Rabu, 10 Agustus 2011

Kisah Pak Tua dan Limbah Kantung Terigu


Ilustrasi oleh :
http://m.today.co.id/index.php?kategori=regional&sub=regional&detail=14092


Raut wajahnya yang sudah menua, tidak menggoyahkan niat seorang Pak Tua berusia 62 tahun untuk terus mengayuh sepeda. Digenggamnya setang sepeda tua yang terbuat dari besi kopong hasil jual sepeda kumbangnya setengah dasawarsa yang lalu di depan setasiun Jatinegara seharga 50 ribu rupiah. Ayah tiga orang anak ini mantap melangkah mengayuh sepeda. Membelah gang sempit, menyusuri jalan besar hanya satu tujuan, mengambil gaji pensiunnya di Kantor Pos Jatinegara samping Polres Jakarta Timur, depan Lapangan Jenderal Urip Soemohardjo.

Harapan untuk dapur kembali ngebul, kini tergambar lepas dipikirannya. Gaji pensiunan yang diambil setiap tanggal 5 setiap bulannya, tidak lupa diberikan sedekah. Hanya berbalut kaos dan celana bahan usang, pensiunan PNS di salah satu dinas Pemprov DKI ini tetap merasa bersyukur kepada Tuhan atas nikmat yang telah diberikan kepadanya.

Tinggal di rumah sangat sederhana hasil renovasi seadanya. Pak Tua menceritakan rumah yang dulu dindingnya terbuat dari anyaman bambu, adalah tempat bernaung yang cukup nyaman bersama seorang istri dan ketiga anaknya. Di situlah, Pak Tua mengarungi bahtera rumah tangga, membesarkan anak-anaknya hingga dewasa. PNS golongan kecil ini, 7 tahun yang lalu telah purna karya alias pensiun.

Menikmati masa pensiun, Pak Tua berusaha untuk terus survive menjalani hidupnya. Pernah suatu waktu dirinya bercerita tentang jaman susah. Pak Tua mengisahkan bagaimana menghidupi keluarganya dengan gaji PNS golongan I yang serba kurang. Kurang membiayai hidup apalagi membiayai sekolah anak-anaknya. Menjadi seorang pedagang keliling kelengkapan tidur seperti sprei, sarung bantal, sarung guling dan lainnya bahkan pernah dilakoni, itupun dilakukan saat hari libur kerja (dahulu hari libur kerja hanya hari minggu).

Alat kelengkapan tidur yang dijajakannya itu, adalah hasil olahan bekas kantung terigu, dibeli dari pengecer limbah kantung bekas dibilangan Matraman. Dipilihnya Kantung Terigu menurut Pak Tua Pensiunan PNS tersebut, karena murah dan bahannya yang lembut. Kemudian olahan limbah itu dirajut menjadi sprei, sarung bantal dan sarung guling setelah sebelumnya melalui proses pencucian, pengeringan dan penjahitan yang sangat tradisional.

Hasil jadi sprei, sarung bantal dan sarung guling kemudian dipasarkan di daerah Cikarang Bekasi dengan sistim kredit, bayar dua minggu sekali. Maka, setiap dua minggu sekali Pak Tua itu pergi memetik rejeki. Sangat murah, cuma 15 ribu untuk sprei, 7 ribu untuk sarung bantal atau guling. Itupun dicicil. Membayangkan harga semurah itu, sekilas terbersit apakah bisa mengganti ongkos kendaraan, ongkos beli limbah Kantung Terigu bahkan ongkos kerja Pak Tua dan Istrinya yang menjahit hingga tengah malam. Tapi itu cerita kelamnya 20 tahun yang lalu.

Pak Tua kembali mengisahkan bagaimana susahnya berjuang untuk hidup yang lebih baik demi sekolah anak-anaknya yang mulai besar. Pernah juga dirinya bercerita bagaimana menjadi penjual es campur untuk sekedar menutup biaya hidup yang menjulang tinggi. Tapi kisah itu dijadikannya pelajaran oleh Pak Tua untuk terus bersabar, berdoa dan berusaha. Dirinya berkeyakinan, hidup tidak selalu di bawah, ada saatnya di atas. Biar dirinya saja yang mengalami pahitnya hidup, asalkan anaknya bisa bersekolah. Dirinya bahkan tidak mewarisi apapun kepada anak-anaknya selain ilmu dan perjuangan hidup.

Demikian sepenggal kisah Pak Tua Pensiunan PNS golongan rendah yang bisa diambil hikmahnya. Sekarang Pak Tua bangga bisa menyekolahkan ke tiga anaknya hingga perguruan tinggi, meskipun dirinya hanya tamatan SR (SR = Sekolah Rakyat, sekarang SD). Harapannya cukup sederhana, “Saya tidak bisa mewariskan kekayaan, saya Cuma ingin anak bisa sekolah sampai tinggi,” begitu katanya kepada saya saat di Jatinegara beberapa waktu yang lalu.

Tidak ada komentar: