Oleh : Abdul Rachman Saleh
Pada tahun 1970, Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta didirikan oleh Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) yang
merupakan brainchild aktifis/pejuang hukum pada saat itu, Advokat
Adnan Buyung Nasution. Seperti yang pernah dicatat oleh Profesor Daniel S Lev
(2002), sejak LBH didirikan, fungsi dan kiprahnya tidak terbatas pada
representasi hukum klien tidak mampu di pengadilan, tetapi LBH telah menjadi
pusat pemikiran yang mengkritik praktek orde baru (most prominent centre of criticism and critical thingking).
Salah satu efek yang paling
signifikan dari pendirian LBH adalah kemampuan mempersoalkan (challenging) asumsi-asumsi ideologis
orde baru pada saat itu seperti Demokrasi Pancasila dan gagasan integralistik
dimana negara dan masyarakat sebagai suatu hal yang identik. Negara tidak lebih
dari masyarakat yang ditata, dijaga ketertibannya, diperintah atau dikendalikan
oleh negara (state & society were
fused in a benevolent whole).
Selama perjalanannya, gagasan
bantuan hukum struktural (structural
legal aid) kemudian diperkenalkan dan disahkan sebagai ideologi kerja LBH
pada Lokakarya Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh LBH Jakarta, pada tahun
1978 dan Lokakarya Bantuan Hukum di Parapat Medan (diselenggarakan YLBHI) pada
tahun 1980.
Bantuan hukum struktural (BHS),
istilah yang diperkenalkan oleh Prof. Paul Mudikdo, bertujuan membangun
kesadaran hukum masyarakat (diistilahkan dengan “konsientisasi” istilah dari
Brazilian Paulo Freire yang mengembangkan konsep-konsep pendidikan orang dewasa
“Pedagogy of the Oppressed”, 1970)
agar masyarakat tersebut mampu untuk mempertahankan serta memperjuangkan haknya
dan merubah struktur sosial yang penuh dengan ketimpangan (unjust social structure).
Sejak istilah BHS diperkenalkan
pada tahun 1980-an, BHS kemudian dikenal luas oleh komunitas hukum, terlebih
lagi setelah Wakil Presiden Adam Malik pada saat itu menyosialisasikannya di
Kongres Himpunan Ahli-Ahli Ilmu Sosial di Manado pada tahun 1979.
Seperti yang dinyatakan Profesor
Daniel S Lev (2002) LBH wen much beyond
representation of indigent clients in civil and criminal matters to address
equally imprtant issues of political legal change.
Dengan perkataan lain, peran LBH pada saat itu mencakup :
Dengan perkataan lain, peran LBH pada saat itu mencakup :
1) Pendampingan klien di pengadilan (legal representation of the indigent clients)
– litigasi individu atau litigasi kepentingan publik (public interest litigation);
2) Penguatan kelompok masyarakat yang
termarjinalkan melalui program-program penyadaran;
3) Berada di garis terdepan dalam mempersoalkan
asumsi-asumsi ideologis, konsep ketatanegaraan, praktek pemerintahan dan
praktek penegakkan hukum;
4) Menjadi “tuan rumah” dan teman diskusi bagi
orang orang dan kelompok yang tidak disukai dan dimusuhi oleh pemerintahan Soeharto
karena sikap mereka yang kritis terhadap pemerintahan;
5) Mendorong perubahan kebijakan (policy & legislation reform). Peran
yang terakhir ini merupakan peran LBH yang paling lemah diantara peran-peran
lainnya. Sehingga tidak berjalan sebagaimana peran pendampingan hukum.
Sekarang ini istilah acces to justice sangat popular dihampir seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di
Indonesia, khususnya dikalangan donor. Secara umum UNDP memberi definisi acces to justice sebagai berikut : “the ability of people to seek and obtain
rememdy through formal and informal institution of justice and in conformity
within human rights standars” (kemampuan masyarakat untuk medapatkan
pemulihan hak yang dilanggar melalui sarana formal maupun informal dan
disesuaikan dengan standar hak asasi manusia).
Sedangkan perkembangan di Amerika
Utara, perkembangan acces to justice
paling tidak diidentifikasi ke dalam 3 gelombang (M. Cappelletti dan B Garth,
1978) : Gelombang pertama, pertumbuhan bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu.
Bantuan hukum semacam ini diistilahkan dengan bantuan hukum konvensional;
Gelombang kedua orientasi acces to
justice sudah mulai berkembang dari bantuan hukum konvensional (gelombang
pertama) ke pengembangan public interest
litigation dengan pengembangan hak-hak prosedural yang memudahkan komunitas
kolektif mengajukan pemulihan hak yang dilanggar melalui pengadilan, seperti
halnya class action; Gelombang Ketiga
mulai disadari pentingnya alternative
dispute resolution (ADR) dan pembaruan peradilan, seperti pengembangan
akses masyarakat terhadap informasi pengadilan.
Melihat konteks perkembangan acces to justice di negara-negara
tersebut, maka acces to justice ini
pada dasarnya terkait dengan isu bantuan hukum (legal aid) dan akses beracara dipengadilan secara efektif (acces to court).
Apabila mengikuti teori 3 (tiga)
gelombang (three waves) acces to justice Capelletti dan Garth
(1978), maka yang paling relevan untuk dikembangkan di Indonesia adalah
gelombang ketiga, dimana terdapat suatu kesadaran untuk pembenahan sistem
peradilan dan pencarian alternatif penyelesaian sengketa yang dirasakan lebih
adil bagi masyarakat.
Dalam konteks ke Indonesia-an,
maka perjuangan dalam memajukan access to
justice hendaknya diarahkan kepada kegiatan yang diistilahkan beyond the third wave of access to justice,
dengan maksud sebagai berikut : (1) pencegahan terjadinya sengketa hukum untuk
mendorong social harmony. Hal ini
berarti program access to justice tidak
selalu harus dikaitkan dengan pengadilan, tetapi jauh sebelum persoalan
diselesaikan melalui pengadilan seperti tersedianya prosedur pengaduan
masyarakat seperti ombudsman, public complaint system atau sistem ADR
tradisional dan modern; (2) pengembangan hak-hak prosedural masyarakat yang
diperlukan dalam public interest
litigation seperti class action, legal standing Ornop, strict liability, pembuktian terbalik
dan lain sebagainya; (3) pembaruan sistem peradilan seperti halnya pembaruan
peradilan, kejaksaan dan kepolisian untuk memastikan bahwa rasa keadilan
masyarakat benar-benar terpenuhi; (4) pendampingan hukum (beyond legal representation dimuka pengadilan) bagi kelompok
masyarakat marjinal, yang dilakukan oleh pro
bono lawyers pekerja bantuan hukum dan paralegal.
Untuk yang ke empat ini
kolaborasi dan membangun jaringan antara Bar
Association, LBH-LBH dan paralegal-paralegal yang banyak difasilitasi oleh
Ornop perlu terus dilakukan dan diperkuat. Gagasan mengembangkan masyarakat
bantuan hukum oleh karenanya merupakan gagasan yang penting dan menarik untuk
diwujudkan.
Dari keempat program pokok access to justice tersebut di atas maka
peran Kantor LBH di bawah naungan YLBHI, LBH Universitas dan LBH-LBH lainnya
menjadi sangat penting tidak saja sebagai pengembang kebijakan, pelaku advokasi
hukum serta pendamping masyarakat, juga sebagai paralegal capacity builders. Peran paralegal menjadi sangat penting
karena jumlah pro bono lawyers di
Indonesia sangat kecil, dan masih sedikitnya jumlah pekerja bantuan hukum
dibandingkan rasio wilayah dan jumlah populasi yang sangat besar.
Program-program access to justice di atas menuntut
pekerja bantuan hukum LBH dari berbagai kelembagaan memiliki kapasitas
(kualitas dan integritas) yang sangat baik. Sudah saatnya profesionalisasi di
bidang pelayanan bantuan hukum, pendampingan di tingkat akar rumput sebagai
bagian dari pendidikan hukum masyarakat, penelitian dan perancangan draft kebijakan dilakukan dengan sangat
komprehensif dan sistematis. Termasuk di dalamnya cara membangun etika advokasi
kebijakan bersama pemangku kepentingan lain seperti pemerintah dengan lebih
elegan untuk melestarikan kerjasama dan berjaringan.