![]() |
Ilustrasi |
Cerita itu bermula dari ketertarikan terhadap permainan tradisional
yang bernama ‘petak umpat’. Dulu di
era penulis saat usia kanak-kanak, sekitar tahun 1980-an ‘petak umpat’ merupakan permainan favorit anak sekampung. Permainan
ini diikuti oleh beberapa anak yang jumlahnya tidak dibatasi.
Cara permainannyapun sangat simple
dan mudah dipahami anak-anak. Ada yang berperan sebagai ‘jaga’ benteng dan ada juga yang berperan sebagai ‘yang ngumpat’. Yang jaga biasanya, kalah
setelah diundi dengan cara ‘hompimpah’
(banyak-banyak jumlah telapak tangan bagian dalam atau luar) atau ketika
tersisa dua yang sedikit maka dilakukan apa yang namanya ‘suit’. Nah hasil ‘suit’
inilah menentukan siapa yang harus ‘jaga’,
sisanya berperan sebagai ‘yang ngumpat’.
Setelah itu, dimulailah permainan tersebut dengan memberikan tugas
kepada yang ‘jaga’ untuk mencari ‘yang ngumpat’ dan mendapatkan
sebanyak-banyaknya peserta ‘yang ngumpat’
agar yang ‘jaga’ terhindar dari peran jaga selamanya. Hanya
terhadap ‘yang gumpat’ terakhir harus
ekstra hati-hati. Lengah sedikit,
maka benteng si ‘jaga’ bisa dikuasai
pengumpat terakhir, maka gugurlah si ‘jaga’
dari keinginannya menghindar dari tugas jaga benteng.
Namun demikian, apabila si ‘jaga’
berhasil mendapati semua ‘yang ngumpat’
maka ia terbebaskan dari tugas jaganya untuk selanjutnya diberikan kepada
peserta yang pertama kali tertangkap oleh yang ‘jaga’. Begitu seterusnya hingga akhir kesepakatan anak-anak yang
dibuat dalam permainan.
Permainan petak umpat biasanya dilakukan saat bulan purnama. Malam ketika
terang bulan, sengaja dilakukan karena biasanya malam purnama adalah malam
dimana anak-anak sekampung berkumpul di tengah lapangan dan bermain sepuasnya,
apalagi malam tersebut jatuh pada malam liburan. Bisa dibayangkan, serunya
suasana tersebut.
Petak umpat sangat
dekat dengan permainan rakyat. Beberapa catatan yang pernah dipublikasikan,
petak umpat adalah permainan yang dimulai dengan Hompimpa
untuk menentukan siapa yang menjadi "kucing" (berperan sebagai
pencari teman-temannya yang bersembunyi). Si kucing ini nantinya akan
memejamkan mata atau berbalik sambil berhitung sampai 10, biasanya dia
menghadap tembok, pohon atau apasaja supaya dia tidak melihat teman-temannya
bergerak untuk bersembunyi (tempat jaga ini memiliki sebutan yang berbeda di
setiap daerah, contohnya di beberapa daerah di Jakarta ada yang menyebutnya INGLO,
di daerah lain menyebutnya BON dan ada juga yang menamai tempat itu HONG).
Setelah hitungan sepuluh (atau hitungan yang telah disepakati bersama, misalnya
jika wilayahnya terbuka, hitungan biasanya ditambah menjadi 15 atau 20) dan
setelah teman-temannya bersembunyi, mulailah si "kucing" beraksi
mencari teman-temannya tersebut.
Jika si
"kucing" menemukan temannya, ia akan menyebut nama temannya sambil
menyentuh INGLO atau BON atau HONG, apabila hanya
meneriakkan namanya saja, maka si "kucing" dianggap kalah dan
mengulang permainan dari awal.
Yang seru adalah,
pada saat si "kucing" bergerilya menemukan teman-temannya yang
bersembunyi, salah satu anak (yang statusnya masih sebagai "target
operasi" atau belum ditemukan) dapat mengendap-endap menuju INGLO, BON
atau HONG, jika berhasil menyentuhnya, maka semua teman-teman yang
sebelumnya telah ditemukan oleh si "kucing" dibebaskan, alias sandera
si "kucing" dianggap tidak pernah ditemukan, sehingga si
"kucing" harus kembali menghitung dan mengulang permainan dari awal.
Permainan selesai
setelah semua teman ditemukan. Dan yang pertama ditemukanlah yang menjadi
kucing berikutnya.
Ada satu istilah
lagi dalam permainan ini, yaitu 'kebakaran' yang dimaksud di sini adalah bila
teman kucing yang bersembunyi ketahuan oleh si kucing disebabkan diberitahu
oleh teman kucing yang telah ditemukan lebih dulu dari persembunyiannya.
Hanya sayangnya, permainan tersebut kini seakan tenggelam dimakan zaman.
Entah di perkampungan kecil, ataupun kota besar ‘petak umpat’ sudah tidak menarik anak kecil lagi. Ekspansi permainan
modern seperti, gameonlines yang
dikemas dalam perangkat canggih seperti komputer, atau handphone telah menjadi penyebab ‘petak umpat’ punah dan tidak dikenal anak-anak. Belum lagi serbuan
produk mainan anak-anak dari Cina. Serbuan mainan produk Cina ini bisa dibilang
luar biasa, bahkan beberapa diantaranya teridentifikasi terbuat dari bahan yang
berbahaya dan bisa mengancam kesehatan anak.
Terhadap hal ini, semestinya orang tua dan pemerintah bertanggung
jawab dan berupaya keras menangkal model mainan yang berbahaya. Tidak itu saja,
keterlibatan orang tua dan pemerintah harus berperan aktif melestarikan
permainan tradisional macam ‘petak umpat’.
Karena permainan tradisional merupakan budaya turun temurun yang diwariskan
nenek moyang kita di nusantara. Di dalamnya terdapat banyak unsur nilai positif
yang mengajarkan anak supaya hidup mandiri.
Salahkah bila orang tuan dan pemerintah harus memproteksi warisan
kebudayaan untuk diturunkan kepada anak cucu bangsa ini ?
Seperti halnya petak umpat yang mengajarkan anak untuk belajar,
bekerjasama, bekerja keras dan kreatif. Itu baru petak umpat, bagaimana dengan
permainan anak yang lainnya. Sungguh, negeri ini banyak sekali budaya yang bisa
di eksplore untuk dikembangkan bagi
kelangsungan ciri hidup suatu bangsa besar. Kalau tidak sekarang, kapan lagi.
1 komentar:
Bagus bangets tulisanya mas has, Your story remind me of my childhood. Sayang mainan pada saat kita anak2 udh punah dng adanya teknologi. Tapi kalo kita liat, sebenarnya mainan anak2 "tempo doeloe" membuat kita belajar bergaul dengan teman. Kalo skrg, anak cendrung main sendiri di rumah. tiap hari mainan game dan membuat tidak peka dengan orang lain. ada contoh benar2 nyata, ada anak kecil yang cuek sekali. bapak-ibunya kerja, dia d rumah sendiri nonton TV. bapaknya pulang kantor ketuk2 pintu gak dibukain.alasanya gak jelas, kenapa. pas dtanya kenapa gak dibukain cuma di jawab gak kenapa2...
Posting Komentar