Jakarta Macet Total, gambar oleh : Google |
(Maju Kena, Mundur Kena)
Pagi, siang maupun sore bahkan malam, keramaian jalan di Ibukota Jakarta dan sekitarnya selalu penuh dengan kendaraan bermotor. Bayangin saja, tanpa menghitung angka pasti saja, setiap sudut jalan penuh sesak kendaraan bermotor dari roda dua, roda tiga, roda empat dan roda-roda lainnya. Bahkan beberapa tahun yang lalu, banyak pengamat memprediksi Jakarta dan sekitarnya tahun 2014 akan mengalami stagnasi akut. Dengan kata lain, sejak keluar rumah kemacetan sudah menghadang dan menjadi momok warga masyarakat.
Pagi, siang maupun sore bahkan malam, keramaian jalan di Ibukota Jakarta dan sekitarnya selalu penuh dengan kendaraan bermotor. Bayangin saja, tanpa menghitung angka pasti saja, setiap sudut jalan penuh sesak kendaraan bermotor dari roda dua, roda tiga, roda empat dan roda-roda lainnya. Bahkan beberapa tahun yang lalu, banyak pengamat memprediksi Jakarta dan sekitarnya tahun 2014 akan mengalami stagnasi akut. Dengan kata lain, sejak keluar rumah kemacetan sudah menghadang dan menjadi momok warga masyarakat.
Serba salah memang, dengan
membatasi produksi kendaraan bermotor, bisa dipastikan gelombang PHK masal
dibidang otomotif akan mempengaruhi perekonomian. Pengangguran bertambah dan
diprediksi angka kriminal meningkat. Sebaliknya, dengan membiarkan produksi kendaraan
bermotor, pertumbuhan ekonomi akan semakin positif. Gerak putar kesinambungan
ekonomi terjaga, negara dipastikan akan merasakan dampak yang sangat positif.
Angka pengangguran kecil, tingkat kriminal rendah, ujung-ujungnya cita-cita
memakmurkan rakyat menjadi tujuan yang kian mendekati kenyataan.
Namun dibalik itu semua, ternyata
dampak dari meroketnya pertumbuhan ekonomi ternyata memberikan efek bola salju
yang beragam warna. Sebut saja, polusi yang ditimbulkan semakin mengkhawatirkan,
belum lagi ketersediaan bahan bakar.
Dari regulasi, pemerintah makin
dibingungkan untuk mencari cara yang tepat membatasi volume kendaraan bermotor
di jalan. Suara bertentangan, pasti kian pekak ditelinga. Maklum, bagi masyarakat
Indonesia yang sedang demam pertumbuhan ekonomi, faktor kenyaman dan keamanan
masih menjadi prioritas utama. Terhadap hal ini, pemerintah dipaksa untuk tidak
mengabaikan suara warga yang butuh terhadap layanan transportasi.
Dari sisi pemerintah, bolak-balik
perencanaan, kutak-katik master plan, sodor menyodor ide, sampai sekarang masih
belum ditemukan cara yang ampuh dan jitu untuk mewujudkan pembatasan tersebut. Lagi-lagi,
gagasan pembatasan volume kendaraan bermotor di jalan mentok di gang buntu. “Maju
kena, mundur kena”, begitu istilah yang pas menggambarkan betapa rumitnya
mengatur jumlah volume kendaraan di Jakarta.
Dilain waktu, pemerintah kembali
mencoba dengan pembatasan BBM, kali ini banyak mendapat pertentangan.
Sementara waktu berlalu, peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang wira-wiri di
jalan semakin tidak terkontrol. Bahkan Lembaga sekaliber Bank Indonesia harus
mengeluarkan peraturan menaikkan uang muka kredit, tapi tetap saja tidak
mempan. Mobil dan motor terus bertambah. Lalu pertanda apakah ini, Apakah
ledakan ekonomi ini tidak mencurigakan ? Kini semua tidak ada yang bisa
menjawab.
Aneh memang negara ini, setelah
dihantam krisis moneter 15 tahun lalu, tingkat pertumbuhan ekonomi terus
merangkak naik dengan cepat. Kecurigaan semakin terjawab, ketika usai krisis,
banyak warga masyarakat yang melenggak-lenggokkan kendaraan barunya di jalan.
Beberapa pengamat, mengungkapkan
bahwa meledaknya perekonomian Indonesia dikaitkan erat dengan sumbangsih
meningkatnya jumlah warga kelas menengah. Banyak keluarga muda yang berani
mengambil resiko untuk berinvestasi. Sumbangsih peran mereka terhadap ekonomi
ternyata sangat besar. Disinyalir, keluarga muda ini lahir dan tumbuh di jaman
yang menawarkan fasilitas yang nyaman dan aman. Ujung-ujungnya, perilaku
konsumtif menjadi ciri khas yang pantas disematkan untuk menjawab kenapa angka
pertumbuhan kendaraan bermotor makin meningkat.
Memang tidak ada aturan yang melarang
warga untuk berhak memiliki kendaraan bermotor. Tapi bila gejala ini tidak
diantisipasi, ujung-ujungnya pemerintah lagi yang ketiban sial. Bingung untuk
mendahulukan yang mana dan mengabaikan yang mana. Alhasil, pemerintah terjebak
dalam kebingungan. Lalu dikait-kaitkan dengan politik, dan pada akhirnya
bayangan keputusasaan semakin mengancam akal sehat. Kalau tidak mau dikatakan
demikian, lalu beranikah pemerintah membuat terobosan atau kebijakan tidak popular
atau patut dipertanyakan, apakah mereka berani dan siap menghadapi hujatan dari
masyarakat, ataukah mereka siap mundur. Terhadap hal ini, lagi-lagi pertanyaan
mudah tersebut tapi susah dijawab menjadi misteri sampai kapan peningkatan
volume kendaraan bermotor bisa dibatasi ?