semua segi kehidupan, peranannya sangat besar bahkan menentukan dalam membawa permainan itu ke derajat ‘terhormat’ dan digilai hampir semua lapisan masyarakat dunia seperti sekarang ini. Jangankan sepak bola, permainan yang berbahaya dan sangat tidak manusiawi pun --paling tidak menurut sebagian kalangan– seperti tinju, di tangan mereka, bisa menjadi olah raga yang dicandui; sudah tentu setelah menjadi tambang fulus bagi mereka.
Memang mereka –orang-orang di negeri maju– itu, barangkali karena kelebihan mereka di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ditambah disiplin dan keseriusan mereka, bagi kita di negeri berkembang ini bagaikan tukang sihir saja laiknya. Kebalikan dari kita yang menggarap hal-hal penting seperti main-main saja, mereka bahkan permainan bisa disulap menjadi hal yang sangat serius dan penting. Seperti sepak bola itu misalnya, dengan kelihaian mereka mengemas dan menawarkannya, dunia pun dibuat keranjingan terhadapnya sesuai kemauan mereka. Negara-negara penggandrung sepak bola yang mereka nilai kaya dengan potensi sumberdaya pemain, mereka pacu dan support. Permainan sederhana, amatiran, dan bisa dimainkan dimana saja -- dengan pemain berapa saja, dengan pakaian apa saja (bahkan tanpa pakaian sekalipun), dan dengan bola apa saja (dengan bola gombal sekalipun) – itu mereka profesionalkan dan bisniskan dengan cara yang amat canggih. Dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, permainan sepak bola pun akhirnya menjadi ‘agenda dunia’ yang penting dan sangat merampas perhatian.
Termasuk kita disini, dimana sepak bola –seperti hal-hal yang lain, hanya sibuk dibicarakan dan dipertengkarkan-- pertandingan sepak bola manca negara merupakan ‘acara wajib’ yang ikut mengatur irama dan gaya hidup kita. Pers dengan semangat patriotisme, berlomba-lomba memberitakan dan menayangkan setiap pertandingan. Ulasan dan analisis sepak bola yang ndaqik-ndaqik pun memenuhi media massa. Jadwal pertandingan dan kompetisi mereka --hingga yang bersifat lokal-- pun kita catat. Gol-gol terbaik dalam setiap pertandingan, kita bukukan.
Nama-nama pemain klub-klub disana – apalagi yang menjadi bintang (umumnya pemain yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan, pemain yang paling pandai mempertahankan gawang, yang paling lihai membawa atau merebut bola)– kita hafal melebihi nama-nama para pemain klub-klub di tanah air sendiri. Siapa yang tak kenal Pele –konon dari rangkaian kata Portugis, Pe kependekan dari kaki dan le dari malas– alias Edison Arantes do Nascimento dari Brazil yang dijuluki Si Kaki emas dan sejak 7 September 1956 hingga 2 Oktober 1974 memasukkan bola 1216 gol? Siapa tidak kenal Libero Franz Beckenbauer dari Jerman Barat; Johan Cruyff dari Belanda; Diego Maradona dari Argentina; atau bomber Inter Milan asal Brazil, Ronaldo Luis Nazario. Bahkan banyak bayi lahir yang dinamai dengan nama-nama seperti Eka Maradona, Mohammad Maldini, Supele, Rosyat Baggio, dll.
Pendek kata, sepak bola sudah menjadi semacam virus yang membuat demam dunia. Lihatlah, betapa pers, termasuk di kita, sudah geger mempersiapkan diri menyambut World Cup 1998 yang masih akan digelar Juni-Juli mendatang. Rubrik-rubrik sudah diplot; pengulas-pengulas (di negeri ini pengulas sepak bola jauh lebih banyak dan lebih lihai katimbang pemain sepak bola) sudah mulai diincar atau dikontrak; tv-tv sudah mengiklankan jadwal-jadwal pertandingan; dsb. dst.
Itu semua tentu tidak lepas dari kelihaian para pencari materi (duit) yang tahu persis bagaimana memanfaatkan permainan yang menjadi kegemaran hampir semua orang itu. Mereka yang paling lihai, paling kreatif, dan paling serius, akan mendapat keuntungan paling banyak. Karena di zaman ini, sepak bola –sebagaimana banyak permainan yang lain– tidak hanya merupakan olah raga atau apalagi permainan pengisi waktu senggang. Sepak bola di zaman ini sudah pula berarti bisnis; gengsi; entertainment; dlsb.
Kecuali mereka yang memang tidak suka dan tidak paham sepak bola, kiranya tak ada lagi orang yang merasa geli melihat 22 orang dewasa berlari-lari berebut bola untuk ditendang kembali setelah berhasil merebutnya. Sedangkan melihat mereka yang membahas, mengkalkulasi, menyeminarkan, bahkan mendirikan sekolah untuk itu pun, rasanya tak ada yang merasa aneh dan geli.
Tapi itulah hidup. Hidup tak lebih dari permainan, seperti permainan sepak bola itu. Orang berlari-lari, berebut sesuatu yang sepele untuk kemudian dilepas dan dikejar-kejar lagi. Mereka yang mengejar dan berebut harta misalnya, setelah berhasil mendapatkannya, ada yang dilepas secara sukarela, ada terpaksa dilepaskannya. Demikian pula mereka yang mengejar dan berebut kursi atau kekuasaan.
Untuk merebut, kalau perlu menyikut, menendang, dan menginjak saudara sendiri. Yang gede menggunakan ke-gede-annya; yang mempunyai kepintaran menggunakan kepintarannya; yang kuat memanfaatkan kekuatannya; dan sebagainya dan seterusnya. Karena itu, sebagaimana dalam permainan sepak bola juga, aturan dan ketaatan terhadap aturan permainanlah yang paling menentukan enak atau tidaknya permainan itu dimainkan dan ditonton. Sebaliknya ke-tiadaan-aturan atau ketiadaan ketaatan terhadap aturan-lah yang membuat rusak permainan. Apalagi apabila penyelenggara dan pimpinan permainan sendiri sudah tidak mempunyai itikad untuk menegakkan aturannya.