Jumat, 20 April 2012

Permainan Sepakbola


Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri

Cobalah Anda pikir agak tenang tanpa mengikutsertakan kesenangan Anda sendiri, mungkin Anda pun -- seperti orang yang tidak senang atau tidak paham sepak bola -- merasa geli melihat 22 orang dewasa –-sebelas lawan sebelas-- berlari-lari memperebutkan dengan serius sebuah benda bundar.

Kecuali dua orang yang bertindak menjaga gawang yang tidak banyak berlari; cukup mempertahankan dan menangkap bola bila bola mengarah ke gawangnya. (Berbeda dengan yang lainnya, kedua orang ini tidak mutlak dilarang memegang bola). Anehnya bila bola sudah terebut, langsung --atau dibawa sebentar kemudian-- disepak lagi untuk diperebutkan kembali. Sering kali, meski sudah ada wasit lapangan dan wasit-wasit garis yang memimpin pertandingan, orang-orang dewasa yang memperebutkan bola itu sampai berantem. Bila karena terlalu sengit berebut bola lalu terjadi tabrakan antar pemain dan wasit sudah menentukan bola diberikan kepada pihak tertentu, pihak ini pun malah menendangnya kembali. Bayangkan bila perebutan 11 x 11 orang dewasa ini tanpa wasit yang memimpin atau wasitnya seperti kebanyakan wasit negeri ini.

Sampai suatu saat, bila ada salah seorang di antara 22 orang itu yang berhasil menendang dan memasukkan bola ke gawang lawan yang dijaga mati-matian oleh penjaganya, semua --kecuali pihak yang kemasukan dan pendukung-pendukungnya– pun bersorak-sorai gembira. Kemudian bola pun ditaruh di tengah lagi untuk diperebutkan kembali. Begitulah permainan yang betul-betul permainan ini berlangsung cukup lama, resminya 2 x 45 menit, kecuali bila ada perpanjangan waktu. (Di Pensylvania Amerika Serikat, malah pernah ada pertandingan –antara dua kesebelasan dari Muhlenberg College-- sampai 48 jam nonstop, tanpa pemain pengganti). Seperti setiap permainan yang lain, dalam sepak bola ini pun harus ada yang menang. Yang menang adalah yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan.

Sungguh absurd sebenarnya. Namun absurd tidak absurd, permainan sepak-menyepak bola yang konon cikal-bakalnya berasal dari permainan Tsu-chu Cina zaman dinasti Han, 3-4 abad sebelum Masehi itu adalah olah raga yang paling –atau setidaknya termasuk yang paling– digemari di dunia. Bahkan sejak distandardkan dengan pembentukan Football Association di Inggris tahun 1863 dan terbentuknya federasi sepak bola dunia (FIFA) tahun 1907, permainan ini bukan saja semakin meluas popularitasnya, perkembangannya pun terus semakin canggih. Bukan saja dari segi sistem dan teknik permainan, melainkan juga pengorganisasiannya terus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Apalagi setelah bisnis dan kemajuannya –sebagaimana dalam banyak permainan yang lain-- ikut campur dalam menentukan kehadiran dan perkembangannya.

Seperti biasa dan seperti pada banyak hal, negara-negara maju yang memiliki kelebihan di hampir semua segi kehidupan, peranannya sangat besar bahkan menentukan dalam membawa permainan itu ke derajat ‘terhormat’ dan digilai hampir semua lapisan masyarakat dunia seperti sekarang ini. Jangankan sepak bola, permainan yang berbahaya dan sangat tidak manusiawi pun --paling tidak menurut sebagian kalangan– seperti tinju, di tangan mereka, bisa menjadi olah raga yang dicandui; sudah tentu setelah menjadi tambang fulus bagi mereka.

Memang mereka –orang-orang di negeri maju– itu, barangkali karena kelebihan mereka di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ditambah disiplin dan keseriusan mereka, bagi kita di negeri berkembang ini bagaikan tukang sihir saja laiknya. Kebalikan dari kita yang menggarap hal-hal penting seperti main-main saja, mereka bahkan permainan bisa disulap menjadi hal yang sangat serius dan penting. Seperti sepak bola itu misalnya, dengan kelihaian mereka mengemas dan menawarkannya, dunia pun dibuat keranjingan terhadapnya sesuai kemauan mereka. Negara-negara penggandrung sepak bola yang mereka nilai kaya dengan potensi sumberdaya pemain, mereka pacu dan support. Permainan sederhana, amatiran, dan bisa dimainkan dimana saja -- dengan pemain berapa saja, dengan pakaian apa saja (bahkan tanpa pakaian sekalipun), dan dengan bola apa saja (dengan bola gombal sekalipun) – itu mereka profesionalkan dan bisniskan dengan cara yang amat canggih. Dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, permainan sepak bola pun akhirnya menjadi ‘agenda dunia’ yang penting dan sangat merampas perhatian.

Termasuk kita disini, dimana sepak bola –seperti hal-hal yang lain, hanya sibuk dibicarakan dan dipertengkarkan-- pertandingan sepak bola manca negara merupakan ‘acara wajib’ yang ikut mengatur irama dan gaya hidup kita. Pers dengan semangat patriotisme, berlomba-lomba memberitakan dan menayangkan setiap pertandingan. Ulasan dan analisis sepak bola yang ndaqik-ndaqik pun memenuhi media massa. Jadwal pertandingan dan kompetisi mereka --hingga yang bersifat lokal-- pun kita catat. Gol-gol terbaik dalam setiap pertandingan, kita bukukan.

Nama-nama pemain klub-klub disana – apalagi yang menjadi bintang (umumnya pemain yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan, pemain yang paling pandai mempertahankan gawang, yang paling lihai membawa atau merebut bola)– kita hafal melebihi nama-nama para pemain klub-klub di tanah air sendiri. Siapa yang tak kenal Pele –konon dari rangkaian kata Portugis, Pe kependekan dari kaki dan le dari malas– alias Edison Arantes do Nascimento dari Brazil yang dijuluki Si Kaki emas dan sejak 7 September 1956 hingga 2 Oktober 1974 memasukkan bola 1216 gol? Siapa tidak kenal Libero Franz Beckenbauer dari Jerman Barat; Johan Cruyff dari Belanda; Diego Maradona dari Argentina; atau bomber Inter Milan asal Brazil, Ronaldo Luis Nazario. Bahkan banyak bayi lahir yang dinamai dengan nama-nama seperti Eka Maradona, Mohammad Maldini, Supele, Rosyat Baggio, dll.

Pendek kata, sepak bola sudah menjadi semacam virus yang membuat demam dunia. Lihatlah, betapa pers, termasuk di kita, sudah geger mempersiapkan diri menyambut World Cup 1998 yang masih akan digelar Juni-Juli mendatang. Rubrik-rubrik sudah diplot; pengulas-pengulas (di negeri ini pengulas sepak bola jauh lebih banyak dan lebih lihai katimbang pemain sepak bola) sudah mulai diincar atau dikontrak; tv-tv sudah mengiklankan jadwal-jadwal pertandingan; dsb. dst.

Itu semua tentu tidak lepas dari kelihaian para pencari materi (duit) yang tahu persis bagaimana memanfaatkan permainan yang menjadi kegemaran hampir semua orang itu. Mereka yang paling lihai, paling kreatif, dan paling serius, akan mendapat keuntungan paling banyak. Karena di zaman ini, sepak bola –sebagaimana banyak permainan yang lain– tidak hanya merupakan olah raga atau apalagi permainan pengisi waktu senggang. Sepak bola di zaman ini sudah pula berarti bisnis; gengsi; entertainment; dlsb.

Kecuali mereka yang memang tidak suka dan tidak paham sepak bola, kiranya tak ada lagi orang yang merasa geli melihat 22 orang dewasa berlari-lari berebut bola untuk ditendang kembali setelah berhasil merebutnya. Sedangkan melihat mereka yang membahas, mengkalkulasi, menyeminarkan, bahkan mendirikan sekolah untuk itu pun, rasanya tak ada yang merasa aneh dan geli.

Tapi itulah hidup. Hidup tak lebih dari permainan, seperti permainan sepak bola itu. Orang berlari-lari, berebut sesuatu yang sepele untuk kemudian dilepas dan dikejar-kejar lagi. Mereka yang mengejar dan berebut harta misalnya, setelah berhasil mendapatkannya, ada yang dilepas secara sukarela, ada terpaksa dilepaskannya. Demikian pula mereka yang mengejar dan berebut kursi atau kekuasaan.
Untuk merebut, kalau perlu menyikut, menendang, dan menginjak saudara sendiri. Yang gede menggunakan ke-gede-annya; yang mempunyai kepintaran menggunakan kepintarannya; yang kuat memanfaatkan kekuatannya; dan sebagainya dan seterusnya. Karena itu, sebagaimana dalam permainan sepak bola juga, aturan dan ketaatan terhadap aturan permainanlah yang paling menentukan enak atau tidaknya permainan itu dimainkan dan ditonton. Sebaliknya ke-tiadaan-aturan atau ketiadaan ketaatan terhadap aturan-lah yang membuat rusak permainan. Apalagi apabila penyelenggara dan pimpinan permainan sendiri sudah tidak mempunyai itikad untuk menegakkan aturannya.

Kamis, 19 April 2012

Bantuan Hukum dan Hak Konstitusi Rakyat


Lahirnya Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menjelang akhir tahun 2011 lalu, sedikit banyaknya memberi gambaran mengenai komitmen kuat pemerintah di bidang hukum khususnya akses terhadap keadilan (pemberian bantuan hukum) bagi orang atau kelompok orang miskin di Indonesia.

Kuatnya komitmen pemerintah terhadap pemberian bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu merupakan indikasi keberpihakan pada kepentingan rakyat. Sebagaimana tujuan pemerintah yang termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia alinea ke empat yang menyatakan “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Kutipan dari pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke empat menunjukkan bahwa jaminan dan perlindungan bagi rakyat tertulis lekat dalam Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain, rakyat mempunyai hak konstitusi yang dilindungi oleh Undang-undang, sedangkan kewajiban pemerintah adalah melaksanakannya dalam kehidupan bernegara dan kehidupan sosial bermasyarakat, salah satunya adalah memberikan jaminan dan perlindungan hukum serta pengakuan persamaan dihadapan hukum.

Sebagaimana disebutkan di dalam pasal 27 (1) UUD NRI 1945 “segala warga negara bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Kemudian di dalam pasal 28 D (1) mengatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dengan kata lain, pasca reformasi 1998 hingga saat ini, negara memberikan jaminan akan perlindungan hukum dan persamaan kedudukan dihadapan hukum dengan tidak mengenal kelas, siapapun itu.

Perlindungan hukum yang lekat dewasa ini erat dikaitkan dengan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat kurang mampu. Terhadap usaha ini pemerintah, sebelumnya melalui lembaga yudikatif (Mahkamah Agung) bersama-sama dengan Lembaga Bantuan Hukum bahu membahu memberikan pelayanan bantuan hukum terutama untuk masyarakat miskin yang tersandung masalah hukum dan tidak sanggup untuk membayar jasa pengacara.

Memperhatikan hal demikian, sebagai solusi terhadap permasalahan tersebut, kini masyarakat kurang mampu bisa menghubungi Lembaga Bantuan Hukum di sekitar tempat tinggalnya. Mereka hanya datang dan menceritakan inti permasalahan, setelahnya mereka tinggal membuatkan surat kuasa khusus kepada advokat untuk pendampingan ketika ada panggilan sidang. Sedangkan advokat sendiri, akan mempertimbangkan sekaligus memberikan jawaban yang responsif apakah bersedia mendampingi atau tidak, disertai dengan alasan-alasan yang meyakinkan.

Bila advokat yang berkantor di Lembaga Bantuan Hukum menerima untuk melakukan pendampingan, bisa dipastikan segala persyaratan menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku telah dipenuhi sebagaimana undang-undang Bantuan Hukum dan peraturan pelaksana lainnya.

Ketika bicara tentang aturan pelaksana lainnya, maka tidak lepas dari peran peraturan pemerintah dan peraturan teknis seperti peraturan menteri. Sebagai gambaran, saat ini pemerintah tengah menggodok peraturan pemerintah tentang bantuan hukum. Bersama ahli hukum kemudian instansi yang terkait dan lembaga swadaya masyarakat serta beberapa lembaga bantuan hukum, peraturan pemerintah terkait bantuan hukum diharapkan bisa selesai dalam tahun 2012, termasuk peraturan pelaksana teknis lainnya seperti peraturan menteri tentang standarisasi bantuan hukum dan verifikasi maupun akreditasi lembaga bantuan hukum.

Dengan terbitnya undang-undang Bantuan Hukum yang baru, pelaksanaan penyelenggaraan bantuan hukum yang tadinya di Mahkamah Agung, kini beralih ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu, undang-undang Bantuan Hukum juga menegaskan, Dewan Perwakilan Rakyat diberikan mandat untuk melakukan pengawasan dan pelaporan hasil pelaksanaan bantuan hukum. Artinya, pertanggungjawaban pelaksanaan bantuan hukum oleh pemerintah Cq Kementerian Hukum dan HAM diserahkan kepada DPR, bukan kepada Presiden.

Namun apapun itu, yang terpenting adalah pelaksanaan bantuan hukum bisa tepat ke sasaran. Jaminan perlindungan hukum dan akses terhadap keadilan bagi masyarakat kurang mampu, berjalan sesuai dengan arah yang tepat. Diharapkan manfaat dari pemberian bantuan hukum bisa langsung dirasakan masyarakat sebagaimana hak konstitusi yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara 1945 kepada masyarakat.

Sinergi kuat antara penerima bantuan hukum, pemberi bantuan hukum dan penyelenggara bantuan hukum adalah wujud dari implementasi cita-cita negara yang ingin mewujudkan masyarakat adil dan makmur.