Senin, 13 Juni 2011

Kekerasan Seksual Salah Satu Bentuk KDRT ?

Kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga merupakan segala perilaku seksual yang menyimpang yang dilakukan salah satu pihak terhadap pihak lain dalam berhubungan seksual yang mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual, dan psikis. Timbulnya kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga lebih dominan pelakunya adalah suami, hal ini dikarenakan masih kentalnya budaya patriarki dalam pola pikir masyarakat yang menjunjung superioritas laki-laki.

Selama ini, semakin meningkatnya kekerasan seksual diakibatkan dari kurangnya kesadaran atau keberanian (korban) untuk melaporkan kejadian tersebut sebagai suatu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Lain itu, kekerasan seksual yang terjadi merupakan persoalan rumah tangga dan tabu untuk dibicarakan. Kekerasan seksual menimbulkan dampak buruk pada kondisi psikologis, psikis dan sosial. Tidak jarang ancaman terhadap kesehatan reproduksi mereka seperti kerusakan atau tidak berfungsinya alat reproduksi.

Terhadap kejadian ini, sudah tentu membawa implikasi hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Pada tataran ini, pemerintah sebenarnya sudah memberikan perlindungan terhadap segala bentuk KDRT. Keseimbangan dan keadilan terhadap hak dan kewajiban antar sesama menjadi pondasi dasar agar tidak terulang kembali kasus-kasus KDRT, apalagi sekarang sedang berkembang keseteraan gender. Artinya, si korban berhak melaporkan pelaku KDRT kepada yang berwajib untuk diproses secara hukum meskipun yang dilaporkan adalah orang yang dicintai dan disayangi.

Selain tindakan hukum terhadap pelaku KDRT, masih ada cara yang bisa dilakukan seperti masing-masing pihak paham dan mengerti atas hak dan kewajibannya. Mendahulukan penyelesaian masalah secara baik-baik, paham dampak dan akibat yang ditimbulkan dari KDRT. Jika ditilik lebih mendalam, suami istri sebenarnya adalah “sahabat” dalam meraih kebahagiaan dan kedamaian hidup. Kebahagiaan bukan monopoli suami atau istri saja dan juga pernikahan bukan alat untuk “menundukkan” masing-masing pasangannya. Keduanya (kaum Adam dan Hawa) saling membutuhkan dan secara setara memiliki kewajiban dan hak setara dalam rumah tangga. Tidak dibenarkan, jika suami terlalu banyak menuntut hak, sementara istri terlalu banyak diberi kewajiban. Begitu pula sebaliknya. Hak dan kewajiban dalam rumah tangga itu bisa diatur berdasarkan musyawarah mencari kesepakatan antara suami dan istri. Hak dan kewajiban tidak bisa dibebankan begitu saja atau dipaksakan sedemikian rupa.

Karenanya, pola hubungan yang dibangun adalah hubungan saling menghormati, menghargai, dan mengasihi serta menyayangi. Jika salah seorang dari pasangan melakukan tindakan yang merugikan salah satu pihak, maka sudah sepatutnya pihak lain mengingatkannya dengan memberi tausiyah (pesan-pesan) yang diperlukan. Untuk bisa saling mengingatkan satu lainnya diperlukan adanya pola hubungan yang setara dan saling menghormati. Dalam masyarakat, seringkali yang diberi tausiyah hanyalah istri, padahal bisa jadi suami justru lebih membutuhkannya.

Jalan keluar yang perlu juga disosialisasikan adalah adanya undang-undang yang melindungi perempuan yang mengalami tindak kekerasan seksual. Seperti diketahui bahwa sejak tahun 2004 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Disebutkan dalam Pasal 5 PKDRT: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: kekerasan fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah tangga”. Dengan adanya UU PKDRT ini diharapkan perempuan akan mendapat perlindungan hukum yang selayaknya dan lebih memadai, termasuk masalah yang ditenggarai sangat private yakni relasi seksual antara perempuan dan laki-laki. (Has)

Tidak ada komentar: