Senin, 12 Desember 2011

Nasib Petak Umpat dan Hompimpah


Ilustrasi
Cerita itu bermula dari ketertarikan terhadap permainan tradisional yang bernama ‘petak umpat’. Dulu di era penulis saat usia kanak-kanak, sekitar tahun 1980-an ‘petak umpat’ merupakan permainan favorit anak sekampung. Permainan ini diikuti oleh beberapa anak yang jumlahnya tidak dibatasi.
Cara permainannyapun sangat simple dan mudah dipahami anak-anak. Ada yang berperan sebagai ‘jaga’ benteng dan ada juga yang berperan sebagai ‘yang ngumpat’. Yang jaga biasanya, kalah setelah diundi dengan cara ‘hompimpah’ (banyak-banyak jumlah telapak tangan bagian dalam atau luar) atau ketika tersisa dua yang sedikit maka dilakukan apa yang namanya ‘suit’. Nah hasil ‘suit’ inilah menentukan siapa yang harus ‘jaga’, sisanya berperan sebagai ‘yang ngumpat’.
Setelah itu, dimulailah permainan tersebut dengan memberikan tugas kepada yang ‘jaga’ untuk mencari ‘yang ngumpat’ dan mendapatkan sebanyak-banyaknya peserta ‘yang ngumpat’ agar yang ‘jaga’  terhindar dari peran jaga selamanya. Hanya terhadap ‘yang gumpat’ terakhir harus ekstra hati-hati. Lengah sedikit, maka benteng si ‘jaga’ bisa dikuasai pengumpat terakhir, maka gugurlah si ‘jaga’ dari keinginannya menghindar dari tugas jaga benteng.
Namun demikian, apabila si ‘jaga’ berhasil mendapati semua ‘yang ngumpat’ maka ia terbebaskan dari tugas jaganya untuk selanjutnya diberikan kepada peserta yang pertama kali tertangkap oleh yang ‘jaga’. Begitu seterusnya hingga akhir kesepakatan anak-anak yang dibuat dalam permainan.
Permainan petak umpat biasanya dilakukan saat bulan purnama. Malam ketika terang bulan, sengaja dilakukan karena biasanya malam purnama adalah malam dimana anak-anak sekampung berkumpul di tengah lapangan dan bermain sepuasnya, apalagi malam tersebut jatuh pada malam liburan. Bisa dibayangkan, serunya suasana tersebut.
Petak umpat sangat dekat dengan permainan rakyat. Beberapa catatan yang pernah dipublikasikan, petak umpat adalah permainan yang dimulai dengan Hompimpa untuk menentukan siapa yang menjadi "kucing" (berperan sebagai pencari teman-temannya yang bersembunyi). Si kucing ini nantinya akan memejamkan mata atau berbalik sambil berhitung sampai 10, biasanya dia menghadap tembok, pohon atau apasaja supaya dia tidak melihat teman-temannya bergerak untuk bersembunyi (tempat jaga ini memiliki sebutan yang berbeda di setiap daerah, contohnya di beberapa daerah di Jakarta ada yang menyebutnya INGLO, di daerah lain menyebutnya BON dan ada juga yang menamai tempat itu HONG). Setelah hitungan sepuluh (atau hitungan yang telah disepakati bersama, misalnya jika wilayahnya terbuka, hitungan biasanya ditambah menjadi 15 atau 20) dan setelah teman-temannya bersembunyi, mulailah si "kucing" beraksi mencari teman-temannya tersebut.
Jika si "kucing" menemukan temannya, ia akan menyebut nama temannya sambil menyentuh INGLO atau BON atau HONG, apabila hanya meneriakkan namanya saja, maka si "kucing" dianggap kalah dan mengulang permainan dari awal.
Yang seru adalah, pada saat si "kucing" bergerilya menemukan teman-temannya yang bersembunyi, salah satu anak (yang statusnya masih sebagai "target operasi" atau belum ditemukan) dapat mengendap-endap menuju INGLO, BON atau HONG, jika berhasil menyentuhnya, maka semua teman-teman yang sebelumnya telah ditemukan oleh si "kucing" dibebaskan, alias sandera si "kucing" dianggap tidak pernah ditemukan, sehingga si "kucing" harus kembali menghitung dan mengulang permainan dari awal.
Permainan selesai setelah semua teman ditemukan. Dan yang pertama ditemukanlah yang menjadi kucing berikutnya.
Ada satu istilah lagi dalam permainan ini, yaitu 'kebakaran' yang dimaksud di sini adalah bila teman kucing yang bersembunyi ketahuan oleh si kucing disebabkan diberitahu oleh teman kucing yang telah ditemukan lebih dulu dari persembunyiannya.
Hanya sayangnya, permainan tersebut kini seakan tenggelam dimakan zaman. Entah di perkampungan kecil, ataupun kota besar ‘petak umpat’ sudah tidak menarik anak kecil lagi. Ekspansi permainan modern seperti, gameonlines yang dikemas dalam perangkat canggih seperti komputer, atau handphone telah menjadi penyebab ‘petak umpat’ punah dan tidak dikenal anak-anak. Belum lagi serbuan produk mainan anak-anak dari Cina. Serbuan mainan produk Cina ini bisa dibilang luar biasa, bahkan beberapa diantaranya teridentifikasi terbuat dari bahan yang berbahaya dan bisa mengancam kesehatan anak.
Terhadap hal ini, semestinya orang tua dan pemerintah bertanggung jawab dan berupaya keras menangkal model mainan yang berbahaya. Tidak itu saja, keterlibatan orang tua dan pemerintah harus berperan aktif melestarikan permainan tradisional macam ‘petak umpat’. Karena permainan tradisional merupakan budaya turun temurun yang diwariskan nenek moyang kita di nusantara. Di dalamnya terdapat banyak unsur nilai positif yang mengajarkan anak supaya hidup mandiri.
Salahkah bila orang tuan dan pemerintah harus memproteksi warisan kebudayaan untuk diturunkan kepada anak cucu bangsa ini ?
Seperti halnya petak umpat yang mengajarkan anak untuk belajar, bekerjasama, bekerja keras dan kreatif. Itu baru petak umpat, bagaimana dengan permainan anak yang lainnya. Sungguh, negeri ini banyak sekali budaya yang bisa di eksplore untuk dikembangkan bagi kelangsungan ciri hidup suatu bangsa besar. Kalau tidak sekarang, kapan lagi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagus bangets tulisanya mas has, Your story remind me of my childhood. Sayang mainan pada saat kita anak2 udh punah dng adanya teknologi. Tapi kalo kita liat, sebenarnya mainan anak2 "tempo doeloe" membuat kita belajar bergaul dengan teman. Kalo skrg, anak cendrung main sendiri di rumah. tiap hari mainan game dan membuat tidak peka dengan orang lain. ada contoh benar2 nyata, ada anak kecil yang cuek sekali. bapak-ibunya kerja, dia d rumah sendiri nonton TV. bapaknya pulang kantor ketuk2 pintu gak dibukain.alasanya gak jelas, kenapa. pas dtanya kenapa gak dibukain cuma di jawab gak kenapa2...