Senin, 28 Maret 2011

Jam Kerja PNS yang Flexibel, Tingkatkan Kinerja

Gambar oleh : Indonesianic.wordpress.com






Pekerja sektor bisnis, perkantoran dan riil di kota besar macam Jakarta setiap hari selalu dihinggapi rasa serba salah terhadap penurunan kualitas kinerja. Menjadi sebuah masalah baru jika ditanggapi serius oleh pimpinan sebagai suatu hal yang mau tidak mau, suka tidak suka pekerja wajib tunduk dan patuh pada ketentuan tempat kerja. Pada tataran ini, aturan jam masuk kerja menjadi biang masalah yang paling dominan. Tidak terhitung berapa kali pekerja mengalami keterlambatan hingga beberapa jam dari waktu yang ditentukan yang pada gilirannya mengurangi kinerja si pekerja.

Sebenarnya, bila dilihat secara utuh, aturan jam masuk kerja sudah menjadi kesepakatan antara pengusaha, pemerintah dan pekerja yang diwakili serikat pekerja. Menurut UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 77 (2) point b dijelaskan bahwa waktu kerja diberikan selama 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Ketentuan ini menjadi dasar bagi pengusaha untuk menentukan jam mulai kerja yang dituangkan dalam Kesepakatan Kerja (KKB). Sebagai contoh, banyak pengusaha di kota besar dan sekitarnya menetapkan jam kerja mulai jam 08.00 hingga 16.00. Tak terkecuali Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk PNS aturan mainnya didasarkan pada UU No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974. Penetapan masuk jam kerja pada prinsipnya merupakan implementasi dari pemberlakuan UU No. 13 Tahun 2003 dan juga UU No. 43 Tahun 1999 bagi PNS sudah sangat memadai, hanya pemberlakuan aturan jam masuk kerja (08.00 pagi) tidak disertai dengan antisipasi kondisi di lapangan pada waktu yang akan datang.

Apa sebab ? Aturan jam masuk kerja didasarkan pada keluarnya UU No. 13 tahun 2003 maupun UU. No. 43 Tahun 1999 yang otomatis, pengusaha maupun pimpinan segera merespons dengan membuat aturan jam masuk kerja dan dituangkan dalam aturan turunannya seperti di kalangan pengusaha berlaku Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Menjadi permakluman, ketika aturan itu dibuat sudah menyesuaikan kondisi di lapangan, seperti jarak tempuh dan biaya transportasi yang dikeluarkan. Pun begitu, sama sekali belum terpikirkan oleh pengusaha maupun pimpinan instansi pemerintah dengan meningkatnya jumlah pengendara bermotor. Melihat realitas di lapangan pengusaha maupun pemerintah harus kembali mengkalkulasi aturan jam masuk kerja. Memang benar dengan bertambahnya jumlah pemakai kendaraan bermotor (pribadi) menjadi tanda bahwa perekonomian hidup dan gerak industrialisasi menjadi lebih cepat sesuai tuntutan permintaan pasar.

Penulis mencatat, seiring berkembang pesatnya era industrialiasi, pekerja dituntut untuk meningkatkan kinerjanya sebagai bagian dari dampak globalisasi industri. Terlepas dari itu, sebenarnya bukan menjadi masalah buat pekerja meningkatkan kinerjanya. Yang menjadi masalah adalah ketika setiap tempat kerja menerapkan aturan jam masuk kerja yang sama. Bisa dibayangkan, seiring meningkatnya jumlah kendaraan tidak saja kendaraan pribadi, ada angkot dan bus serta armada taksi, belum lagi angkot gelap atau tukang ojek berjubel jadi satu memenuhi jalanan. Dampaknya sudah bisa diduga, kemacetan yang luar biasa. Belum lagi tidak adanya jumlah penambahan jalan. Hal ini menjadi suatu penyakit akut yang serius terhadap kinerja pekerja. Jikalau pengusaha, pemerintah menutup mata atas realita yang ada, maka tidak mungkin kinerja semua sektor usaha termasuk kantor pemerintahan menjadi stagnan alias mandul. Performanya menurun, dan menjadi santapan para pendemo yang tidak puas.

Kondisi yang tidak menentu ini harus dicarikan jalan keluarnya agar kinerja terhadap pegawai atau pekerja bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan kualitasnya. Berembuk duduk bersama adalah solusi yang baik. Jangan di satu sisi pemerintah maupun pengusaha ingin menggenjot kinerja tetapi aspek lainnya terlewatkan begitu saja. Rasa optimisme bisa diraih jika masalah mempunyai jalan keluar.

Penulis mengusulkan, Sebagaimana amanat UU No. 13 tahun 2003 dan UU No. 43 Tahun 1999, guna meningkatkan kinerja PNS dan pekerja sektor swasta bisa diberlakukan jam masuk kerja yang fleksibel. Sebagai contoh, jam kerja tetap 8 jam sehari, hanya aturan main diutamakan pada kapan si PNS atau pekerja sektor swasta masuk mengisi absensi. Perhitungan dilakukan berdasarkan masuk absensi dan pulang absensi disesuaikan dengan jam masuk absensi (waktu kerja 8 jam/hari), tidak boleh kurang dan jika melebihi, dihitung dengan overtime. Batasan masuk absensi yang diberikan kembali diserahkan kepada pemerintah maupun pengusaha dengan mempertimbangkan faktor kondisi jalan dan jarak tempuh yang dilalui menuju kantor atau tempat kerja. Misal masuk jam (07.00 – 15.00), (07.30 – 15.30), (08.00 – 16.00), (08.30 – 16.30), (09.00 – 15.00). Dengan waktu yang fleksibel, ketentuan dari UU N0. 13 Tahun 2003 dan UU No. 43 Tahun 1999 tetap terpenuhi. Tidak mengurangi hak maupun kewajiban masing-masing pihak. Kinerja yang diharapkan senantiasa terjaga dan bisa ditingkatkan. Hubungan pekerja dengan pengusaha maupun PNS dan pimpinan instansi menjadi hubungan kerja yang harmonis, toleransi.

Dengan penerapan fleksibility time seperti contoh di atas, bisa menghindarkan dari kemacetan, mengurangi beban jalan pada waktu padat dan satu hal yang pasti tidak ada penumpukkan kendaraan di jalan yang berujung kemacetan. Bisa di jamin macet tidak ada lagi. Selain itu ada pendistribusian sewa penumpang menjadi sama rata bagi pengusaha armada bus kota dan angkutan kota. Tidak ada jubel-jubelan, armada juga terawat. Penumpang sehat

Bagaimana pemerintah, pengusaha ? tertarik....