Rabu, 12 Desember 2012

Pembatasan Kendaraan Bermotor


Jakarta Macet Total, gambar oleh : Google
(Maju Kena, Mundur Kena)

Pagi, siang maupun sore bahkan malam, keramaian jalan di Ibukota Jakarta dan sekitarnya selalu penuh dengan kendaraan bermotor. Bayangin saja, tanpa menghitung angka pasti saja, setiap sudut jalan penuh sesak kendaraan bermotor dari roda dua, roda tiga, roda empat dan roda-roda lainnya. Bahkan beberapa tahun yang lalu, banyak pengamat memprediksi Jakarta dan sekitarnya tahun 2014 akan mengalami stagnasi akut. Dengan kata lain, sejak keluar rumah kemacetan sudah menghadang dan menjadi momok warga masyarakat.

Serba salah memang, dengan membatasi produksi kendaraan bermotor, bisa dipastikan gelombang PHK masal dibidang otomotif akan mempengaruhi perekonomian. Pengangguran bertambah dan diprediksi angka kriminal meningkat. Sebaliknya, dengan membiarkan produksi kendaraan bermotor, pertumbuhan ekonomi akan semakin positif. Gerak putar kesinambungan ekonomi terjaga, negara dipastikan akan merasakan dampak yang sangat positif. Angka pengangguran kecil, tingkat kriminal rendah, ujung-ujungnya cita-cita memakmurkan rakyat menjadi tujuan yang kian mendekati kenyataan.

Namun dibalik itu semua, ternyata dampak dari meroketnya pertumbuhan ekonomi ternyata memberikan efek bola salju yang beragam warna. Sebut saja, polusi yang ditimbulkan semakin mengkhawatirkan, belum lagi ketersediaan bahan bakar. 

Dari regulasi, pemerintah makin dibingungkan untuk mencari cara yang tepat membatasi volume kendaraan bermotor di jalan. Suara bertentangan, pasti kian pekak ditelinga. Maklum, bagi masyarakat Indonesia yang sedang demam pertumbuhan ekonomi, faktor kenyaman dan keamanan masih menjadi prioritas utama. Terhadap hal ini, pemerintah dipaksa untuk tidak mengabaikan suara warga yang butuh terhadap layanan transportasi.

Dari sisi pemerintah, bolak-balik perencanaan, kutak-katik master plan, sodor menyodor ide, sampai sekarang masih belum ditemukan cara yang ampuh dan jitu untuk mewujudkan pembatasan tersebut. Lagi-lagi, gagasan pembatasan volume kendaraan bermotor di jalan mentok di gang buntu. “Maju kena, mundur kena”, begitu istilah yang pas menggambarkan betapa rumitnya mengatur jumlah volume kendaraan di Jakarta.

Dilain waktu, pemerintah kembali mencoba dengan pembatasan BBM, kali ini banyak mendapat pertentangan. Sementara waktu berlalu, peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang wira-wiri di jalan semakin tidak terkontrol. Bahkan Lembaga sekaliber Bank Indonesia harus mengeluarkan peraturan menaikkan uang muka kredit, tapi tetap saja tidak mempan. Mobil dan motor terus bertambah. Lalu pertanda apakah ini, Apakah ledakan ekonomi ini tidak mencurigakan ? Kini semua tidak ada yang bisa menjawab.

Aneh memang negara ini, setelah dihantam krisis moneter 15 tahun lalu, tingkat pertumbuhan ekonomi terus merangkak naik dengan cepat. Kecurigaan semakin terjawab, ketika usai krisis, banyak warga masyarakat yang melenggak-lenggokkan kendaraan barunya di jalan. 

Beberapa pengamat, mengungkapkan bahwa meledaknya perekonomian Indonesia dikaitkan erat dengan sumbangsih meningkatnya jumlah warga kelas menengah. Banyak keluarga muda yang berani mengambil resiko untuk berinvestasi. Sumbangsih peran mereka terhadap ekonomi ternyata sangat besar. Disinyalir, keluarga muda ini lahir dan tumbuh di jaman yang menawarkan fasilitas yang nyaman dan aman. Ujung-ujungnya, perilaku konsumtif menjadi ciri khas yang pantas disematkan untuk menjawab kenapa angka pertumbuhan kendaraan bermotor makin meningkat.

Memang tidak ada aturan yang melarang warga untuk berhak memiliki kendaraan bermotor. Tapi bila gejala ini tidak diantisipasi, ujung-ujungnya pemerintah lagi yang ketiban sial. Bingung untuk mendahulukan yang mana dan mengabaikan yang mana. Alhasil, pemerintah terjebak dalam kebingungan. Lalu dikait-kaitkan dengan politik, dan pada akhirnya bayangan keputusasaan semakin mengancam akal sehat. Kalau tidak mau dikatakan demikian, lalu beranikah pemerintah membuat terobosan atau kebijakan tidak popular atau patut dipertanyakan, apakah mereka berani dan siap menghadapi hujatan dari masyarakat, ataukah mereka siap mundur. Terhadap hal ini, lagi-lagi pertanyaan mudah tersebut tapi susah dijawab menjadi misteri sampai kapan peningkatan volume kendaraan bermotor bisa dibatasi ?

Senin, 26 November 2012

Restoratif Justice Sebagai Pilihan Hukuman


Ilustrasi oleh Google
Di salah satu negara bagian Amerika Serikat, sebut saja New York ada sebuah sistem peradilan yang mempunyai fungsi dimana sistem tersebut diberikan kewenangan untuk membuat pilihan bagi para orang yang melakukan tindak pidana dan tertangkap oleh Polisi, diberikan pilihan hukum. Pilihan yang dimaksud adalah, apakah si orang tersebut mengakui kesalahannya ataukah tetap bersikeras tidak mengaku. Sebagai gambaran, untuk pilihan mengakui perbuatannya, orang tersebut diberikan kesempatan oleh hakim pengadilan setempat untuk menebusnya dengan kerja sosial dan catatan kriminalnya dihapus dari buku catatan kriminal. Namun bila dia memaksa dan tidak mengakui, maka orang tersebut dipersilahkan untuk menempuhnya melalui jalur pengadilan.

Untuk proses bagi orang yang mengakui kesalahannya, atas dasar wewenang hakim pengadilan setempat, orang tersebut akan dikirim ke lembaga yang berwenang seperti konsultan hukum atau pengacara untuk mengikuti sebuah program kerja sosial sebagai bagian dari hukumannya di luar penjara. Keikutsertaan orang yang melakukan delik pidana tersebut merupakan bagian dari apa yang dinamakan ‘restorative justice”. 

Peran konsultan hukum terhadap program ini adalah memberikan arahan atau petunjuk terhadap orang yang direkomendasikan hakim untuk menjalani kerja sosial. Tentu setiap hal yang terkait dengan program tersebut, orang yang melakukan delik pidana ini tetap mendapatkan pengawasan dan catatan perilakunya sehari-hari. Catatan perilaku inilah yang kemudian akan menjadi rekomendasi bagi hakim untuk menetapkan putusannya. Bila orang yang melakukan kerja sosial tersebut berkelakuan baik maka ia mendapat reward yaitu dihapusnya catatan criminal yang telah dilakukan dan ia terbebas dari penjara. 

Namun sebaliknya, bila dalam program kerja sosial tersebut, ia berulah dan melakukan pelanggaran atau kabur dari tugasnya, maka hakim tak segan-segan untuk mengirimnya ke penjara dengan catatan kriminalnya tercatat selama hidupnya. Tindakan Hakim ini, sebenarnya langkah awal dari pemisahan sisi manusiawi dan ketegasan. Apalagi yang melakukan pelanggaran tersebut hanya melakukan TIPIRING (tindak pidana ringan). Hakim harus mampu memberikan efek jera dan memberikan pilihan terbaik bagi Pelaku Tipiring, “Kerja Sosial ataukah Penjara”.



Klinik Hukum

Di Negara Bagian New York, Pengadilan Red Hot, sudah lama dikenal dengan apa yang disebut “Klinik Hukum”. Klinik ini bertaut erat dengan Pengadilan setempat. Tidak itu saja, lembaga pencerahan ini juga mempunyai kedudukan yang sangat penting. Beberapa Lembaga Peradilan pasti mempunyai hubungan dengan Klinik Hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Departemen Dalam Negeri. Lembaga ini menjadi semacam penghubung antara Lembaga Peradilan dan Pelaku TIPIRING.

Klinik Hukum ini mempunyai peran sebagai tempat konsultasi, tempat konseling atau memberikan arahan bagi Pelaku TIPIRING ketika melaksanakan program Kerja Sosial. Sebagai tempat pendampingan bagi Pelaku, Klinik mempunyai tugas mengawal dengan ketat setiap perkembangan Pelaku dengan kata lain bisa dikatakan semacam “mata”-nya Pengadilan.

Tugas mereka adalah mengembalikan fungsi hukum, tata nilai dan kejiwaan bagi Pelaku TIPIRING ketika nanti berbaur kembali ke masyarakat agar tidak mengulangi perbuatannya. Satu pelanggaran atau kelalaian saja, Pengadilan tidak segan-segan menangkap dan memenjarakannya.

Konsep restorative justice

Bila melihat kasus tersebut di atas, maka bisa dipastikan bahwa negara mempunyai peran yang sangat penting terhadap kedudukan Pelaku pelanggaran. Satu sisi mengedapankan manusiawi dan sisi lain mengedapankan ketegasan. Hanya konsep ini berlaku untuk kasus pelanggaran atau pidana ringan saja. Pesannya sangat jelas, bahwa tidak setiap kasus harus masuk penjara. Kasus-kasus yang melibatkan masyarakat dalam strata bawah apalagi kasus kecil, seringkali menjadi obyek yang dikorbankan. Padahal pengenaan hukuman tidak hanya dilakukan dengan penjara badan tapi bisa juga dengan kerja sosial. Oleh para ahli hukum, konsep ini dinamakan “Restoratif Justice” atau pilihan hukuman.

Banyak pertimbangan yang bisa dipetik dari konsep ini, hukuman ringan yang diputus pengadilan dan mengirimkannya pada program kerja sosial, bila dilihatnya dari berbagai aspek. Baik itu aspek Psikologis, aspek, ekonomi, aspek sosial dan aspek hukum. Hakim tentunya sangat jeli memilih hukuman yang pantas diberikan oleh Pelaku TIPIRING. Dengan mengirimkannya pada Lembaga Klinik pelaku Tipiring diharapkan mampu melaksanakan hukumannya dengan baik tanpa mengulangi lagi kesalahannya.

Restoratif justice mengutamakan pendekatan yang berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam kenyataannya pendekatan ini banyak dilakukan dalam praktek di lapangan oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa.

Bagi pemerintah Restoratif justice merupakan salah satu cara penyelesaian perkara dalam suatu tindak pidana yang bisa memberikan pilihan hukum bagi hakim untuk memutus perkara, terutama perkara atau kasus-kasus yang ringan. Selain itu, memberikan suatu pendidikan kepada masyarakat agar, penyelesaian perkara tidak selalu harus berujung ke pengadilan.

Kita memaklumi keinginan pemerintah dalam hal ini, meningkatnya jumlah narapidana atau warga binaan menyebabkan hunian Lembaga Pemasyarakatan menjadi tidak layak. Fungsi pembinaan yang awalnya ditanamkan bagi narapidana atau warga binaan dikhawatirkan bisa terganggu. Kita bisa membayangkan, betapa jumlah Lembaga Pemasyarakatan yang ada saat ini sudah mengalami over capacity. Sebuah Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya dihuni 500 orang, kini dipenuhi 1500 atau tiga kali lipat dari jumlah yang wajar. Maka tak heran, banyak program pembinaan kepada narapidana atau warga binaan terhambat lantaran masalah sosial yang ditimbulkan dari sesaknya hunian Lembaga Pemasyarakatan.

Kini, pemerintah tengah mempertimbangkan penyelesaian sengketa dengan perkara-perkara ringan agar bisa diselesaikan melalui mediasi. Tidak harus berujung ke pengadilan, atau bisa juga dilakukan dengan kerja sosial dan program lainnya yang tentu tidak menghilangkan begitu saja sanksi sebuah hukuman terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana. Bagi kita, ini merupakan suatu langkah maju yang harus didukung. Pembinaan tidak saja hanya kurungan badan, tetapi juga bisa memberikannya pendidikan dan pemahanan melalui kerja sosial seperti halnya yang dilakukan Pengadilan New York.

Rabu, 19 September 2012

Jelang PILKADA DKI Putaran II


Mengail Suara Masyarakat

Jelang pemilihan Gubernur DKI Putaran II, invasi dan penetrasi pencitraan calon Gubernur semakin sering kita lihat di banyak media. Beberapa media bahkan oleh sebagian masyarakat dianggap sudah berlebihan. Kenyataan ini memang tidak bisa dipungkiri karena media merupakan alat yang cukup ampuh untuk menjaring pemilih sebanyak mungkin.

Di beberapa kasus Pilkada lainnya, ada peserta bahkan tim sukses memanfaatkan jasa survey untuk melakukan hitungan cepat. Prestasi yang dilakukan beberapa lembaga survey atas beberapa PILKADA maupun PEMILU yang lalu, dijadikan bahan rujukan membuat survey yang diduga bisa mengarahkan pemilih mencoblos calon tertentu. Meskipun hal itu sering dibantah, namun fenomena menjamurnya Survey terhadap tingkat keterilihan calon Gubernur, bisa ditafsirkan beragam oleh masyarakat berpendidikan.

Tidak itu saja, disinyalir masing-masing tim sukses bekerja keras dengan jejaring serta kemampuan yang profesional. Tak lain dan tak bukan, lagi-lagi bagaimana membuat skenario agar suara pemilih bisa diarahkan untuk memilih calon tertentu. Fenomena ini tidak begitu saja terjadi. Dengan memanfaatkan multi media seperti Televisi, Radio dan Internet, kini bisa diketahui kemana arah  yang diinginkan masyarakat sebenarnya.

Menurut data dari beberapa media perkiraan jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2012 sudah mencapai angka 80 juta pengguna. Padahal menurut beberapa media online pada tahun 2011, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 45 juta pengguna, dan itu artinya ada lonjakan 35 juta pengguna untuk satu tahun ini. Dengan angka yang sedemikian besar, tak pelak membuat siapapun yang ingin menduduki kursi Gubernur akan berusaha mati-matian mendapatkan suara masyarakat.

Itu baru melalui angka pengguna internet, belum lagi dengan angka pemirsa televisi yang jauh lebih besar. Menurut AC Nielsen sebuah lembaga pemeringkat terkemuka, pertumbuhan jumlah penonton televisi selalu mengalami penaikan, palagi terkait dengan program yang ditayangkan mendapat tempat di masyarakat.

Sebagai contoh, seperti data yang diungkapkan oleh Nielsen pada tahun 2011 lalu. Untuk survey pada saat bulan puasa, jumlah pemirsa televisi bertambah hingga 16%, potensi penonton TV bertambah 8% dari rata-rata 13,4 juta orang menjadi rata-rata 14,5 juta orang (usia 5 tahun ke atas di 10 kota besar di Indonesia).

Kenaikan jumlah penonton TV tertinggi terutama terjadi pada dini hari (02.00-05.00), yaitu lebih dari enam kali lipat dari rata-rata 2 juta orang pada bulan lalu menjadi rata-rata 12,2 juta orang. Di dini hari, stasiunstasiun TV nasional terutama menambah jam tayang untuk program hiburan dari total 67 jam menjadi 241 jam dan program religi dari 108 jam menjadi 173 jam. Sementara porsi jam menonton pemirsa terutama bertambah untuk program hiburan, terutama komedi dan variety show, yaitu hingga 11 kali lipat dari rata-rata kurang dari 30 menit menjadi hampir 4,5 jam (total selama bulan Ramadhan). Mereka juga menambah jam menonton untuk sinetron sebanyak 1 jam menjadi hampir 2 jam dan 25 menit untuk program religi menjadi hampir 1,5 jam. Namun program yang paling banyak ditonton di dini hari masih didominasi oleh program olah raga. Dengan potensi sebesar itu, pantas saja jika calon pasangan Gubernur berlomba-lomba menempatkan jam tayang iklan sebagai media kampenye yang sangat efektif.

Sebagai gambaran, perkiraan jumlah pemilih di DKI Jakarta untuk putaran II berjumlah sekitar 6.996.951 pemilih. Artinya, dengan menggenggam 0,5 % dari pengguna internet dan 50 % dari pemirsa televisi, bisa dipastikan calon tertentu yang menguasai pemanfaatan media menjadi pemenang PILKADA. Belum lagi dengan suara yang mengambang (golput) yang ditaksir mencapai 36 %. Asal bisa meyakinkan program yang diusung dan gencar melakukan sosialisasi, angka golput inipun bisa diraup menjadi modal menuju kursi Gubernur. Dan ingat, dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Jakarta adalah barometer model pemilihan umum di Indonesia.

Tulisan ini sebenarnya hanyalah gambaran bagaimana penggunaan media seperti internet dan televisi sebenarnya sangat ampuh untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat. Siapakah yang menjadi pemenang dalam pentas PILKADA DKI putaran II kali ini. Semuanya kembali kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam pesta demokrasi.

Pertanyaannya sekarang adalah, seberapa jauh kemampuan calon gubernur dan wakilnya bisa melakukan penetrasi melalui media internet dan televisi. Apakah sumber daya yang dimiliki mampu menjangkaunya dan bagaimana dengan bantuan dana dari pihak ke tiga ataukah harus mengeluarkan uang dari kocek sendiri. Bagaimana pula dengan ketaatan kontestan terhadap peraturan perundang-undangan tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Mari kitunggu jawabannya pada tanggal 20 September 2012 yang akan datang.

Senin, 13 Agustus 2012

Serba-serbi Mudik



Gambar Mudik oleh Google
Mudik, mungkin hajatan ini hanya ada di Indonesia. Entah dari mana asalnya, mudik kini telah menjadi tradisi dan melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ritual pulang kampung yang biasa dilakukan jelang dan saat lebaran sepertinya mampu membetot segala daya sisi kehidupan masyarakat. Mau tahu alasannya ?

Pertama.

Dari sisi budaya, mudik merupakan ritual tradisi pulang kampung. Seperti diketahui, masyarakat Indonesia yang mejemuk dengan berbagai macam suku dan agama adalah masyarakat yang masih memegang prinsip penghormatan kepada tanah kelahirannya. Selain itu, perilaku masyarakat yang masih menjunjung tinggi keberadaan keluarga, dimana orang tua, suami, isteri, anak, saudara dan handai taulan menjadi bagian penting dalam hidupnya. Berkumpul dengan keluarga dan berbagi kebahagiaan dengan orang terdekat ketika lebaran adalah moment yang selalu dinantikan. Terutama bagi setiap orang yang lama merantau di kota. Nah, saat setahun merantau, biasanya momen jelang lebaran dimanfaatkan untuk pulang kampung dan berkumpul dengan orang dekat meskipun sebentar.

Kedua.

Kota besar seperti Jakarta dan lainnya merupakan kota yang dianggap sebagian masyarakat desa menjadi ladang harapan perbaikan kesejahteraan mereka. Geliat pembangunan yang marak dilakukan, diduga sebagai penyebab tertariknya orang desa merantau ke kota. Dengan kata lain, dari sisi ekonomi, kota menjadi tujuan dan daya tarik tersendiri para perantau untuk mengadu nasib. Diakui memang, gencarnya pembangunan kota, dipastikan beriiringan dengan permintaan tenaga kerja yang besar. Atas dasar hal ini, tidak dipungkiri banyak tenaga kerja potensial yang ada di kota, sebagian besar berasal dari desa.

Ketiga.

Setelah setahun merantau dan bekerja di kota, biasanya para perantau mulai dihinggapi rasa kangen terhadap keluarga di kampung halamannya. Kerja keras yang dilakukan, kini menuai hasil dan hasrat menumpahkan kangenpun biasanya direncanakan saat jelang lebaran. Bersama-sama dengan teman dan saudara, keinginan pulang kampung kemudian diatur sedemikian rupa. Harapannya jelas, pulang kampung bisa berlangsung dengan aman dan nyaman.

Keempat.

Banyak cara dilakukan para perantau untuk kembali ke kampung halamannya. Mulai dari kendaraan yang digunakan hingga rute perjalanan yang akan ditempuh. Kini, hajatan mudik tersebut bukan hanya milik para perantau mengadu nasib di Kota besar. Hajatan mudik kini menjadi perhatian pemerintah dan jajarannya. Lihat saja, setiap tahunnya, pemudik yang akan pulang kampung selalu bertambah. Dampak positifnya, tentu menggenjot perekonomian nasional. Potensi pergerakan ekonomi sangatlah besar. Melihat hal ini, pemerintah harus jeli dan berkepentingan untuk melakukan pengaturan bagaimana ritual mudik bisa berjalan lancar dan aman. Keterlibatan pemerintah dan jajarannya sangatlah penting. Karena mudik sudah menjadi bagian sisi kehidupan negara, maka fokus untuk memberikan layanan publik terbaik adalah salah satu bagian dari cita-cita negara yang adil makmur dan sejahtera.

Kelima.

Tidak hanya pemerintah yang berkepentingan, kalangan usahapun seperti kena ketiban durian runtuh. Besarnya potensi mengeruk keuntungan, menjadikan pengusaha berlomba-lomba memberikan pelayanan yang terbaik. Tidak melelulu menaikkan tarif jasa, para pengusaha juga turut berbagi kepada calon pemudik untuk pulang kampung gratis. Dan tentu saja, program mudik gratis menjadi tempat tersendiri di hati para pemudik.