Melintasi jalan raya Sultan Agung
dari Manggarai Jakarta Selatan, menuju arah Slipi Jakarta Barat menjadi sebuah
kenikmatan tersendiri bagi sebagian karyawan perkantoran di kawasan Jakarta
Pusat dan Jakarta Timur saat pulang kerja dan hendak menghindari kemacetan di
jalan HR Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan yang sedang dibangun jalan layang
non tol Kampung Melayu Tanah Abang.
![]() |
Bajaj Tua yang dikandangkan |
Sejak memasuki lampu merah Gang
Kelor Matraman Jakarta Timur, hingga menyusuri kompleks Stasiun Manggarai, kita
sudah disuguhi suasana jalan yang cukup nyaman. Pemandangan di kanan dan kiri
jalan turut menghibur mata, bahkan rindangnya pohon besar disekitar komplek perumahan
PJKA membuat udara semakin sejuk.
Terus menyusuri jalan sampai
depan stasiun Manggarai, barulah pengguna jalan dihadapkan pada kebalikan
suasana yang asri dan nyaman. Tepat di depan pintu stasiun Manggarai, berjejer
puluhan bajaj (kendaraan roda 3) buatan
India yang pernah jaya pada tahun 1970-an. Bajaj-bajaj ini sedianya menepi di
stasiun Manggarai bukan sembarang menepi, tetapi menunggu dan menanti pelanggan
tetapnya sepulang kerja yang turun dari kereta komuter. Disinilah cerita bajaj mengalir
ditepian jaman dan peranannya terhadap kesehatan lingkungan hidup.
Bajaj merupakan kendaraan yang
dikenal masyarakat luas, terutama masyarakat pinggiran yang sering menggunakan
jasanya. Sejarah bajaj tentu panjang jika dikupas tuntas, tetapi disini penulis
hanya mengambil sample tentang
bagaimanan peranan bajaj tua terhadap kesehatan lingkungan hidup.
Seperti halnya ditempat lain,
menumpuknya bajaj tua, tentu memberikan dampak yang cukup signifikan bagi
kualitas udara, apalagi di sekitar stasiun Manggarai yang tetap menyalakan
mesin. Sebenarnya ini dimaksudkan untuk menandakan kesiapannya bajaj segera
berangkat, ketika penumpang atau pelanggan tetapnya menghampiri. Dan ini biasanya
dimaklumi, karena calon penumpang tidak mau menumpang kendaraan yang doyan ngetem.
Tapi, bagi pengguna jalan yang
lain seperti pengendara sepeda motor, pesepeda dan pejalan kaki, keberadaan
bajaj-bajaj yang ngetem sambil menyalakan mesin, tentunya membuat tidak nyaman.
Siapa yang suka, jika disekitar pengguna jalan banyak mengepul asap putih pekat
dengan bau khas menusuk rongga dada bahkan mungkin hingga paru-paru.
Asap yang terhirup dengan suara
bisingnya tersebut kini menjadi buah penderitaan batin pengguna jalan yang
melewati jalan alternatif itu. Bak sebuah mesin pengasapan anti nyamuk (Fogging),
knalpot bajaj terus meraung-raung tidak peduli keberadaan pengguna jalan
lainnya, termasuk, ketidakpedulian sopir bajaj yang mendahulukan kepentingan
setoran ketimbang berbagi nyaman sesama pengguna jalan.
Terhadap keberadaan kendaraan
roda tiga ini, bukannya penulis tidak mendukung. Tetapi mbok ya, kualitas
pemeliharaan bajaj-bajaj tersebut diperhatikan si empunya. Jangan hanya
menangguk untung tinggi tetapi mengabaikan kepedulian sesama apalagi terhadap kesehatan
lingkungan. Jikalau tua, segera saja diregenerasi seperti halnya beberapa
pemilik bajaj yang telah menggantinya dengan bajaj baru yang berbahan bakar
gas.
Dukungan terhadap keberadaan
bajaj baru, saya rasa sangat besar. Apalagi bajaj jenis ini tidak menimbulkan
polusi, baik itu asap putih pekat dan suara bising yang menjadi ciri khas
bajaj. Kendaraan nyentrik generasi baru ini, jauh lebih halus dan lebih nyaman
untuk ditumpangi.
Terhadap keberadaan bajaj
berbahan gas, tentunya pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah khusus Ibu
Kota Jakarta harus terus berperan aktif mensosialisasikannya. Bajaj model ini
bisa didukung dengan regulasi yang pro dengan masyarakat pinggiran. Selain itu pemberian
fasilitas kredit yang murah, bisa menjadi pemicu pemilik bajaj berlomba-lomba
mengganti bajaj-nya yang tua. Sudah pasti, beralihnya bajaj yang tua ke
generasi bajaj yang ramah lingkungan menciptakan kualitas udara di Jakarta
semakin baik. Meningginya angka polutan bisa dicegah dan Pemerintah Propinsi
DKI Jakarta turut membantu memelihara lingkungan dari polusi asap knalpot dan
suara bising bajaj tua.
Dengan demikian tidak perlu lagi
ada cacian dan makian terhadap sopir bajaj oleh pengguna jalan yang lain.
Sopirpun bisa konsentrasi mencari nafkah bagi keluarganya dengan tenang tanpa
harus mengganggu kenyamanan orang lain. Semuanya menjadi berkah dan satu yang
pasti tidak ada lagi adagium yang mengatakan ”kalau bajaj belok, yang tahu hanya Tuhan dan Sopirnya”, karena
bajaj generasi baru sudah tentu dilengkapi dengan alat kelengkapan sebagaimana
yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar