Rabu, 25 April 2012

Memajukan Akses Keadilan Melalui Bantuan Hukum


Oleh : Abdul Rachman Saleh

Pada tahun 1970, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta didirikan oleh Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) yang merupakan brainchild  aktifis/pejuang hukum pada saat itu, Advokat Adnan Buyung Nasution. Seperti yang pernah dicatat oleh Profesor Daniel S Lev (2002), sejak LBH didirikan, fungsi dan kiprahnya tidak terbatas pada representasi hukum klien tidak mampu di pengadilan, tetapi LBH telah menjadi pusat pemikiran yang mengkritik praktek orde baru (most prominent centre of criticism and critical thingking). 

Salah satu efek yang paling signifikan dari pendirian LBH adalah kemampuan mempersoalkan (challenging) asumsi-asumsi ideologis orde baru pada saat itu seperti Demokrasi Pancasila dan gagasan integralistik dimana negara dan masyarakat sebagai suatu hal yang identik. Negara tidak lebih dari masyarakat yang ditata, dijaga ketertibannya, diperintah atau dikendalikan oleh negara (state & society were fused in a benevolent whole).

Selama perjalanannya, gagasan bantuan hukum struktural (structural legal aid) kemudian diperkenalkan dan disahkan sebagai ideologi kerja LBH pada Lokakarya Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh LBH Jakarta, pada tahun 1978 dan Lokakarya Bantuan Hukum di Parapat Medan (diselenggarakan YLBHI) pada tahun 1980.

Bantuan hukum struktural (BHS), istilah yang diperkenalkan oleh Prof. Paul Mudikdo, bertujuan membangun kesadaran hukum masyarakat (diistilahkan dengan “konsientisasi” istilah dari Brazilian Paulo Freire yang mengembangkan konsep-konsep pendidikan orang dewasa “Pedagogy of the Oppressed”, 1970) agar masyarakat tersebut mampu untuk mempertahankan serta memperjuangkan haknya dan merubah struktur sosial yang penuh dengan ketimpangan (unjust social structure).

Sejak istilah BHS diperkenalkan pada tahun 1980-an, BHS kemudian dikenal luas oleh komunitas hukum, terlebih lagi setelah Wakil Presiden Adam Malik pada saat itu menyosialisasikannya di Kongres Himpunan Ahli-Ahli Ilmu Sosial di Manado pada tahun 1979.

Seperti yang dinyatakan Profesor Daniel S Lev (2002) LBH wen much beyond representation of indigent clients in civil and criminal matters to address equally imprtant issues of political legal change.

Dengan perkataan lain, peran LBH pada saat itu mencakup :
1)     Pendampingan klien di pengadilan (legal representation of the indigent clients) – litigasi individu atau litigasi kepentingan publik (public interest litigation);
2)       Penguatan kelompok masyarakat yang termarjinalkan melalui program-program penyadaran;
3)  Berada di garis terdepan dalam mempersoalkan asumsi-asumsi ideologis, konsep ketatanegaraan, praktek pemerintahan dan praktek penegakkan hukum;
4)   Menjadi “tuan rumah” dan teman diskusi bagi orang orang dan kelompok yang tidak disukai dan dimusuhi oleh pemerintahan Soeharto karena sikap mereka yang kritis terhadap pemerintahan;
5)   Mendorong perubahan kebijakan (policy & legislation reform). Peran yang terakhir ini merupakan peran LBH yang paling lemah diantara peran-peran lainnya. Sehingga tidak berjalan sebagaimana peran pendampingan hukum.

Sekarang ini istilah acces to justice  sangat popular dihampir  seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia, khususnya dikalangan donor. Secara umum UNDP memberi definisi acces to justice sebagai berikut : “the ability of people to seek and obtain rememdy through formal and informal institution of justice and in conformity within human rights standars” (kemampuan masyarakat untuk medapatkan pemulihan hak yang dilanggar melalui sarana formal maupun informal dan disesuaikan dengan standar hak asasi manusia).

Sedangkan perkembangan di Amerika Utara, perkembangan acces to justice paling tidak diidentifikasi ke dalam 3 gelombang (M. Cappelletti dan B Garth, 1978) : Gelombang pertama, pertumbuhan bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu. Bantuan hukum semacam ini diistilahkan dengan bantuan hukum konvensional; Gelombang kedua orientasi acces to justice sudah mulai berkembang dari bantuan hukum konvensional (gelombang pertama) ke pengembangan public interest litigation dengan pengembangan hak-hak prosedural yang memudahkan komunitas kolektif mengajukan pemulihan hak yang dilanggar melalui pengadilan, seperti halnya class action; Gelombang Ketiga mulai disadari pentingnya alternative dispute resolution (ADR) dan pembaruan peradilan, seperti pengembangan akses masyarakat terhadap informasi pengadilan.

Melihat konteks perkembangan acces to justice di negara-negara tersebut, maka acces to justice ini pada dasarnya terkait dengan isu bantuan hukum (legal aid) dan akses beracara dipengadilan secara efektif (acces to court). 

Apabila mengikuti teori 3 (tiga) gelombang (three waves) acces to justice Capelletti dan Garth (1978), maka yang paling relevan untuk dikembangkan di Indonesia adalah gelombang ketiga, dimana terdapat suatu kesadaran untuk pembenahan sistem peradilan dan pencarian alternatif penyelesaian sengketa yang dirasakan lebih adil bagi masyarakat.

Dalam konteks ke Indonesia-an, maka perjuangan dalam memajukan access to justice hendaknya diarahkan kepada kegiatan yang diistilahkan beyond the third wave of access to justice, dengan maksud sebagai berikut : (1) pencegahan terjadinya sengketa hukum untuk mendorong social harmony. Hal ini berarti program access to justice tidak selalu harus dikaitkan dengan pengadilan, tetapi jauh sebelum persoalan diselesaikan melalui pengadilan seperti tersedianya prosedur pengaduan masyarakat seperti ombudsman, public complaint system atau sistem ADR tradisional dan modern; (2) pengembangan hak-hak prosedural masyarakat yang diperlukan dalam public interest litigation seperti class action, legal standing Ornop, strict liability, pembuktian terbalik dan lain sebagainya; (3) pembaruan sistem peradilan seperti halnya pembaruan peradilan, kejaksaan dan kepolisian untuk memastikan bahwa rasa keadilan masyarakat benar-benar terpenuhi; (4) pendampingan hukum (beyond legal representation dimuka pengadilan) bagi kelompok masyarakat marjinal, yang dilakukan oleh pro bono lawyers pekerja bantuan hukum dan paralegal.

Untuk yang ke empat ini kolaborasi dan membangun jaringan antara Bar Association, LBH-LBH dan paralegal-paralegal yang banyak difasilitasi oleh Ornop perlu terus dilakukan dan diperkuat. Gagasan mengembangkan masyarakat bantuan hukum oleh karenanya merupakan gagasan yang penting dan menarik untuk diwujudkan.

Dari keempat program pokok access to justice tersebut di atas maka peran Kantor LBH di bawah naungan YLBHI, LBH Universitas dan LBH-LBH lainnya menjadi sangat penting tidak saja sebagai pengembang kebijakan, pelaku advokasi hukum serta pendamping masyarakat, juga sebagai paralegal capacity builders. Peran paralegal menjadi sangat penting karena jumlah pro bono lawyers di Indonesia sangat kecil, dan masih sedikitnya jumlah pekerja bantuan hukum dibandingkan rasio wilayah dan jumlah populasi yang sangat besar.

Program-program access to justice di atas menuntut pekerja bantuan hukum LBH dari berbagai kelembagaan memiliki kapasitas (kualitas dan integritas) yang sangat baik. Sudah saatnya profesionalisasi di bidang pelayanan bantuan hukum, pendampingan di tingkat akar rumput sebagai bagian dari pendidikan hukum masyarakat, penelitian dan perancangan draft kebijakan dilakukan dengan sangat komprehensif dan sistematis. Termasuk di dalamnya cara membangun etika advokasi kebijakan bersama pemangku kepentingan lain seperti pemerintah dengan lebih elegan untuk melestarikan kerjasama dan berjaringan.

Tidak ada komentar: