Selasa, 13 Desember 2011

Bajaj-Bajaj di Tepian Jaman


Melintasi jalan raya Sultan Agung dari Manggarai Jakarta Selatan, menuju arah Slipi Jakarta Barat menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi sebagian karyawan perkantoran di kawasan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur saat pulang kerja dan hendak menghindari kemacetan di jalan HR Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan yang sedang dibangun jalan layang non tol Kampung Melayu Tanah Abang.

Bajaj Tua yang dikandangkan
Sejak memasuki lampu merah Gang Kelor Matraman Jakarta Timur, hingga menyusuri kompleks Stasiun Manggarai, kita sudah disuguhi suasana jalan yang cukup nyaman. Pemandangan di kanan dan kiri jalan turut menghibur mata, bahkan rindangnya pohon besar disekitar komplek perumahan PJKA membuat udara semakin sejuk.
 
Terus menyusuri jalan sampai depan stasiun Manggarai, barulah pengguna jalan dihadapkan pada kebalikan suasana yang asri dan nyaman. Tepat di depan pintu stasiun Manggarai, berjejer puluhan bajaj (kendaraan roda 3) buatan India yang pernah jaya pada tahun 1970-an. Bajaj-bajaj ini sedianya menepi di stasiun Manggarai bukan sembarang menepi, tetapi menunggu dan menanti pelanggan tetapnya sepulang kerja yang turun dari kereta komuter. Disinilah cerita bajaj mengalir ditepian jaman dan peranannya terhadap kesehatan lingkungan hidup.

Bajaj merupakan kendaraan yang dikenal masyarakat luas, terutama masyarakat pinggiran yang sering menggunakan jasanya. Sejarah bajaj tentu panjang jika dikupas tuntas, tetapi disini penulis hanya mengambil sample tentang bagaimanan peranan bajaj tua terhadap kesehatan lingkungan hidup. 

Seperti halnya ditempat lain, menumpuknya bajaj tua, tentu memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kualitas udara, apalagi di sekitar stasiun Manggarai yang tetap menyalakan mesin. Sebenarnya ini dimaksudkan untuk menandakan kesiapannya bajaj segera berangkat, ketika penumpang atau pelanggan tetapnya menghampiri. Dan ini biasanya dimaklumi, karena calon penumpang tidak mau menumpang kendaraan yang doyan ngetem.

Tapi, bagi pengguna jalan yang lain seperti pengendara sepeda motor, pesepeda dan pejalan kaki, keberadaan bajaj-bajaj yang ngetem sambil menyalakan mesin, tentunya membuat tidak nyaman. Siapa yang suka, jika disekitar pengguna jalan banyak mengepul asap putih pekat dengan bau khas menusuk rongga dada bahkan mungkin hingga paru-paru. 

Asap yang terhirup dengan suara bisingnya tersebut kini menjadi buah penderitaan batin pengguna jalan yang melewati jalan alternatif itu. Bak sebuah mesin pengasapan anti nyamuk (Fogging), knalpot bajaj terus meraung-raung tidak peduli keberadaan pengguna jalan lainnya, termasuk, ketidakpedulian sopir bajaj yang mendahulukan kepentingan setoran ketimbang berbagi nyaman sesama pengguna jalan.

Terhadap keberadaan kendaraan roda tiga ini, bukannya penulis tidak mendukung. Tetapi mbok ya, kualitas pemeliharaan bajaj-bajaj tersebut diperhatikan si empunya. Jangan hanya menangguk untung tinggi tetapi mengabaikan kepedulian sesama apalagi terhadap kesehatan lingkungan. Jikalau tua, segera saja diregenerasi seperti halnya beberapa pemilik bajaj yang telah menggantinya dengan bajaj baru yang berbahan bakar gas. 

Dukungan terhadap keberadaan bajaj baru, saya rasa sangat besar. Apalagi bajaj jenis ini tidak menimbulkan polusi, baik itu asap putih pekat dan suara bising yang menjadi ciri khas bajaj. Kendaraan nyentrik generasi baru ini, jauh lebih halus dan lebih nyaman untuk ditumpangi.

Terhadap keberadaan bajaj berbahan gas, tentunya pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah khusus Ibu Kota Jakarta harus terus berperan aktif mensosialisasikannya. Bajaj model ini bisa didukung dengan regulasi yang pro dengan masyarakat pinggiran. Selain itu pemberian fasilitas kredit yang murah, bisa menjadi pemicu pemilik bajaj berlomba-lomba mengganti bajaj-nya yang tua. Sudah pasti, beralihnya bajaj yang tua ke generasi bajaj yang ramah lingkungan menciptakan kualitas udara di Jakarta semakin baik. Meningginya angka polutan bisa dicegah dan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta turut membantu memelihara lingkungan dari polusi asap knalpot dan suara bising bajaj tua. 

Dengan demikian tidak perlu lagi ada cacian dan makian terhadap sopir bajaj oleh pengguna jalan yang lain. Sopirpun bisa konsentrasi mencari nafkah bagi keluarganya dengan tenang tanpa harus mengganggu kenyamanan orang lain. Semuanya menjadi berkah dan satu yang pasti tidak ada lagi adagium yang mengatakan ”kalau bajaj belok, yang tahu hanya Tuhan dan Sopirnya”, karena bajaj generasi baru sudah tentu dilengkapi dengan alat kelengkapan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Tidak ada komentar: